Rabu, 18 Desember 2013

Solusi Politik Mineral

Solusi Politik Mineral
Dewi Aryani  ;    Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
KORAN SINDO,  18 Desember 2013
  


Sebuah produk kebijakan di bidang energi yang belum lama ini diputuskan oleh legislatif dan eksekutif membuahkan kontroversi. Pasalnya, kebijakan ini disinyalir beberapa pihak akan mengancam dunia bisnis mineral Indonesia, terutama terhadap eksistensi pemilik tambang mineral dan para pengekspor. 

Pada 5 Desember 2013, DPR bersama Kementerian ESDM menyepakati kebijakan terkait pelarangan ekspor mineral. Secara legal formal, tak ada yang salah dengan kebijakan ini. Kebijakan mengenai larangan untuk mengekspor mineral ini memiliki payung hukum yang jelas, yakni UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. UU tersebut secara jelas menjabarkan bahwa pemerintah mewajibkan pelaku usaha pemegang Kontrak Karya dan Izin Usaha Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. 

Kebijakan terkait peningkatan nilai tambah mineral yang akan dimulai pada 12 Januari 2014 ini pun sesuai dengan amanat UU Minerba, yakni harus diterapkan selambatlambatnya lima tahun sejak undang-undang tersebut diberlakukan. Suatu kebijakan dibuat bukan tanpa tujuan. Selain tak salah secara legal formal, kebijakan ini juga dirasa telah tepat secara tujuan. 

Tujuan utama pemerintah adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri serta mengembangkan industri domestik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan diolahnya mineral tersebut, ekspor Indonesia tidak hanya berbentuk bahan mentah, tetapi juga menjadi produk industri setengah jadi hingga siap pakai, sehingga Indonesia juga memiliki “brand” produk mineral yang dikenal di kalangan internasional. Selain itu, cadangan fosil yang semakin kritis juga menjadi alasan yang melatarbelakangi pemerintah untuk melarang ekspor mineral. 

Dengan demikian, menjadi jelas apa yang melatarbelakangi tujuan kebijakan tersebut. Sebagai turunan dari kebijakan undang-undang tersebut, Kementerian ESDM juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 dan No 11 Tahun 2011, soal petunjuk teknis dan pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Meskipun demikian, peraturan teknis tersebut tidak membuat pelaksanaan kebijakan ini menjadi bebas masalah. Permasalahan muncul ketika kebijakan tersebut dirasa belum cukup aplikatif. 

Tentu saja kewajiban untuk mengolah mineral terlebih dahulu sebelum mengekspornya adalah sesuatu yang tidak mudah, karena hal tersebut tidak menjadi kegiatan wajib para pengusaha mineral sebelumnya. Memang masalah ini menjadi sangat masuk akal jika dilihat dari perspektif pengusaha, bagaimana sebuah proses pengolahan mineral yang sebelumnya tidak pernah dilakukan menjadi sebuah kewajiban bagi mereka. 

Sebelum lebih lanjut membahas permasalahan apa saja yang terjadi dengan adanya kebijakan ini, perlu juga memandang secara objektif apa hal positif yang akan terjadi dengan adanya kebijakan ini, serta dampak negatifnya. Secara positif, jika kebijakan ini dilakukan dengan sungguhsungguh maka jelas akan berpengaruh kepada penambahan pemasukan negara, karena tidak lagi mengekspor bahan mentah. 

Selain itu, kemungkinan lain yang akan menjadi dampak positif ialah tidak tereksploitasinya sumber daya mineral Indonesia secara berlebihan, namun harus juga diperhatikan untuk mengolahnya agar memiliki nilai tambah memerlukan proses dan biaya yang tidak sedikit. Namun sayangnya, Indonesia belum siap untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh kebijakan ini. Ketidaksiapan inilah yang pada akhirnya memunculkan dampak negatif. Yang perlu diperhatikan adalah, untuk mengolah mineral membutuhkan sarana-prasarana yang dinamakan smelter. 

Smelter sendiri adalah infrastruktur pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan kandungan logam sehingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk. Tentu saja tidak mudah untuk membangun sebuah smelter karena membutuhkan biaya yang besar. Belum lagi bagi para pengusaha nasional yang baru berjalan sekitar 3–7 tahun, tentu mereka akan kesulitan membangun berbagai rangkaian infrastruktur, termasuk power plant yang mahal. 

Dari sinilah permasalahan di awal terjadi. Namun, masalah awal ini justru menciptakan efek domino. Pertama, ketidakmampuan para pengusaha untuk membangun smelter akan membuat mereka gulung tikar karena ekspor mineral menjadi sesuatu yang dilarang di negara ini. Kedua, setelah mereka gulung tikar, maka akan ada pemecatan besar-besaran terhadap karyawan perusahaan terkait, yang mengakibatkan lahir banyaknya pengangguran. Dan ketiga, secara global, Indonesia diprediksi akan kehilangan potensi pendapatan devisa ekspor mineral USD4 miliar di 2014. 

Memang sebuah kebijakan tidak akan pernah mampu memuaskan semua pihak. Setiap risiko pasti akan terjadi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Namun demi kepentingan nasional dan masa depan bangsa, keputusan kebijakan ini harus tetap diambil dengan risiko terkecil. Kita juga harus ingat bahwa pada dasarnya terdapat sebuah jalan tengah, atau rasanya lebih pantas jika disebut dengan “solusi politik” dari berbagai dampak negatif kebijakan ini. 

Kembali lagi ke permasalahan belum terbangunnya smelter yang mencukupi, pemerintah pada dasarnya memang telah melakukan sebuah kesalahan teknis. Pemerintah mengalami keterlambatan dalam menyiapkan aturan pelaksanaan selama dua tahun, sehingga para pengusaha tidak bisa memulai membangun smelter, atau dengan kata lain, terlambat dua tahun. Keterlambatan tersebutlah yang menciptakan inti permasalahan bagi para pengusaha, yakni berkurangnya produksi karena dilarangnya ekspor mineral, dan di sisi lain pembangunan smelter belum juga rampung. 

Namun pada dasarnya, keterlambatan pembangunan smelter dapat diakomodasi dengan win win solution sebagai berikut, para pengusaha yang berkewajiban membangun smelter memang harus memulai untuk membangun smeltersmelter tersebut. Namun demikian, sebelum smelter selesai dibangun, mereka dapat tetap mengekspor mineral, atau solusi lain adalah pemerintahlah yang membeli hasil produksi mereka untuk kemudian diekspor (Bukan mereka yang mengekspor langsung ke luar negeri). 

Tentu saja dalam pembangunan smelter terdapat kendala, yakni kesiapan energi listrik untuk smelter mereka. Ini pun bisa diselesaikan kembali dengan win win solution. Pemerintah melalui BUMN yakni PLN, bisa menangkap ini sebagai peluang. Pengusaha yang membangun smelter pasti membeli listrik dengan harga yang pantas, sehingga ini juga bisa menambah pendapatan negara melalui penjualan listrik tersebut. Solusi politik yang terakhir adalah pendataan para pengusaha yang ingin membangun smelter. 

Pendataan dapat dilakukan dengan mengualifikasikan, apakah pengusaha tersebut belum membangun smelter karena kesalahan pemerintah sehingga mereka tidak bisa membangun, ataukah memang karena mereka adalah pengusaha “nakal” yang tidak mau membangun smelter. Kualifikasi pertama dapat diberikan kompensasi dengan diperbolehkan mengekspor sampai smelter selesai dibangun. Namun untuk pengusaha yang masuk ke dalam kualifikasi kedua, perlu diberi sanksi tertentu. 

Hanya, yang perlu ditekankan, kualifikasi apa pun harus tetap punya program membangun smeltermulai tahun 2014. Solusi terakhir memerlukan kerja keras dari banyak pihak, terutama pemerintah. Pendataan harus akurat dan valid mengenai siapa saja yang memang sudah memulai pembangunan smelter sejak UU Minerba Tahun 2009 dikeluarkan dan yang belum mulai membangun sama sekali. 

Namun demikian, pada akhirnya kita semua perlu menyadari bahwasanya kebijakan larangan ekspor minerba adalah sebuah hal yang mutlak dilakukan demi perbaikan tata kelola sektor energi bangsa ini. Kita harus memulainya, jika tidak sekarang, kapan lagi?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar