Sebuah produk kebijakan di bidang energi yang belum lama ini
diputuskan oleh legislatif dan eksekutif membuahkan kontroversi. Pasalnya,
kebijakan ini disinyalir beberapa pihak akan mengancam dunia bisnis mineral
Indonesia, terutama terhadap eksistensi pemilik tambang mineral dan para
pengekspor.
Pada 5 Desember 2013, DPR bersama Kementerian
ESDM menyepakati kebijakan terkait pelarangan ekspor mineral. Secara legal
formal, tak ada yang salah dengan kebijakan ini. Kebijakan mengenai
larangan untuk mengekspor mineral ini memiliki payung hukum yang jelas,
yakni UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. UU tersebut secara jelas menjabarkan
bahwa pemerintah mewajibkan pelaku usaha pemegang Kontrak Karya dan Izin
Usaha Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Kebijakan terkait peningkatan nilai tambah
mineral yang akan dimulai pada 12 Januari 2014 ini pun sesuai dengan amanat
UU Minerba, yakni harus diterapkan selambatlambatnya lima tahun sejak
undang-undang tersebut diberlakukan. Suatu kebijakan dibuat bukan tanpa
tujuan. Selain tak salah secara legal formal, kebijakan ini juga dirasa
telah tepat secara tujuan.
Tujuan utama pemerintah adalah bagaimana
meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri serta mengembangkan
industri domestik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan diolahnya
mineral tersebut, ekspor Indonesia tidak hanya berbentuk bahan mentah,
tetapi juga menjadi produk industri setengah jadi hingga siap pakai,
sehingga Indonesia juga memiliki “brand” produk mineral yang dikenal di
kalangan internasional. Selain itu, cadangan fosil yang semakin kritis juga
menjadi alasan yang melatarbelakangi pemerintah untuk melarang ekspor
mineral.
Dengan demikian, menjadi jelas apa yang
melatarbelakangi tujuan kebijakan tersebut. Sebagai turunan dari kebijakan
undang-undang tersebut, Kementerian ESDM juga telah mengeluarkan Peraturan
Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 dan No 11 Tahun 2011, soal petunjuk teknis dan
pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Meskipun
demikian, peraturan teknis tersebut tidak membuat pelaksanaan kebijakan ini
menjadi bebas masalah. Permasalahan muncul ketika kebijakan tersebut dirasa
belum cukup aplikatif.
Tentu saja kewajiban untuk mengolah mineral
terlebih dahulu sebelum mengekspornya adalah sesuatu yang tidak mudah,
karena hal tersebut tidak menjadi kegiatan wajib para pengusaha mineral
sebelumnya. Memang masalah ini menjadi sangat masuk akal jika dilihat dari
perspektif pengusaha, bagaimana sebuah proses pengolahan mineral yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan menjadi sebuah kewajiban bagi mereka.
Sebelum lebih lanjut membahas permasalahan apa
saja yang terjadi dengan adanya kebijakan ini, perlu juga memandang secara
objektif apa hal positif yang akan terjadi dengan adanya kebijakan ini,
serta dampak negatifnya. Secara positif, jika kebijakan ini dilakukan
dengan sungguhsungguh maka jelas akan berpengaruh kepada penambahan
pemasukan negara, karena tidak lagi mengekspor bahan mentah.
Selain itu, kemungkinan lain yang akan menjadi
dampak positif ialah tidak tereksploitasinya sumber daya mineral Indonesia
secara berlebihan, namun harus juga diperhatikan untuk mengolahnya agar
memiliki nilai tambah memerlukan proses dan biaya yang tidak sedikit. Namun
sayangnya, Indonesia belum siap untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh
kebijakan ini. Ketidaksiapan inilah yang pada akhirnya memunculkan dampak
negatif. Yang perlu diperhatikan adalah, untuk mengolah mineral membutuhkan
sarana-prasarana yang dinamakan smelter.
Smelter sendiri adalah infrastruktur
pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan kandungan logam
sehingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk.
Tentu saja tidak mudah untuk membangun sebuah smelter karena membutuhkan
biaya yang besar. Belum lagi bagi para pengusaha nasional yang baru
berjalan sekitar 3–7 tahun, tentu mereka akan kesulitan membangun berbagai
rangkaian infrastruktur, termasuk power plant yang mahal.
Dari sinilah permasalahan di awal terjadi.
Namun, masalah awal ini justru menciptakan efek domino. Pertama,
ketidakmampuan para pengusaha untuk membangun smelter akan membuat mereka
gulung tikar karena ekspor mineral menjadi sesuatu yang dilarang di negara
ini. Kedua, setelah mereka gulung tikar, maka akan ada pemecatan
besar-besaran terhadap karyawan perusahaan terkait, yang mengakibatkan lahir
banyaknya pengangguran. Dan ketiga, secara global, Indonesia diprediksi
akan kehilangan potensi pendapatan devisa ekspor mineral USD4 miliar di
2014.
Memang sebuah kebijakan tidak akan pernah
mampu memuaskan semua pihak. Setiap risiko pasti akan terjadi dalam
pelaksanaan sebuah kebijakan. Namun demi kepentingan nasional dan masa
depan bangsa, keputusan kebijakan ini harus tetap diambil dengan risiko
terkecil. Kita juga harus ingat bahwa pada dasarnya terdapat sebuah jalan
tengah, atau rasanya lebih pantas jika disebut dengan “solusi politik” dari
berbagai dampak negatif kebijakan ini.
Kembali lagi ke permasalahan belum
terbangunnya smelter yang mencukupi, pemerintah pada dasarnya memang telah
melakukan sebuah kesalahan teknis. Pemerintah mengalami keterlambatan dalam
menyiapkan aturan pelaksanaan selama dua tahun, sehingga para pengusaha
tidak bisa memulai membangun smelter, atau dengan kata lain, terlambat dua
tahun. Keterlambatan tersebutlah yang menciptakan inti permasalahan bagi
para pengusaha, yakni berkurangnya produksi karena dilarangnya ekspor
mineral, dan di sisi lain pembangunan smelter belum juga rampung.
Namun pada dasarnya, keterlambatan pembangunan
smelter dapat diakomodasi dengan win
win solution sebagai berikut, para pengusaha yang berkewajiban
membangun smelter memang harus memulai untuk membangun smeltersmelter
tersebut. Namun demikian, sebelum smelter selesai dibangun, mereka dapat
tetap mengekspor mineral, atau solusi lain adalah pemerintahlah yang
membeli hasil produksi mereka untuk kemudian diekspor (Bukan mereka yang
mengekspor langsung ke luar negeri).
Tentu saja dalam pembangunan smelter terdapat
kendala, yakni kesiapan energi listrik untuk smelter mereka. Ini pun bisa
diselesaikan kembali dengan win win solution. Pemerintah melalui BUMN yakni
PLN, bisa menangkap ini sebagai peluang. Pengusaha yang membangun smelter
pasti membeli listrik dengan harga yang pantas, sehingga ini juga bisa
menambah pendapatan negara melalui penjualan listrik tersebut. Solusi
politik yang terakhir adalah pendataan para pengusaha yang ingin membangun
smelter.
Pendataan dapat dilakukan dengan
mengualifikasikan, apakah pengusaha tersebut belum membangun smelter karena
kesalahan pemerintah sehingga mereka tidak bisa membangun, ataukah memang
karena mereka adalah pengusaha “nakal” yang tidak mau membangun smelter.
Kualifikasi pertama dapat diberikan kompensasi dengan diperbolehkan
mengekspor sampai smelter selesai dibangun. Namun untuk pengusaha yang
masuk ke dalam kualifikasi kedua, perlu diberi sanksi tertentu.
Hanya, yang perlu ditekankan, kualifikasi apa
pun harus tetap punya program membangun smeltermulai tahun 2014. Solusi
terakhir memerlukan kerja keras dari banyak pihak, terutama pemerintah.
Pendataan harus akurat dan valid mengenai siapa saja yang memang sudah
memulai pembangunan smelter sejak
UU Minerba Tahun 2009 dikeluarkan dan yang belum mulai membangun sama
sekali.
Namun demikian, pada akhirnya kita semua perlu
menyadari bahwasanya kebijakan larangan ekspor minerba adalah sebuah hal yang
mutlak dilakukan demi perbaikan tata kelola sektor energi bangsa ini. Kita
harus memulainya, jika tidak sekarang, kapan lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar