Di sebuah mal baru di Bekasi, ada sensasi
anyar untuk "menelan" Korea. Sebuah restoran didesain dengan
selera K-Pop: penuh warna dan atraktif. Di samping pintu masuk ada layar
besar LCD menampilkan wanita Korea menyampaikan salam selamat datang.
Foto-foto para pesohor K-Pop dalam grafis menjadi hiasan penutup sandaran
kursi. Di sebuah dinding terpajang gambar peta jalur kereta api di Seoul.
Pada setengah dinding di sisi lain terpampang tayangan klip video
para penyanyi K-Pop. Lagu-lagunya, bersama menu makanan, bisa dipesan
pengunjung melalui tablet elektronik yang tersedia di setiap meja. Para
pelayannya mengenakan kacamata plastik bolong (tanpa kaca). Makanan utamanya bibimbab dan bulgogi.
Rasanya enak. Ramailah orang yang datang, terutama kaum muda. Untuk
merekalah "gaya" trendi itu diciptakan.
Restoran itu merupakan satu di antara banyak rumah makan Korea yang
dibuka di mal-mal di Jakarta dan daerah sekitarnya. Dengan demikian,
lengkaplah sudah sebuah "invasi" kebudayaan.
Pada dekade kedua abad ke-21 ini, kita menyaksikan sebuah negeri
berpenduduk sekitar 49 juta orang yang menghuni lahan sekitar 100 ribu
kilometer persegi tengah mengepakkan sayap magisnya untuk menguasai
dunia, dengan GNP US$ 20.870 (bandingkan dengan Indonesia yang US$ 2.963).
Fenomena serupa pernah kita saksikan pada abad ke-20 ketika Jepang
secara mencengangkan bangkit menjadi negara adidaya ekonomi dunia baru.
Kebangkitan Korea Selatan ditempuh melalui jalan serupa yang dulu
ditempuh Jepang: penguasaan teknologi otomotif dan elektronik. Tapi, berbeda
dengan Jepang dan negara-negara lain, ketika teknologi informasi melalui
Internet mulai marak pada 1970-an, dalam waktu singkat bangsa Korea
menjadi bangsa nomor satu paling banyak (94 persen dari populasi) dan
paling cepat terkoneksi Internet.
Akses Internet yang luar biasa itu mampu mendorong percepatan
penguasaan teknologi telepon seluler (dengan Android) hingga gadget yang
lain. Tak cuma itu. Para kreator Korea Selatan terus bekerja membuat film
dan sinetron (serial) televisi, dan para seniman musiknya membangun
industri baru yang disebut "Culture
Technology" yang produknya antara lain musik-dansa K-Pop.
Harus dikatakan, abad ke-21 adalah abad Korea Selatan. Yang kita
saksikan kini adalah kebangkitan kembali kebudayaan Korea. Kebudayaan
kuno Korea pertama kali eksis di bawah Dinasti Silla pada abad ke-7
dan "tertidur" setelah akhir Dinasti Joseon pada abad ke-17
akibat invasi Cina dan Jepang, disusul Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Korea Selatan baru menjadi negara bebas kembali dua hari sebelum
Indonesia merdeka, yakni 15 Agustus 1945.
Sementara kebudayaan-kebudayaan lain (khususnya Amerika dan Eropa)
surut, Korea Selatan bisa bangkit bagai burung merak berahi, di bawah
sayap "suatu merek tertentu". Manteranya hanya satu kata:
pendidikan.
Kebudayaan-kebudayaan kuno yang niscaya akan bangkit kembali pada
giliran berikutnya tentulah Cina dan India. Sebab, sebuah kebudayaan
hanya bisa bangkit dan bermutu jika didukung oleh pendidikan berkualitas;
dan pendidikan hanya bisa bermutu jika kebudayaan yang melahirkannya adiluhung. Adapun di Indonesia,
keduanya sekarang berada di dasar jurang. Kini, kita hanya bisa
menelan--lebih tepatnya: "ditelan"--Korea dan apa pun yang
datang dari luar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar