Solusi Polemik
Status GTT
Dian Marta W ; Lulusan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013,
Mahasiswi
Program Pascasarjana Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 12 Desember 2013
Menarik, membaca ’’Tajuk Rencana’’ harian
ini berjudul ”Blunder Kebijakan Tenaga Honorer” yang memberi gambaran polemik
kebijakan tenaga honorer, khususnya guru tidak tetap/GTT (SM, 26/11/2013).
Tulisan itu menjelaskan status pegawai negeri sipil (PNS) masih jadi idaman,
namun Kemen PAN dan RB menyebut, separuh PNS berkualitas rendah, dan hanya 5%
dari 4,7 juta pegawai punya kompetensi khusus.
Ini sangat ironis. Ribuan
GTT menuntut kesejahteraan dan materi, namun kualitas mereka rendah.
Kebanyakan dari mereka hanya bertujuan pada ”recehan”, bukan pengabdian dan
spirit mencerdaskan bangsa. Polemik kebijakan mengenai mereka perlu dicari
solusinya, baik jangka panjang maupun pendek.
Masalahnya, hal itu jadi
masalah klasik tiap tahun ketika momentum perekrutan CPNS. Meskipun
pemerintah sudah memberi motivasi dan peningkatan kualitas kinerja PNS,
hasilnya belum signifikan. Bahkan, negara telah menghabiskan 30% APBN, 70%
APBD kota/kabupaten untuk membayar gaji dan tunjangan.
Realitasnya, masih
banyak pegawai malas, kerja setengah hati atau hanya formalitas. GTT juga
ingin memburu status PNS untuk meningkatkan kesejahteraan.
Apa yang bisa dilakukan
pemerintah? Apakah GTT tetap menjadi honorer ataukah harus sejahtera dengan
menjadi PNS? Terlepas dari orientasi PNS, sesungguhnya GTT sangat membutuhkan
napas segar dari pemerintah. Tapi tindakan itu harus tegas, cerdas, dan
solutif.
Seandainya pengangkatan GTT menjadi PNS ”buntu”, pemerintah seharusnya
mencari alternatif konkret. Jangan sampai mereka menjadi pendidik tanpa
kesejahteraan, karena bagaimanapun mereka bagian dari pahlawan yang
mencerdaskan bangsa.
Jumlah GTTsangat banyak.
Khusus jenjang SMA dan SMK tercatat 806 orang. Untuk jenjang SMA 376 orang,
terdiri atas GTT 121 orang dan pegawai tidak tetap/PTT 255 orang. Adapun
jenjang SMK 430 orang, terdiri atas GTT 203 orang dan PTT 227 orang (Kompas,
20/11/13).
Menurut data PGRI, dari 2,9 juta guru di bawah Kemdikbud, 1 juta orang
merupakan GTT. Jumlah itu tersa memprihatinkan. Selain jadi beban pemerintah,
Kemdikbud, sekolah, hal itu berefek pada pembelajaran dan sistem pendidikan
di sekolah. Bila bekerja tanpa kesejahteraan, pasti mereka melakukannya
dengan setengah hati.
Memperbaiki
Sistem
Ada beberapa solusiyang
bisa dilakukan. Pertama; pemerintah memperbaiki sistem. Artinya, sistem
kepegawaian, sistem perekrutan PNS/PTT direformasi agar tidak menjadi polemik
dan ”bumerang” bagi pemerintah sendiri. Kebijakan menjadi dilematis atau
tidak sangat bergantung dari kecerdasan dan ketelitian pemerintah.
Kedua; perekrutan CPNS
yang rawan kecurangan, semrawut dan identik kolusi dan nepotisme maka
kebijakan tegas pemerintah sangat diperlukan. Jangan sampai posisi guru diisi
mereka yang tidak bidangnya dan berlatar belakang tidak kependidikan/guru.
Jika perekrutan guru asal-asalan, pendidikan makin semrawut dan rusak.
Ketiga; agar tidak
”blunder” dan ”dilematis”, pengangkatan GTT jadi PNS harus tepat sasaran, adil,
dan sesuai kebutuhan. Bagi mereka yang masih muda harus diutamakan menjadi
PNS mengingat usia masih produktif dan spirit mengajar masih tinggi. Untuk
tenaga honorer K-1 dan K-2 tidak perlu diangkat menjadi PNS. Pasalnya usia
mereka rata-rata sudah tua dan sangat tidak logis jika diangkat PNS karena
masa kerjanya relatif pendek. Yang terpenting, mereka perlu mendapat posisi
khusus dan kesejahteraan. Jangan sampai pengangkatan GTT yang berusia
tua merugikan pemerintah dan sekolah.
Keempat; perlu dilegalkan
regulasi agar GTT bisa ikut sertifikasi seperti guru tetap atau guru PNS.
Pemerintah perlu menindaklanjuti revisi PP Nomor 74 Tahun 2005 tentang Guru.
Hingga sekarang untuk disertifikasi, GTT terkendala syarat dan dipersulit
aturan administrasi. Pemerintah perlu memperlakukan sama antara guru tetap
dan GTT. Pasalnya, tugas mereka sama, dari membuat RPP, mengajar dan mendidik
siswa yang mayoritas jumlah jamnya sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar