Lingkaran
Setan Partisipasi Pemilu
Karyudi Sutajah P ; Tenaga Ahli DPR
|
SUARA
MERDEKA, 12 Desember 2013
"Terus naiknya angka golput disinyalir disebabkan oleh
perilaku buruk sejumlah elite politik"
IBARAT petir
pada siang bolong, sedikitnya 11 ribu santri dari sejumlah pondok pesantren
di Kediri Jawa Timur menolak dicantumkan dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Mereka tak bersedia menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2014 dengan alasan
menjaga netralitas pesantren. Tamparan keras pun mendarat di pipi
stakeholders pemilu, seperti eksekutif, legislatif, Komisi Pemilihan Umum
(KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Realitas itu juga akan menambah
panjang daftar mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput alias
golongan putih. Padahal, angka golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat,
Pemilu 1999 sebesar 6,3%, Pemilu 2004 naik menjadi 16%, dan Pemilu 2009 melejit
menjadi 29,1%. Angka golput dalam Pemilu 2014 diprediksi mencapai 40%.
Naiknya angka golput disinyalir disebabkan perilaku buruk elite politik.
Alasan para santri menjaga netralitas pesantren seperti sekadar menjaga
kesantunan.
Data dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika, partisipasi pemilih juga menurun 10%
dalam tiap pemilu, dari Pemilu 1999 hingga 2009. Sementara hasil riset LIPI
menggambarkan partisipasi publik dalam partai politik, rendah. Hanya 3,3%
responden yang pernah memberi dana kampanye bagi parpol atau caleg, 7,6%
pernah menyampaikan aspirasi ke caleg atau pengurus parpol, dan 10,8% pernah
memengaruhi orang untuk memilih caleg atau parpol.
Partisipasi publik setelah
pemilu juga rendah. Hanya 5,6% yang mengaku pernah berunjuk rasa, 6,8% pernah
menandatangani petisi menolak atau mendukung kebijakan pemerintah, dan 11%
pernah menghubungi pejabat atau politikus membicarakan kepentingan umum.
Survei dilakukan Mei 2013. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) mencatat, sedikitnya ada 2.000 transaksi mencurigakan anggota DPR. Indonesia Corruption Warch (ICW) juga
mencatat, jumlah kasus di Pengadilan Tipikor dalam tiga tahun terakhir, dari
total 756 terdakwa, ternyata terbanyak terdakwa dengan latar belakang anggota
DPR/DPRD.
Selama semester/II 2010 hingga
semester II/2013 ada 181 anggota legislatif terlibat korupsi. Khusus anggota
DPR, sejak 1999 hingga 2013 sedikitnya 94 anggota terlibat korupsi. PPATK
juga mencatat, berdasarkan riset tipologi terhadap anggota legislatif, ditemukan
bahwa periode 2009-2014 paling banyak terindikasi korupsi dan pencucian uang,
yakni 42,71%.
Kinerja legislasi DPR juga
rendah. Selama tahun sidang 2012-2013, DPR mengesahkan 33 RUU menjadi UU.
Tahun 2012 DPR mengesahkan 30 RUU menjadi UU, jauh di bawah target 69 RUU.
Pada 2010 disepakati 70 RUU masuk Prolegnas, tapi hanya 18 RUU yang disahkan
menjadi UU. Pada 2011, 70 RUU masuk Prolegnas plus 21 RUU luncuran, tapi
hanya 22 RUU disahkan menjadi UU. Selain kuantitas, kualitas UU yang
dihasilkan juga rendah. Dari situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK), sedikitnya
11 UU produk DPR periode 2009-2014 diuji materi.
Perilaku korup
dan kinerja yang rendah sangat ironis bila dibanding gaji anggota DPR yang
relatif tinggi, bahkan tertinggi keempat di dunia, setelah Nigeria, Kenya,
dan Ghana. Bagaimana dengan kepala daerah yang dihasilkan pilkada? Hingga
Juli 2013, 298 dari 524 total jumlah kepala daerah tersangkut korupsi, baik
sebagai saksi, tersangka, terdakwa atau terpidana.
Data dari Kemendagri, sejak
pilkada langsung digelar tahun 2005, sudah 309 kepala daerah terlibat
korupsi. Maka, angka golput dalam pilkada pun cenderung tinggi. Di Sumatera
Utara misalnya, golput pada pilkada 7 Maret lalu 60%. Di Jawa Barat, golput
pada pilkada 24 Februari silam 36,3%, di Jawa Tengah golput pada pilkada 26
Mei lalu 46%, dan di Jawa Timur golput pada pilkada 29 Agustus lalu lebih
dari 40%.
Masyarakat Perkotaan
Salahkah bila 11 ribu santri di
Kediri enggan menggunakan hak pilih dalam pemilu mendatang, bahkan mungkin
dalam pilkada? Bila melihat banyak anggota DPR berperilaku korup dan
berkinerja rendah, barangkali sikap santri itu tak sepenuhnya keliru. Bagi
mereka, lebih baik tidak memilih pun suatu pilihan, daripada memilih kucing
dalam karung.
Golput di
kalangan masyarakat perkotaan memang diprediksi meningkat pada Pemilu 2014.
Masyarakat perkotaan umumnya cukup kritis menghadapi pemilu dan menilai
caleg. Menurut pakar politik dari UGM Kuskrido Ambardi, apatisme politik
terjadi karena masyarakat merasa proses pemilu tak memberikan manfaat.
Masyarakat dan calon pemilih tidak mendapatkan insentif langsung sehingga
mereka cenderung malas ke TPS.
Apatisme juga terjadi karena
masyarakat jenuh terhadap perilaku parpol dan politikus yang lebih suka
berkonflik, korup, dan berkinerja rendah. Menghadapi masyarakat yang apatis,
caleg dan calon kepala daerah pun mencari siasat.
Money politics menjadi senjata pamungkas. Uang ditebar, pemilih
datang ke TPS memilih mereka. Lingkaran setan pemilu pun tercipta. Dengan money politics, mereka terpilih.
Setelah duduk di kursi legislatif atau eksekutif, yang kali pertama muncul di
benak mereka adalah bagaimana cara mengembalikan modal, bahkan untuk bekal
pemilu/pilkada berikutnya. Segala cara pun mereka halalkan, termasuk korupsi,
untuk membeli suara. Masyarakat pun pragmatis, begitu seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar