Pada hajatan seni
rupa dua tahunan bernama Jakarta Biennale, November lalu, ada karya
menarik, berupa paduan karya fotografi dan teks, oleh seniman muda Agan
Harahap. Di ruang pamer di Taman Ismail Marzuki, ia memajang sejumlah foto
Bung Karno yang dijamin belum pernah dilihat orang, bahkan oleh peneliti
sejarah kampiun sekalipun. Mana mungkin orang pernah melihat foto Bung
Karno mengunjungi Liz Taylor di lokasi pengambilan gambar film Cleopatra.
Atau Bung Karno berjalan tergesa, sementara di belakangnya terlihat Marilyn
Monroe mengikuti dengan menangis sesenggukan. Kapan pula Bung Karno bertemu
dewa pop
artAndy
Warhol, ditemani Presiden JFK?
Dalam buku kecil yang mengiringi
gambar-gambar ini, diterangkan foto-foto tadi adalah hasil jepretan
wartawan Istana kala itu, Amrizal Chaniago. Siapa Amrizal? Dia saksi
sejarah, kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, tahun 1935. Mengawali
karier sebagai tukang foto keliling dari studio foto Thay San di daerah
Tambora, Jakarta Barat (studio ini pun ada fotonya), Amrizal bisa masuk ke
Istana berkat perkenalannya dengan fotografer terkenal Frans Mendur. Dari
tukang bantu-bantu alias asisten, perlahan-lahan kariernya menanjak. Ia
memotret Konferensi Asia Afrika di Bandung, mengikuti perjalanan Bung Karno
ke Amerika, sampai menguntit perjalanan gerilyawan komunis Che Guevara ke
Borobudur saat yang bersangkutan mengunjungi Indonesia di tahun 1960-an.
Che bahkan sempat meminjam korek api Amrizal.
Karier Amrizal habis ketika dia dituduh
terlibat PKI. Ia dibuang ke Pulau Buru dan bebas tahun 1979 bersama ratusan
tahanan politik lainnya. Tahun 1981 ia menikah dengan eks tapol perempuan
yang baru dibebaskan dari penjara Plantungan. Pasangan ini sekarang hidup
dari usaha warung kecil-kecilan di permukiman padat di bilangan Pisangan,
Jatinegara.
Sebegitu meyakinkan foto-foto dan teks
itu. Orang bisa mengira seluruh rangkaian cerita di atas benar adanya,
kalau tidak awas pada penjelasan sebelumnya bahwa karya ini adalah fiksi.
Si seniman menerangkan, ia ingin mengajak orang melihat pertautan teknologi
dan kebudayaan. Pendeknya, teknologi dan kebudayaan saling berpaut, dan
pada akhirnya menciptakan perkembangan sendiri. Sejarah_X—begitu dia
menuliskan—adalah representasi dari gejolak serta perubahan sosial yang
terjadi dalam keseharian kita.
Sejatinya pula, konstruksi sejarah bisa
berlangsung seperti proses di atas. Sebagai ”theatre
of memory”, ditambah kerentanan memori manusia yang gampang
dimanipulasi bahkan memanipulasi dirinya sendiri, sejarah dalam beberapa
hal tak lebih dari sebuah fiksi.
Komedi sebagai bagian dari teater memori
itu bisa dilihat misalnya dari munculnya poster-poster bergambar Soeharto
sekarang. Kata-kata yang mengikuti: ”Piye
kabare? Enak jamanku
tho...” (Bagaimana
kabar? Enak zaman saya kan...). Disusul belakangan poster serupa, bergambar
almarhum Bu Tin. Kata-katanya: ”Ojo
pisan-pisan percoyo omongane bojoku. Jaman bojoku ki babar blas ora penak.” (Jangan sekali-sekali
percaya omongan suamiku. Zaman suamiku itu sama sekali tidak enak).
Dalam proses kebudayaan yang makin
terbuka, ditambah kemajuan teknologi visual yang kian mampu mengaburkan
batas antara sesuatu yang nyata dan tidak nyata, hati-hatilah dengan memori
kita. Bukan hanya terhadap narasi sejarah, tetapi juga terhadap lingkungan
kehidupan sehari-hari. Kini tak jelas lagi mana berita mana iklan, mana
kerja politik untuk memajukan bangsa mana untuk kemakmuran keluarga, mana
kepemimpinan nasional mana kecengengan bawaan, mana amanat rakyat mana
amanat modal, dan lain-lain.
Batas-batas itu meleleh seperti
melelehnya sekat-sekat dalam diri manusia: mana politikus mana pelawak,
mana rohaniwan mana koruptor, mana pengacara mana pembohong, dan seterusnya.
Sejak lama sebenarnya orang diam-diam menyadari absurditas tersebut.
Makanya, kalau di tengah kemacetan tiba-tiba ujung jalan Anda ditutup, ada
saja yang akan berujar: oh, si Komo
lewat.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar