Hingga kini, DKI Jakarta ternyata belum punya strategi
kebudayaan, suatu kebijakan yang memetakan program dan arah pengembangan
seni dan budaya Jakarta. Padahal, banyak seniman dan kelompok seni yang
masih mengandalkan Jakarta sebagai tempat berekspresi.
Sebetulnya, hampir setengah abad lalu, pemerintah Jakarta sudah
meletakkan dasar-dasar strateginya. "Cita-cita menjadikan Jakarta
sebagai kota kebudayaan digariskan dalam Rencana Induk 20 Tahun DKI
Jakarta. Di dalamnya, tersirat keinginan menjadikan Jakarta sebagai pusat
kebudayaan nasional. Karena itu, penanganan masalah kebudayaan perlu
dilakukan oleh aparat yang memadai," demikian ditulis Ali Sadikin
dalam Gita Jaya, Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta 1966-1977 (1977).
Catatan Bang Ali-demikian Ali Sadikin dulu disapa oleh rakyat
Jakarta-ini ditulis sebagai semacam pertanggungjawabannya setelah melepas
jabatan sebagai gubernur. Saya sempat berjumpa dengan Bang Ali beberapa
tahun sebelum dia wafat pada 2008. Pada saat itulah dia menyerahkan buku
ini kepada saya setelah mengkritik tulisan saya soal megapolitan Jakarta.
Gagasannya untuk menjadikan Jakarta sebagai "kota
kebudayaan" dan "pusat kebudayaan nasional" diwujudkan
dengan mendirikan, antara lain, Dewan Kesenian Jakarta, Lembaga Kesenian
Betawi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian
Jakarta), dan Pusat Perfilman Ismail Marzuki. Untuk membuat panggung guna
menampilkan berbagai karya seni tradisional dan modern, pemerintah
Jakarta membongkar Kebun Binatang Cikini dan membangun Taman Ismail
Marzuki di atasnya.
Sudah sepatutnya Jakarta memikirkan kembali strategi kebudayaannya
kini. Sebuah rencana induk baru untuk Jakarta 20 tahun ke depan sudah
harus segera disusun oleh pemerintahan Jokowi-Ahok. Saat memaparkan
sembilan program unggulannya pada Februari lalu, Gubernur Jokowi
menyatakan salah satu programnya adalah pengembangan budaya melalui
pengembangan pusat kebudayaan Betawi, revitalisasi Kota Tua,
penyelenggaraan acara budaya bertaraf internasional, dan pengembangan
karakter kota berciri khas Betawi.
Namun Jokowi belum memaparkan strategi kebudayaan macam apa yang
akan diterapkan untuk Ibu Kota. Melihat perkembangannya sejauh ini, Jakarta
praktis sudah menjadi pusat kebudayaan dunia. Berbagai pameran dan
pertunjukan berskala internasional sudah jadi pemandangan umum. Saya
kira, kesenian Betawi, bila itu yang hendak dimajukan, harus berada dalam
konteks ini: bagaimana menjadikannya pantas untuk disandingkan dengan
berbagai karya seniman dunia.
Hal lain yang juga patut dicermati adalah peran generasi muda lewat
lahirnya berbagai komunitas seni ataupun hobi dan kegandrungan mereka
pada media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan YouTube. Pemerintah
Jakarta perlu berkomunikasi dengan mereka melalui cara yang mereka
akrabi.
Tentu banyak hal yang bisa dikembangkan Jakarta dengan dukungan para
seniman yang mumpuni di negeri ini. Namun sebuah strategi kebudayaan akan
sangat membantu menentukan arah perkembangan itu. Pemerintah Jakarta
belakangan ini mulai menggelar berbagai diskusi dan workshop untuk
menyiapkannya. Kita berharap hasilnya akan segera keluar karena kota ini
sudah hampir setengah abad tak memiliki strategi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar