Sabtu, 21 Desember 2013

Manusia Keramik Indonesia

Manusia Keramik Indonesia
Yanto Mushofa  ;    Anggota Majelis Pengurus Pusat ICMI
TEMPO,  21 Desember 2013

  

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, dalam kunjungannya ke Karawang, Jawa Barat, 9 Desember lalu, menjelaskan sebagian gambaran penerapan Kurikulum 2013. Dinyatakan bahwa nanti tidak ada lagi anak sekolah dasar yang tidak naik kelas. Namun evaluasi akhir tahun tetap ada untuk menentukan perlu-tidaknya anak menjalani perbaikan (pengajaran remedial). 

Sampai titik itu, kedengarannya normal-normal saja. Tapi ada embel-embel dalam penjelasan Mendikbud. Katanya, hasil evaluasi tadi akan dipakai untuk memetakan kualitas anak-anak sekolah. Anak yang tidak memerlukan pengajaran remedial diberi label  KW-1. Anak yang harus menjalani satu pengajaran remedial diberi label KW-2, dua pengajaran KW-3, dan seterusnya. 

Pilihan ungkapan seperti itu, yang lazim digunakan untuk klasifikasi keramik, sungguh tidak pantas keluar dari mulut seorang menteri. Bagaimana jika itu adalah representasi kebijakan? Mari telusuri Peraturan Mendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.

Peraturan itu merupakan hasil proses pematangan konsep Kurikulum 2013, yang diwacanakan sejak medio 2012. Terutama pada jenjang SD, ada semangat penyederhanaan beban akademik demi memberi ruang bagi pembangunan karakter.

Dalam Lampiran Pedoman Umum Pembelajaran, dinyatakan: "...kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan SEMUA POTENSI PESERTA DIDIK menjadi kompetensi yang diharapkan." Selanjutnya, arah strategi pembelajaran adalah "...untuk memfasilitasi pencapaian kompetensi yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum agar setiap individu mampu menjadi pembelajar mandiri sepanjang hayat."

Dengan prinsip dan uraian strategi itu, pantas diharapkan Kurikulum 2013 akan membawa iklim baru bagi pembelajaran di sekolah, yang bebas dari ambisi, target, dan kepentingan sepihak otoritas pendidikan serta sekolah. Anak datang ke sekolah untuk mentransformasi diri dan segenap potensinya agar siap menjalani masa depan yang berkualitas.

Dalam Lampiran Pedoman Evaluasi Kurikulum, dinyatakan, "Secara singkat, evaluasi kurikulum dilakukan untuk menegakkan akuntabilitas kurikulum terhadap masyarakat dan bangsa." Artinya, evaluasi adalah kebutuhan pertanggungjawaban penyelenggara pendidikan kepada bangsa, bahwa menu pembelajaran tidak mengkhianati tujuan pendidikan. 

Benarkah evaluasi hanya untuk kurikulum dan penyelenggara pendidikan, bukan untuk melabeli anak-anak Indonesia? Lalu, mengapa Mendikbud berambisi menyortir anak-anak Indonesia lewat evaluasi akhir tahun dengan ukuran KW-KW manusia ala produk keramik? 

Rupanya, ambisi itu sudah disusupkan lewat celah istilah "standar kompetensi lulusan" dalam Pedoman Evaluasi Kurikulum. Artinya, Kurikulum 2013 akan tetap memaksa anak-anak Indonesia memburu label hasil ujian sebagai jaminan nasib baik di masa depan.

Ambisi menyortir anak-anak sekolah adalah warisan kejahatan kemanusiaan yang sudah berusia lebih dari seabad. Pada 1837, Horace Mann, pemegang otoritas pendidikan Negara Bagian Massachussetts, Amerika Serikat, dolan ke negeri leluhurnya, Prussia, untuk ngelmu tentang mengelola pendidikan yang efektif. Maklum, industrialisasi di negerinya sendiri butuh banyak buruh yang bisa dikendalikan. 

Mann kepincut oleh model rekrutmen, penempaan, dan pengendalian tentara Kaisar Frederick yang murah dan efisien. Pulang ke Amerika, Mann mencetuskan ide cemerlang: tes tertulis terstandarkan (standardized testing). Walhasil, penguji tak perlu lagi mendengarkan satu persatu lulusan berbicara untuk mengetahui hasil belajarnya. Dari Prussia, paradigma pendidikan totalitarian-militeristik dipetik Mann untuk ditanamkan di ranah industri dalam bentuk compulsory schooling (sekolah wajib). 

Segenap pemangku kepentingan pendidikan perlu introspeksi diri, jangan-jangan jargon wajib belajar di Indonesia berakar dari (dan memelihara) paradigma compulsory schooling di Prussia/Amerika itu. Sebab, sekolah wajib saat itu bertumpu pada kepentingan kekuasaan negara dalam rangka menjalankan roda industri. 

Dalam prakteknya, anak sekolah disortir dengan resep survival of the fittest ala Darwin. Seleksi bukan untuk merangsang kualitas, karena kualitas sudah baku menurut kebutuhan industri. Yang ada justru pemangkasan potensi dengan aneka disinsentif berupa peringkat, hukuman, tidak naik kelas, dan sejenisnya, yang lebih mengacu pada kepatuhan (obidience) dan keseragaman (conformity). Alat ukurnya adalah skor ujian terstandarkan tadi.

Bagi birokrasi yang limbung, korup, dan malas, resep "Prussianisme" adalah cara praktis mengukur kinerja pendidikan. Skor-skor ujian bisa dihitung cepat, dan berjuta-juta anak manusia bisa dipilah-pilah kualitasnya secara mudah dan murah. Begitukah keinginan Mendikbud?

Jika iya, berhentilah berharap pada kualitas "manusia-manusia keramik" Indonesia. Silakan kemas dengan label sekeren apa pun, tapi mereka adalah limbah yang tidak utuh lagi. Sebab, kekayaan potensi mereka digerus serutan demi serutan mesin sortir bernama sekolah. Mungkin ada yang berkualitas, tapi ia tetap barang cetakan berbentuk fisik manusia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar