Ancaman Proyek
Mangkrak
Hery Suroso ; Dosen Unnes, Instruktur Pengadaan Barang Jasa Pemerintah pada
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
|
SUARA
MERDEKA, 11 Desember 2013
RUTINITAS proyek menjelang akhir tahun
selalu membuat galau para pelaksana: dari penyedia, pejabat pembuat komitmen
(PPK), kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), sampai pengguna anggaran
(PA) ataupun kuasa pengguna anggaran (KPA).
Risiko di lapangan muncul
ketika di satu sisi pelaksanaan kontrak tak dapat diselesaikan tepat waktu
tapi di sisi lain pencairan anggaran harus dilakukan guna meningkatkan jumlah
penyerapan anggaran. Bagaimana mengatasinya? Pengambilan keputusan dalam
kondisi itu akan menjadi tanggung jawab PPK sebagai pejabat yang diberi
mandat melaksanakan kontrak.
Dia harus berhadapan
dengan realitas bahwa tiap keputusannya berisiko salah. Bahkan diamnya
seorang PPK, tanpa mengambil keputusan apa pun misalnya, bisa dianggap sebuah
’’kesalahan’’. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 memuat aturan baru berkait kondisi
pekerjaan yang tak dapat diselesaikan pada akhir masa kontrak.
Dalam kondisi seperti itu,
Perpres tersebut memberikan kewenangan kepada PPK untuk menilai kemampuan
pihak penyedia, untuk merampungkan proyek dalam waktu 50 hari keterlambatan.
Tidak ada larangan eksplisit yang menyatakan keterlambatan tak boleh melebihi
tahun anggaran.
Berdasarkan Kontrak
Karena itu, waktu 50 hari
keterlambatan, boleh dihitung hingga awal tahun anggaran berikutnya. Bahkan
UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, PP Nomor 29 Tahun 2000
beserta perubahannya, dan PP Nomor 59 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi tidak menyebutkan bahwa pekerjaan harus selesai per 31 Desember
tahun berjalan. Dengan demikian, tak ada istilah ”selesai tidak selesai ujian
dikumpulkan pada 31 Desember”.
Baik UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara maupun UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaraan mengamanatkan tahun anggaran harus berakhir tanggal 31 Desember.
Bahkan Pasal 21 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan pembayaran atas
beban APBN/APBD tak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.
Berbeda dari UU itu, Pasal
161 (1) PPNomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN menyebutkan,
pembayaran atas pelaksanaan kegiatan yang penyelesaiannya pada akhir tahun
anggaran dapat dibayarkan sebelum barang/jasa diterima setelah pihak penyedia
barang/jasa menyerahkan jaminan bank atau surat pernyataan kesediaan
menyerahkan barang/jasa, dengan (2) nilai nominal jaminan bank paling kurang
sebesar nilai barang/jasa yang belum diterima.
Lebih jauh di dalam
Peraturan Menkeu Nomor 163/pmk.05/2013 tentang Pedoman tentang Pelaksanaan
Penerimaan Negara dan Pengeluaran Negara pada Akhir Tahun Anggaran dan aturan
teknis di dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor Per 42/PB/2013 tentang
Langkah-Langkah dalam Menghadapi Tahun Anggaran 2013, tidak memungkinkan
pelaksanaan pekerjaan melebihi tahun anggaran.
Bahkan bila 10 hari sejak
berakhir masa kontrak tanggal 31 Desember 2013 itu tidak membuat laporan
putus kontrak maka jaminan yang sudah dibuat akan dicairkan senilai pekerjaan
yang belum terselesaikan terhitung per 31 Desember.
Berdasarkan aturan
pengadaan, akan ada hak-hak yang dilanggar dalam kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak pengadaan antara PPK selaku wakil negara dan penyedia. Padahal
secara perdata, kontrak adalah hukum tertulis tertinggi yang harus disepakati
para pihak. Dalam kontrak ada hak para pihak untuk mengubah lingkup yang
memungkinkan terjadi penambahan waktu kontrak, atau hak terlambat sekalipun.
Dilema akan dihadapi oleh
PPK, yakni tegas menghentikan kontrak pada 31 Desember dengan risiko
menghasilkan ”pekerjaan yang mangkrak” atau memark up progress seolah-olah
pekerjaan sudah 100% selesai. Dua pilihan itu samasama berisiko tuntutan
hukum dari pihak penyedia, karena ada hak mereka yang dilanggar.
Bahkan yang lebih tragis
akan dikejar aparat penegak hukum pada kemudian hari. Pasalnya, menurut
pemahaman sebagian aparat penegak hukum, seandainya terjadi putus kontrak
berarti jaminan pelaksanaan harus disita oleh negara, walaupun hal itu bukan
kesalahan penyedia.
Dengan ”naluri
kecurigaan”, aparat penegak hukum akan berpikir bahwa tanpa pencairan jaminan
pelaksanaan, berarti ada kerugian negara. Di pihak lain, bila me-mark up
progress, secara pidana berarti ada pemalsuan. Selama ini dalam hukum
pengadaan, seorang PPK yang jadi wakil negara akan berusaha sekuat tenaga
menghasilkan output dan outcame yang halal yang segera dimanfaatkan oleh
masyarakat.
Namun negara melalui
Kemenkeu dengan “kitab suci” UU tentang Keuangan Negara, justru membelenggu
PPK berbuat yang terbaik bagi negara. Seolah-olah PPK mendapat tugas negara
untuk berperang dengan bekal seadanya, dan setelah pulang membawa kemenangan,
sampai di rumah dikejar oleh aparat negara yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar