Solidaritas
Politik Anti-Apartheid
Dinna Wisnu ;
Co-Founder & Direktur Pascasarjana
Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 18 Desember 2013
Dalam
minggu ini jenazah Nelson Mandela dimakamkan di kampung halamannya. Seorang
kepala suku di sana menggambarkan Mandela sebagai pohon besar yang telah
tumbang. Perumpamaan itu tepat kerena Nelson Mandela telah menjadi
inspirasi bagi gerakan antiapartheid di Afrika Selatan dalam memperjuangkan
kesetaraan dan kesamaan kesempatan dalam urusan politik dan ekonomi.
Ketokohan Nelson Mandela dan perjuangan
politik anti-apartheid tetap menjadi sebuah narasi politik yang baik,
khususnya dalam konteks politik luar negeri Indonesia. Terlebih lagi dengan
memperingati apa yang terjadi dalam masa perjuangan politik zaman Mandela,
kita dapat juga menarik pelajaran tentang bagaimana mengintepretasikan
perkembangan politik luar negeri Indonesia saat ini. Politik segregrasi di
Afrika Selatan hampir mirip dengan politik pemisahan kelas di Indonesia.
Di Afrika tingkat golongan masyarakat dibagi
antara kulit putih, kulit hitam, kulit berwarna, dan India. Sementara di
Indonesia pemerintah Hindia Belanda menggolongkannya menjadi bangsa Eropa,
China, Arab, dan pribumi. Tujuan pengaturan dan pemisahaan ini adalah untuk
membatasi dan memantau agar kelompok-kelompok tersebut tidak mengancam
kedudukan penguasa yang berkulit putih atau berasal dari Eropa. Kebijakan
pemisahan masyarakat berdasarkan ras dan warna kulit itu telah mendapat
kecaman dari banyak negara.
Hal ini tidak lepas dari suasana politik pada
saat itu di mana banyak anggota PBB adalah negaranegara yang baru
memerdekakan dirinya dari kolonialisme seperti Indonesia. Perasaan-perasaan
solidaritas sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa Barat mendorong banyak
negara yang baru merdeka untuk turut aktif dalam mengecam politik segregasi
warna kulit di Afrika Selatan. Ada sedikitnya 18 buah resolusi yang
dihasilkan PBB tentang penentangannya terhadap kebijakan apartheid di
Afrika Selatan.
Resolusi pertama yang dikeluarkan PBB adalah
Resolusi 395 yang menyatakan kebijakan pemisahan segregrasi warna kulit
adalah kebijakan politik yang mengacu pada doktrin diskriminasi rasial.
Resolusi lainnya kemudian mengatur pembatasan tentang perdagangan senjata,
embargo ekonomi, dan sanksi-sanksi pembatasan perdagangan dengan tujuan
mengisolasi pemerintahan apartheid Afrika Selatan; harapannya agar mereka
mau mengubah kebijakan. Meskipun banyak resolusi yang telah dikeluarkan PBB
sejak 1950, pemerintahan Afrika Selatan pada saat itu tetap bertahan.
Salah satu penyebabnya karena ada dukungan
kuat dari negara-negara Barat seperti Amerika dan Inggris. Dukungan itu
tidak lepas dari konteks Perang Dingin antara blok komunis yang dipimpin
Uni Soviet dan blok kapitalis dengan Amerika Serikat sebagai panglimanya.
Amerika mengkhawatirkan bahwa perjuangan antiapartheid akan disalahgunakan
oleh blok komunis untuk memperkuat basis mereka. Kebetulan pada masa itu,
pada 1975 hingga 1990, terjadi perang saudara di Angola setelah kemerdekaannya.
Angola adalah negara tetangga yang berada di sebelah barat daya Afrika
Selatan.
Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Zaire
mendukung dua kekuatan militer, yaitu National Liberation Front of Angola
(FNLA) dan the National Union for the Total Independence of Angola (UNITA).
Kuba mengirimkan ribuan tentaranya untuk mendukung People’s Movement for the Liberation of Angola (MPLA). Selain
Angola, Namibia juga tengah berjuang melepaskan diri dari penjajahan Afrika
Selatan. Kuba juga membantu South West Africa People’s Organization baik
dalam militer, ekonomi maupun bantuan sosial menghadapi rezim apartheid
Afrika Selatan.
Basis-basis perjuangan tersebut yang kemudian
menjadi salah satu tempat latihan bagi sayap militer African National Congress (ANC) untuk melawan rezim apartheid.
Hubungan antara ANC dan Kuba sendiri telah dibangun pada saat para pemimpin
ANC mengadakan perjalanan ke negara-negara Barat pada 1960-an. Mereka
mendapat jaminan Kuba akan membantu ANC tidak hanya dalam militer, tetapi
juga dalam hal bantuan sosial seperti pengiriman dokter-dokter.
Selain Kuba, ANC juga mendapat dukungan dari
Muammar Gaddafi dari Libya dan Yasser Arafat dari Palestine Liberation Organization. Hubungan-hubungan tersebut
yang membuat rezim apartheid memperoleh dukungan dari beberapa negara
Barat. Presiden AS Ronald Reagan kemudian memperkenalkan kebijakan Constructive Enggagement dalam soal
rezim apartheid Afrika Selatan. Ia berpendapat mengubah politik dalam
negeri dapat dilakukan dengan kerja sama yang baik dan tidak harus selalu
menggunakan cara-cara yang keras.
Rezim apartheid meyakinkan AS bahwa membantu
ANC adalah juga membantu gerakan komunis dalam menguasai Benua Afrika,
tetapi rezim itu sepakat bahwa cara yang ditawarkan Reagan punya potensi
mencapai tujuan rezim. Tak mengherankan, rezim apartheid menguatkan
relasinya dengan Israel. Politik luar negeri rezim apartheid Afrika Selatan
dengan Israel sebetulnya telah berkembang sejak 1950-an.
Pada saat itu Perdana Menteri DF Malan
mengatakan ia memiliki kepentingan di Timur Tengah karena kawasan tersebut
adalah pintu di mana musuh akan masuk ke Afrika. Musuh yang ia maksud adalah
Mesir di bawah Gamal Abdul-Naser yang memiliki komitmen ideologis untuk
membantu negara-negara Arab dan Afrika untuk bebas dari belenggu
penjajahan. Meski demikian, tekanan terhadap rezim apartheid tidak
sepenuhnya tergantung kepada beberapa negara Barat.
Sejak 1985 banyak tekanan multilateral yang
dilancarkan negaranegara yang bersimpati terhadap perjuangan pembebasan di
Afrika Selatan. Misalnya negara-negara Commonwealth
yang memiliki kaitan sejarah membentuk eminent
persons untuk menginvestigasi situasi di Afrika Selatan. Walaupun
laporan investigasinya ditolak Kerajaan Inggris, mereka tetap
merekomendasikan pemerintahan Afrika Selatan tidak siap untuk melakukan
negosiasi dan menganjurkan untuk menerapkan sanksi.
Pada tahun yang sama, Masyarakat Uni-Eropa
juga mengadopsi kebijakan terpadu untuk yang pertama kali tentang Afrika
Selatan yang merekomendasikan embargo senjata, minyak, dan peralatan
keamanaan yang sensitif ke Afrika Selatan. Mereka juga menghentikan impor
besi dan baja dari Afrika Selatan setahun kemudian walaupun tidak berhasil
menyepakati penghentian impor batu bara dan produk-produk pertanian karena
oposisi dari Jerman dan Inggris. Kita juga tidak bisa melupakan peran dari
negara-negara nonblok yang terus melakukan tekanan lewat PBB.
Faktor yang juga tidak kalah penting adalah
dukungan masyarakat sipil yang luas terhadap perjuangan anti-apartheid.
Perjuangan masyarakat sipil itu melewati batas-batas negara dan mereka
melakukan tekanan kepada pemerintah masingmasing untuk bertindak. Walaupun
AS dan Inggris secara formal mendukung baik terbuka atau diam-diam kepada
rezim apartheid Afrika Selatan, masyarakat sipil di sana gencar melakukan
lobi, boikot, dan demonstrasi untuk menentang.
Di Inggris ada sebuah organisasi Boycott Movement yang menyerukan
masyarakat Inggris untuk memboikot produk-produk dari Afrika Selatan.
Demikian pula gerakan-gerakan masyarakat sipil di daratan Eropa. Pengalaman
perjuangan anti-apartheid memberi kita pelajaran dalam diplomasi bahwa
perjuangan tentang nilai-nilai tertentu sangat baik apabila memperoleh dukungan
dari negara-negara maju, tetapi tidak boleh juga surut semangat kita apabila
mereka tidak memberikan dukungan dan bahkan melawan apa yang kita
perjuangkan.
Membangun hubungan baik dan komunikasi aktif
dengan negara-negara lain dan khususnya dengan masyarakat sipil menjadi
bagian dari diplomasi luar negeri yang efektif dalam menciptakan perdamian.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar