Rabu, 18 Desember 2013

GBHN dan Kedaulatan Ekonomi

GBHN dan Kedaulatan Ekonomi
Dian Marta Wijayanti  ;    Peneliti Economics Education di Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang
SUARA KARYA,  17 Desember 2013

  

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) selama ini terkubur mati dan tak bernyawa. Padahal, spirit nasionalisme, berbangsa dan bernegara terselip dalam substansi GBHN. Maka, Kongres Kebangsaan yang digawangi Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) harus ditindaklanjuti dengan berbagai gerakan revolusioner untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai kekuatan negara. Pasalnya, negara ini kehilangan power di tengah badai globalisasi. Akhirnya, ekonomi Indonesia sudah jauh dari mazhab kerakyatan dan Pancasila.

Kongres kebangsaan ini berpengaruh positif untuk membumikan kembali GBHN. Apalagi, dalam forum tersebut berkumpul para tokoh dan pimpinan partai politik yang sepakat menggelorakan kembali GBHN menuju 100 tahun Indonesia Merdeka. Gagasan ini harus direspons positif semua kalangan, tak hanya dari para tokoh dan pimpinan partai, namun juga insan pendidikan dan ekonom.

Bagaimanapun penghidupan kembali GBHN sangat penting agar arah pembangunan ekonomi bangsa lebih terarah. Logikanya sangat kuat, karena landasan pembangunan saat ini dirasakan tidak efektif dan kurang menyeluruh.

Pertama, UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang belum mengakomodir sebuah pedoman pembangunan dan menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan. Haluan negara akan dapat mengatur soal rencana pembangunan dengan keteraturan jangka waktu yang tepat.

Kedua, Indonesia perlu memberlakukan kembali konsep GBHN guna memperbaiki kualitas bernegara. Sebab, tidak adil kalau digantikan konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat, dikontrol dan dinilai oleh pemerintah sendiri. Dalam rangka menerapkan kembali GBHN tentu ada banyak pilihan jalan yang bisa ditempuh. Menghidupkan kembali GBHN ini sesuatu yang positif karena memang harus ada rumusan yang bisa dijadikan acuan bersama untuk satu persepsi ke mana bangsa ini menuju.

Ketiga, catur sukses pembangunan nasional yang diharapkan akan tercapai pada 2045 mendatang, salah satunya didukung dengan GHBN. Rangkaian pencapaian kesejahteraan dibagi dalam tiga dekade, yakni 2015-2025, 2025-2035 dan 2035-2045 dengan satu capaian yang sifatnya kuantitatif maupun capaian-capaian kualitatif. Karena kita tak punya lagi GBHN, akibatnya adalah pembangunan ini disesuaikan dengan visi misi presiden terpilih.

Selain itu, UU yang sekarang ada dirasa semakin rancu di mana bentuk pemerintahan tak jelas apakah presidensiil atau parlementer. Ke depan, hal itu harus ditata kembali. Perlu juga diubahnya butir-butir yang tidak sesuai dengan Pancasila. UU pun dirasanya perlu ditata ulang karena pascareformasi banyak sekali peraturan dalam perundang-undangan yang dimulai karena suatu ketidakpercayaan kepada penguasa. Inilah yang harus dilakukan pemerintah.

Di sisi lain, stabilitas keamanan dan politik adalah suatu yang penting. Tanpa stabilitas ini, tak mungkin pembangunan akan terjadi dengan tenang. Dan, soal nasionalisme baru, negara harus mengedepankan kepentingan nasional Indonesia, dan berani melawan kontrak yang tak sesuai dengan nasionalisme Indonesia.

Masalah ekonomi juga menjadi hal yang harus dibenahi pertama kali di Indonesia. Pasalnya, selama ini sistem ekonomi Indonesia adalah kapitalisme dan neoliberalisme, padahal Indonesia membutuhkan ekonomi kerakyatan sesuai konstitusi dan Pancasila. Sebagaimana dikemukakan dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945, sebuah sistem perekonomian untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.

Selain itu, ekonomi kerakyatan sangat bertolak belakang dengan sistem neoliberalisme yang tujuan utamanya adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas. Ada tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan, yang terakhir, bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Indonesia sangat membutuhkan kedaulatan ekonomi, yang bisa dilakukan dengan beberapa formula strategis.

Pertama, pengembangan koperasi. Dalam hal ini, ide besar Bung Hatta harus direalisasikan dengan tegas, karena lewat koperasi Indonesia bisa membangun ekonomi.

Kedua, pengembangan BUMN. Jadi, semua pengembangan dan pengelolaan BUMN harus berbasis kerakyatan, menolak kaum kapitalis penjajah. M Yudhie Haryono (2013) menjelaskan pentingnya pengelolaan BUMN dari, oleh dan untuk rakyat, bukan untuk kaum penjarah yang menindas rakyat. Semua pemanfaatan hasil bumi, laut, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta memelihara fakir miskin dan anak telantar. Formula tersebut bisa ditegakkan dengan melakukan 'demokrasi ekonomi'.

Ketiga, perlu adanya reformasi ekonomi. Indonesia harus memperkuat ekonomi kerakyatan agar ekonomi nasional tidak mudah terkena imbas ketika terjadi krisis dari sejumlah negara. Karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih untuk sektor riil, di antaranya pertanian dan perikanan yang akan menggerakkan ekonomi di daerah. Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk cukup besar harus bisa mengamankan ketersediaan pangan dalam negeri. Ini penting agar tidak terimbas dampak buruk kalau terjadi krisis keuangan atau ekonomi.

Hal itu sudah jelas tertera pada GBHN. Haluan negara yang mengacu pada Trisakti Bung Karno sudah jelas, bahwa bangsa ini akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan dengan beriman pada Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar