Minggu, 22 Desember 2013

Ancaman Proyek Mangkrak

Ancaman Proyek Mangkrak
Hery Suroso  ;   Dosen Unnes, Instruktur Pengadaan Barang Jasa Pemerintah pada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
SUARA MERDEKA,  11 Desember 2013

  


RUTINITAS proyek menjelang akhir tahun selalu membuat galau para pelaksana: dari penyedia, pejabat pembuat komitmen (PPK), kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), sampai pengguna anggaran (PA) ataupun kuasa pengguna anggaran (KPA).

Risiko di lapangan muncul ketika di satu sisi pelaksanaan kontrak tak dapat diselesaikan tepat waktu tapi di sisi lain pencairan anggaran harus dilakukan guna meningkatkan jumlah penyerapan anggaran. Bagaimana mengatasinya? Pengambilan keputusan dalam kondisi itu akan menjadi tanggung jawab PPK sebagai pejabat yang diberi mandat melaksanakan kontrak.

Dia harus berhadapan dengan realitas bahwa tiap keputusannya berisiko salah. Bahkan diamnya seorang PPK, tanpa mengambil keputusan apa pun misalnya, bisa dianggap sebuah ’’kesalahan’’. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 memuat aturan baru berkait kondisi pekerjaan yang tak dapat diselesaikan pada akhir masa kontrak.

Dalam kondisi seperti itu, Perpres tersebut memberikan kewenangan kepada PPK untuk menilai kemampuan pihak penyedia, untuk merampungkan proyek dalam waktu 50 hari keterlambatan. Tidak ada larangan eksplisit yang menyatakan keterlambatan tak boleh melebihi tahun anggaran.
Berdasarkan Kontrak

Karena itu, waktu 50 hari keterlambatan, boleh dihitung hingga awal tahun anggaran berikutnya. Bahkan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, PP Nomor 29 Tahun 2000 beserta perubahannya, dan PP Nomor 59 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak menyebutkan bahwa pekerjaan harus selesai per 31 Desember tahun berjalan. Dengan demikian, tak ada istilah ”selesai tidak selesai ujian dikumpulkan pada 31 Desember”.

Baik UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaraan mengamanatkan tahun anggaran harus berakhir tanggal 31 Desember. Bahkan Pasal 21 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan pembayaran atas beban APBN/APBD tak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.

Berbeda dari UU itu, Pasal 161 (1) PPNomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN menyebutkan, pembayaran atas pelaksanaan kegiatan yang penyelesaiannya pada akhir tahun anggaran dapat dibayarkan sebelum barang/jasa diterima setelah pihak penyedia barang/jasa menyerahkan jaminan bank atau surat pernyataan kesediaan menyerahkan barang/jasa, dengan (2) nilai nominal jaminan bank paling kurang sebesar nilai barang/jasa yang belum diterima.

Lebih jauh di dalam Peraturan Menkeu Nomor 163/pmk.05/2013 tentang Pedoman tentang Pelaksanaan Penerimaan Negara dan Pengeluaran Negara pada Akhir Tahun Anggaran dan aturan teknis di dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor Per 42/PB/2013 tentang Langkah-Langkah dalam Menghadapi Tahun Anggaran 2013, tidak memungkinkan pelaksanaan pekerjaan melebihi tahun anggaran.

Bahkan bila 10 hari sejak berakhir masa kontrak tanggal 31 Desember 2013 itu tidak membuat laporan putus kontrak maka jaminan yang sudah dibuat akan dicairkan senilai pekerjaan yang belum terselesaikan terhitung per 31 Desember.

Berdasarkan aturan pengadaan, akan ada hak-hak yang dilanggar dalam kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak pengadaan antara PPK selaku wakil negara dan penyedia. Padahal secara perdata, kontrak adalah hukum tertulis tertinggi yang harus disepakati para pihak. Dalam kontrak ada hak para pihak untuk mengubah lingkup yang memungkinkan terjadi penambahan waktu kontrak, atau hak terlambat sekalipun.

Dilema akan dihadapi oleh PPK, yakni tegas menghentikan kontrak pada 31 Desember dengan risiko menghasilkan ”pekerjaan yang mangkrak” atau memark up progress seolah-olah pekerjaan sudah 100% selesai. Dua pilihan itu samasama berisiko tuntutan hukum dari pihak penyedia, karena ada hak mereka yang dilanggar.

Bahkan yang lebih tragis akan dikejar aparat penegak hukum pada kemudian hari. Pasalnya, menurut pemahaman sebagian aparat penegak hukum, seandainya terjadi putus kontrak berarti jaminan pelaksanaan harus disita oleh negara, walaupun hal itu bukan kesalahan penyedia.

Dengan ”naluri kecurigaan”, aparat penegak hukum akan berpikir bahwa tanpa pencairan jaminan pelaksanaan, berarti ada kerugian negara. Di pihak lain, bila me-mark up progress, secara pidana berarti ada pemalsuan. Selama ini dalam hukum pengadaan, seorang PPK yang jadi wakil negara akan berusaha sekuat tenaga menghasilkan output dan outcame yang halal yang segera dimanfaatkan oleh masyarakat.

Namun negara melalui Kemenkeu dengan “kitab suci” UU tentang Keuangan Negara, justru membelenggu PPK berbuat yang terbaik bagi negara. Seolah-olah PPK mendapat tugas negara untuk berperang dengan bekal seadanya, dan setelah pulang membawa kemenangan, sampai di rumah dikejar oleh aparat negara yang lain.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar