Minggu, 08 Desember 2013

Sejarah_X

Sejarah_X
Bre Redana  ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  08 Desember 2013

  
Pada hajatan seni rupa dua tahunan bernama Jakarta Biennale, November lalu, ada karya menarik, berupa paduan karya fotografi dan teks, oleh seniman muda Agan Harahap. Di ruang pamer di Taman Ismail Marzuki, ia memajang sejumlah foto Bung Karno yang dijamin belum pernah dilihat orang, bahkan oleh peneliti sejarah kampiun sekalipun. Mana mungkin orang pernah melihat foto Bung Karno mengunjungi Liz Taylor di lokasi pengambilan gambar film Cleopatra. Atau Bung Karno berjalan tergesa, sementara di belakangnya terlihat Marilyn Monroe mengikuti dengan menangis sesenggukan. Kapan pula Bung Karno bertemu dewa pop artAndy Warhol, ditemani Presiden JFK?
Dalam buku kecil yang mengiringi gambar-gambar ini, diterangkan foto-foto tadi adalah hasil jepretan wartawan Istana kala itu, Amrizal Chaniago. Siapa Amrizal? Dia saksi sejarah, kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, tahun 1935. Mengawali karier sebagai tukang foto keliling dari studio foto Thay San di daerah Tambora, Jakarta Barat (studio ini pun ada fotonya), Amrizal bisa masuk ke Istana berkat perkenalannya dengan fotografer terkenal Frans Mendur. Dari tukang bantu-bantu alias asisten, perlahan-lahan kariernya menanjak. Ia memotret Konferensi Asia Afrika di Bandung, mengikuti perjalanan Bung Karno ke Amerika, sampai menguntit perjalanan gerilyawan komunis Che Guevara ke Borobudur saat yang bersangkutan mengunjungi Indonesia di tahun 1960-an. Che bahkan sempat meminjam korek api Amrizal.
Karier Amrizal habis ketika dia dituduh terlibat PKI. Ia dibuang ke Pulau Buru dan bebas tahun 1979 bersama ratusan tahanan politik lainnya. Tahun 1981 ia menikah dengan eks tapol perempuan yang baru dibebaskan dari penjara Plantungan. Pasangan ini sekarang hidup dari usaha warung kecil-kecilan di permukiman padat di bilangan Pisangan, Jatinegara.
Sebegitu meyakinkan foto-foto dan teks itu. Orang bisa mengira seluruh rangkaian cerita di atas benar adanya, kalau tidak awas pada penjelasan sebelumnya bahwa karya ini adalah fiksi. Si seniman menerangkan, ia ingin mengajak orang melihat pertautan teknologi dan kebudayaan. Pendeknya, teknologi dan kebudayaan saling berpaut, dan pada akhirnya menciptakan perkembangan sendiri. Sejarah_X—begitu dia menuliskan—adalah representasi dari gejolak serta perubahan sosial yang terjadi dalam keseharian kita.
Sejatinya pula, konstruksi sejarah bisa berlangsung seperti proses di atas. Sebagai ”theatre of memory”, ditambah kerentanan memori manusia yang gampang dimanipulasi bahkan memanipulasi dirinya sendiri, sejarah dalam beberapa hal tak lebih dari sebuah fiksi.
Komedi sebagai bagian dari teater memori itu bisa dilihat misalnya dari munculnya poster-poster bergambar Soeharto sekarang. Kata-kata yang mengikuti: ”Piye kabare? Enak jamanku tho...” (Bagaimana kabar? Enak zaman saya kan...). Disusul belakangan poster serupa, bergambar almarhum Bu Tin. Kata-katanya: ”Ojo pisan-pisan percoyo omongane bojoku. Jaman bojoku ki babar blas ora penak.” (Jangan sekali-sekali percaya omongan suamiku. Zaman suamiku itu sama sekali tidak enak).
Dalam proses kebudayaan yang makin terbuka, ditambah kemajuan teknologi visual yang kian mampu mengaburkan batas antara sesuatu yang nyata dan tidak nyata, hati-hatilah dengan memori kita. Bukan hanya terhadap narasi sejarah, tetapi juga terhadap lingkungan kehidupan sehari-hari. Kini tak jelas lagi mana berita mana iklan, mana kerja politik untuk memajukan bangsa mana untuk kemakmuran keluarga, mana kepemimpinan nasional mana kecengengan bawaan, mana amanat rakyat mana amanat modal, dan lain-lain.
Batas-batas itu meleleh seperti melelehnya sekat-sekat dalam diri manusia: mana politikus mana pelawak, mana rohaniwan mana koruptor, mana pengacara mana pembohong, dan seterusnya. Sejak lama sebenarnya orang diam-diam menyadari absurditas tersebut. Makanya, kalau di tengah kemacetan tiba-tiba ujung jalan Anda ditutup, ada saja yang akan berujar: oh, si Komo lewat....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar