Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh, dalam kunjungannya ke Karawang, Jawa Barat, 9 Desember lalu,
menjelaskan sebagian gambaran penerapan Kurikulum 2013. Dinyatakan bahwa
nanti tidak ada lagi anak sekolah dasar yang tidak naik kelas. Namun evaluasi
akhir tahun tetap ada untuk menentukan perlu-tidaknya anak menjalani
perbaikan (pengajaran remedial).
Sampai titik itu, kedengarannya normal-normal saja. Tapi ada
embel-embel dalam penjelasan Mendikbud. Katanya, hasil evaluasi tadi akan
dipakai untuk memetakan kualitas anak-anak sekolah. Anak yang tidak
memerlukan pengajaran remedial diberi label KW-1. Anak yang harus
menjalani satu pengajaran remedial diberi label KW-2, dua pengajaran
KW-3, dan seterusnya.
Pilihan ungkapan seperti itu, yang lazim digunakan untuk klasifikasi
keramik, sungguh tidak pantas keluar dari mulut seorang menteri.
Bagaimana jika itu adalah representasi kebijakan? Mari telusuri Peraturan
Mendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Peraturan itu merupakan hasil proses pematangan konsep Kurikulum
2013, yang diwacanakan sejak medio 2012. Terutama pada jenjang SD, ada
semangat penyederhanaan beban akademik demi memberi ruang bagi
pembangunan karakter.
Dalam Lampiran Pedoman Umum Pembelajaran, dinyatakan:
"...kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan SEMUA
POTENSI PESERTA DIDIK menjadi kompetensi yang diharapkan."
Selanjutnya, arah strategi pembelajaran adalah "...untuk
memfasilitasi pencapaian kompetensi yang telah dirancang dalam dokumen
kurikulum agar setiap individu mampu menjadi pembelajar mandiri sepanjang
hayat."
Dengan prinsip dan uraian strategi itu, pantas diharapkan Kurikulum
2013 akan membawa iklim baru bagi pembelajaran di sekolah, yang bebas
dari ambisi, target, dan kepentingan sepihak otoritas pendidikan serta
sekolah. Anak datang ke sekolah untuk mentransformasi diri dan segenap
potensinya agar siap menjalani masa depan yang berkualitas.
Dalam Lampiran Pedoman Evaluasi Kurikulum, dinyatakan, "Secara
singkat, evaluasi kurikulum dilakukan untuk menegakkan akuntabilitas
kurikulum terhadap masyarakat dan bangsa." Artinya, evaluasi adalah
kebutuhan pertanggungjawaban penyelenggara pendidikan kepada bangsa,
bahwa menu pembelajaran tidak mengkhianati tujuan pendidikan.
Benarkah evaluasi hanya untuk kurikulum dan penyelenggara
pendidikan, bukan untuk melabeli anak-anak Indonesia? Lalu, mengapa Mendikbud
berambisi menyortir anak-anak Indonesia lewat evaluasi akhir tahun dengan
ukuran KW-KW manusia ala produk keramik?
Rupanya, ambisi itu sudah disusupkan lewat celah istilah
"standar kompetensi lulusan" dalam Pedoman Evaluasi Kurikulum.
Artinya, Kurikulum 2013 akan tetap memaksa anak-anak Indonesia memburu
label hasil ujian sebagai jaminan nasib baik di masa depan.
Ambisi menyortir anak-anak sekolah adalah warisan kejahatan
kemanusiaan yang sudah berusia lebih dari seabad. Pada 1837, Horace Mann,
pemegang otoritas pendidikan Negara Bagian Massachussetts, Amerika
Serikat, dolan ke negeri leluhurnya, Prussia, untuk ngelmu tentang mengelola pendidikan yang efektif. Maklum,
industrialisasi di negerinya sendiri butuh banyak buruh yang bisa
dikendalikan.
Mann kepincut oleh model rekrutmen, penempaan, dan pengendalian
tentara Kaisar Frederick yang murah dan efisien. Pulang ke Amerika, Mann
mencetuskan ide cemerlang: tes tertulis terstandarkan (standardized testing). Walhasil,
penguji tak perlu lagi mendengarkan satu persatu lulusan berbicara untuk
mengetahui hasil belajarnya. Dari Prussia, paradigma pendidikan
totalitarian-militeristik dipetik Mann untuk ditanamkan di ranah industri
dalam bentuk compulsory schooling
(sekolah wajib).
Segenap pemangku kepentingan pendidikan perlu introspeksi diri,
jangan-jangan jargon wajib belajar di Indonesia berakar dari (dan
memelihara) paradigma compulsory
schooling di Prussia/Amerika itu. Sebab, sekolah wajib saat itu
bertumpu pada kepentingan kekuasaan negara dalam rangka menjalankan roda
industri.
Dalam prakteknya, anak sekolah disortir dengan resep survival of the fittest ala
Darwin. Seleksi bukan untuk merangsang kualitas, karena kualitas sudah
baku menurut kebutuhan industri. Yang ada justru pemangkasan potensi dengan
aneka disinsentif berupa peringkat, hukuman, tidak naik kelas, dan
sejenisnya, yang lebih mengacu pada kepatuhan (obidience) dan keseragaman (conformity). Alat ukurnya adalah skor ujian terstandarkan
tadi.
Bagi birokrasi yang limbung, korup, dan malas, resep
"Prussianisme" adalah cara praktis mengukur kinerja pendidikan.
Skor-skor ujian bisa dihitung cepat, dan berjuta-juta anak manusia bisa
dipilah-pilah kualitasnya secara mudah dan murah. Begitukah keinginan
Mendikbud?
Jika iya, berhentilah berharap pada kualitas "manusia-manusia
keramik" Indonesia. Silakan kemas dengan label sekeren apa pun, tapi
mereka adalah limbah yang tidak utuh lagi. Sebab, kekayaan potensi mereka
digerus serutan demi serutan mesin sortir bernama sekolah. Mungkin ada
yang berkualitas, tapi ia tetap barang cetakan berbentuk fisik manusia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar