Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) selama ini
terkubur mati dan tak bernyawa. Padahal, spirit nasionalisme, berbangsa dan
bernegara terselip dalam substansi GBHN. Maka, Kongres Kebangsaan yang
digawangi Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) harus ditindaklanjuti dengan
berbagai gerakan revolusioner untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai
kekuatan negara. Pasalnya, negara ini kehilangan power di tengah badai
globalisasi. Akhirnya, ekonomi Indonesia sudah jauh dari mazhab kerakyatan
dan Pancasila.
Kongres kebangsaan ini berpengaruh positif untuk
membumikan kembali GBHN. Apalagi, dalam forum tersebut berkumpul para tokoh
dan pimpinan partai politik yang sepakat menggelorakan kembali GBHN menuju
100 tahun Indonesia Merdeka. Gagasan ini harus direspons positif semua
kalangan, tak hanya dari para tokoh dan pimpinan partai, namun juga insan
pendidikan dan ekonom.
Bagaimanapun penghidupan kembali GBHN sangat penting
agar arah pembangunan ekonomi bangsa lebih terarah. Logikanya sangat kuat,
karena landasan pembangunan saat ini dirasakan tidak efektif dan kurang
menyeluruh.
Pertama, UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang belum mengakomodir sebuah pedoman pembangunan
dan menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan.
Haluan negara akan dapat mengatur soal rencana pembangunan dengan
keteraturan jangka waktu yang tepat.
Kedua, Indonesia perlu memberlakukan kembali konsep GBHN
guna memperbaiki kualitas bernegara. Sebab, tidak adil kalau digantikan
konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat, dikontrol dan
dinilai oleh pemerintah sendiri. Dalam rangka menerapkan kembali GBHN tentu
ada banyak pilihan jalan yang bisa ditempuh. Menghidupkan kembali GBHN ini
sesuatu yang positif karena memang harus ada rumusan yang bisa dijadikan
acuan bersama untuk satu persepsi ke mana bangsa ini menuju.
Ketiga, catur sukses pembangunan nasional yang
diharapkan akan tercapai pada 2045 mendatang, salah satunya didukung dengan
GHBN. Rangkaian pencapaian kesejahteraan dibagi dalam tiga dekade, yakni
2015-2025, 2025-2035 dan 2035-2045 dengan satu capaian yang sifatnya
kuantitatif maupun capaian-capaian kualitatif. Karena kita tak punya lagi
GBHN, akibatnya adalah pembangunan ini disesuaikan dengan visi misi
presiden terpilih.
Selain itu, UU yang sekarang ada dirasa semakin rancu di
mana bentuk pemerintahan tak jelas apakah presidensiil atau parlementer. Ke
depan, hal itu harus ditata kembali. Perlu juga diubahnya butir-butir yang
tidak sesuai dengan Pancasila. UU pun dirasanya perlu ditata ulang karena
pascareformasi banyak sekali peraturan dalam perundang-undangan yang
dimulai karena suatu ketidakpercayaan kepada penguasa. Inilah yang harus
dilakukan pemerintah.
Di sisi lain, stabilitas keamanan dan politik adalah
suatu yang penting. Tanpa stabilitas ini, tak mungkin pembangunan akan
terjadi dengan tenang. Dan, soal nasionalisme baru, negara harus
mengedepankan kepentingan nasional Indonesia, dan berani melawan kontrak
yang tak sesuai dengan nasionalisme Indonesia.
Masalah ekonomi juga menjadi hal yang harus dibenahi
pertama kali di Indonesia. Pasalnya, selama ini sistem ekonomi Indonesia
adalah kapitalisme dan neoliberalisme, padahal Indonesia membutuhkan
ekonomi kerakyatan sesuai konstitusi dan Pancasila. Sebagaimana dikemukakan
dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945, sebuah sistem perekonomian untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.
Selain itu, ekonomi kerakyatan sangat bertolak belakang
dengan sistem neoliberalisme yang tujuan utamanya adalah pengembangan
kebebasan individu untuk bersaing secara bebas. Ada tiga prinsip dasar
ekonomi kerakyatan, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan, cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan, yang
terakhir, bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Indonesia sangat membutuhkan kedaulatan ekonomi, yang
bisa dilakukan dengan beberapa formula strategis.
Pertama, pengembangan koperasi. Dalam hal ini, ide besar
Bung Hatta harus direalisasikan dengan tegas, karena lewat koperasi
Indonesia bisa membangun ekonomi.
Kedua, pengembangan BUMN. Jadi, semua pengembangan dan
pengelolaan BUMN harus berbasis kerakyatan, menolak kaum kapitalis
penjajah. M Yudhie Haryono (2013) menjelaskan pentingnya pengelolaan BUMN
dari, oleh dan untuk rakyat, bukan untuk kaum penjarah yang menindas
rakyat. Semua pemanfaatan hasil bumi, laut, air dan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, memenuhi
hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak, serta memelihara fakir miskin dan anak telantar. Formula tersebut
bisa ditegakkan dengan melakukan 'demokrasi ekonomi'.
Ketiga, perlu adanya reformasi ekonomi. Indonesia harus
memperkuat ekonomi kerakyatan agar ekonomi nasional tidak mudah terkena
imbas ketika terjadi krisis dari sejumlah negara. Karena itu, pemerintah
harus memberikan perhatian lebih untuk sektor riil, di antaranya pertanian
dan perikanan yang akan menggerakkan ekonomi di daerah. Indonesia yang luas
dengan jumlah penduduk cukup besar harus bisa mengamankan ketersediaan
pangan dalam negeri. Ini penting agar tidak terimbas dampak buruk kalau
terjadi krisis keuangan atau ekonomi.
Hal itu sudah jelas tertera pada
GBHN. Haluan negara yang mengacu pada Trisakti Bung Karno sudah jelas,
bahwa bangsa ini akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan
berkepribadian secara kebudayaan dengan beriman pada Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar