Adanya sosial media membuat
orang bisa jadi soksial. Maksudnya, kehidupan sosial yang tiba-tiba menjadi
sok. Kalau dahulu malu-malu kucing mengekspresikan pemikiran atau kekayaan
pribadi, maka sekarang malah bertanya: ”Emang malu tu apaan?”
Pamer I
Di suatu pagi saya membaca postingan seseorang
seperti ini. Dulu di SMA saya tukang berantem. Menghadap ke guru BP
sudah seperti langganan koran. Tetapi mereka juga suka bingung kalau lagi
terima rapor saya selalu juara. Jadi dunia harus tahu kalau saya ini pandai
banget.
Postingan berikutnya
seperti ini. Sedang duduk-duduk di business class lounge... (menyebut
nama sebuah maskapai penerbangan internasional superkondang). Demikian
pernyataan yang ingin disampaikan kepada dunia bahwa saya ini numpak pesawat
di kelas bisnis.
Kadang, ada yang di kelas utama.
Mau kepergiannya dibayarkan kantor atau simpanannya, itu tak masalah.
Masalah utamanya semua orang harus tahu saya naik pesawat yang mahal.
Kalau melihat salah satu sosial
media bernama Instagram, saya makin yakin bahwa pendapat saya di atas soal
merasa malu sudah tak zamannya lagi benar adanya. Meminjam istilah sekarang
ini, malu itu ke laut aje.
Selain selfie, mereka
dengan gamblang dan bangga menunjukkan harta yang dimiliki. Dari tas
berharga ratusan juta rupiah, mobil bermiliar rupiah, sampai menyaksikan
muka habis disayat pisau dokter bedah kosmetik. Kadang malah membingungkan,
ini wanita apa waria.
Selfie itu menurut Oxford Dictionary itu begini. A photograph that one has taken of
oneself, typically one taken with a smartphone or webcam and uploaded to a
social media website. Dalam kamus itu masih ditambahkan kalimat ini. Occasional
selfies are acceptable, but posting a new picture of yourself every day
isn’t necessary.
Kalimat terakhir bak sebuah
pesan yang entah mulia entah menyindir. Tetapi saya yakin mereka yang masuk
kelompok selfie bisa jadi tak peduli dengan nasihat itu.
Teknologi begitu majunya, dan gara-gara itu mereka bisa memiliki dunia
sendiri, dan mengapa orang lain merasa terganggu dan merasa repot? Kalau
tidak suka, itu problem Anda. Unshare saja. Gitu aja kok
repot.
Di kesempatan lain, saya membaca
sebuah postingan seorang anak kepada ibunya. Mam, aku bosen
nih gak bisa belajar, pengen shopping. Pinjem kartu kreditnya ya. Ibunya
menyetujuinya. Si anak mengakhiri percakapan itu dengan kalimat penutup, Mom knows the best.
Pamer II
Nah, selain pameran kekayaan,
pameran kepandaian intelektual pun tersedia. Banyak yang menjadi pengamat
ini dan pengamat itu. Mengomentari politik, budaya, film, dan gaya hidup
dengan kalimat yang nyinyir dan supersarkastis.
Kadang terasa ingin terlihat
pandai dan ingin diakui pandai. Ada yang tak dimungkiri, memang pandai dan
berwawasan sehingga membuat saya sudah jarang sekali membaca koran. Sosial
media menjadi koran baru buat saya.
Selain jenis pameran di atas,
ada lagi pameran lain yang mempertontonkan fisik yang superseksi. Ya pria,
ya wanita. Ya pria flamboyan, ya wanita gagah perkasa. Kalau di negeri ini
toko esek-esek dilarang keras, maka di sosial media hal itu tak jadi
masalah. Bahkan, sosial media pun sudah mirip toko semacam itu.
Sosial media juga digunakan
untuk menceritakan aktivitas keseharian yang kadang tak bernilai apa pun.
Tapi alhasil demikianlah adanya. Ada yang mau mandi pagi saja harus
di-posting. Mengganti saluran tivi di-posting. Kukunya patah, yaa.. di-posting. Ganti
seprai di-posting juga.
Jadi, apakah mereka sombong,
jujur, atau belajar menjadi tak peduli atau malah mulai belajar menghargai
hak asasi? Buat saya, sosial media memberi pelajaran untuk menjadi jujur
sehingga istilah sombong, tak tahu diri, sok tahu, sok pinter bukan
lagi sebuah tabiat yang pongah sekarang ini.
Sosial media juga membuka jalan
untuk melakukan kebebasan berekspresi dan menghargai hak setiap individu
sehingga akan mengurangi mulut bersuara aku gak suka, foto apaan tuh,
omongan gak ada nilainya, dasar goblok gak punya otak.
Malahan yang bersuara demikian
lama-lama belajar untuk mengurangi mulutnya bernyanyi dengan nada sarkastis
karena lawannya tak memedulikannya sama sekali. Ekspresi diri memberi
latihan untuk menjadi berani. Berani bertanggung jawab atas hal-hal yang
disampaikan, mau lewat gambar atau tulisan. Mau selfieatau menjadi
seksi.
Sosial media memberi banyak
kesempatan melihat dunia dan dunia melihat kita. Sosial media membuat
bisnis kadang menghampiri tanpa diduga, dan kemampuan terpendam yang selama
ini tak memiliki salurannya, sekarang tersalur dan memberi masa depan yang
diimpikan.
Sosial media seperti krim
anti-aging, yang membuat saya tidak menua sebagai manusia lama yang
kaku, tetapi menjadi terbuka melihat bahwa nilai-nilai kehidupan sudah
banyak yang bergeser.
Sebuah krim yang menambah
kemampuan saya menjadi manusia yang mengerti dan mengurangi hasrat membawa
palu ke mana-mana. Krim ampuh yang membuat saya menjadi manusia lama yang
baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar