Minggu, 08 Desember 2013

Soal Poligami dan Undang-undang Film

Soal Poligami dan Undang-undang Film
Kemala Atmojo  ;   Juri Film Pendek FFI 2013
KOMPAS,  08 Desember 2013

  

Dalam Kompas, Minggu, 10 November 2013, Embie C Noer membuat esai berjudul ”Film, Seni, Satu Rumah Dua Menteri”. Di bagian awal dikatakan bahwa film dan seni menempati kedudukan yang sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan tata kelola film dan seni yang ditangani oleh dua kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kemenparekraf. Lalu, katanya, Presiden sebagai pemegang wewenang tertinggi tentu memiliki alasan dasar dan penting sehingga memutuskan untuk memoligamikan film dan seni itu.

Dari pernyataan Embie itu dapat ditarik kesimpulan bahwa film yang saat ini ”diurus” oleh dua kementerian itu memang merupakan by design Presiden dan kabinetnya. Padahal, jika menilik sejarahnya, apa yang terjadi saat ini, menurut saya, lebih tepat disebut sebagai by accident. Alias kejadian yang tak direncanakan sebelumnya.

Kenapa demikian? Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik sebagai presiden dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu (babak I) 21 Oktober 2004, urusan film berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) yang menterinya dipercayakan kepada Jero Wacik. Pada 5 Desember 2005, Presiden melakukan perombakan kabinet, tetapi film tetap berada di pos semula (Budpar). Begitu juga ketika terjadi perombakan kabinet kedua pada 7 Mei 2007, film tetap berada di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Bahkan, ketika SBY terpilih kembali sebagai presiden pada 2009 dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid II pada 21 Oktober 2009, urusan film masih tetap berada di kementerian yang sama (Budpar). Menterinya juga masih Jero Wacik.

Lalu, di awal 2009, perbincangan dan tuntutan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman semakin kencang. Sebab, undang-undang lama tersebut sudah dianggap ketinggalan zaman oleh banyak orang film. Departemen Penerangan (Deppen) yang tadinya membawahi masalah perfilman, misalnya, sudah dilikuidasi di era Presiden Abdurrahman Wahid. 

Maka, rapat-rapat dan lobi-lobi yang menghabiskan tenaga dan biaya dilakukan banyak pihak, termasuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Akhirnya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (masih Budpar dan masih Jero Wacik) bersama beberapa kelompok insan perfilman mengajukan RUU yang sudah dibuat ke DPR. Lalu, singkatnya, Selasa 8 Oktober 2009, DPR mengesahkan undang-undang baru, yakni UU No 33/2009 tentang Perfilman sebagai pengganti undang-undang sebelumnya. Jadi, ketika undang-undang baru ini keluar pun urusan film masih di bawah satu kementerian, yakni Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar). Menterinya pun lagi-lagi masih Jero Wacik.

Poligami

Jadi tidak ada poligami. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden SBY tidak secara khusus mendesain agar film diurus oleh dua kementerian. Penjelasan dalam undang-undang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ”menteri” adalah Menteri Kebudayaan sudah ada sejak masih berupa draf dan kemudian dalam undang-undang yang sudah disahkan. Dan, kementerian yang dimaksudkan saat itu adalah Budpar. Jero Wacik dan jajarannya sudah pasti tidak pernah membayangkan bahwa urusan kebudayaan pada suatu kali akan ”pergi” meninggalkan departemennya.

Tiba-tiba, pada 19 Oktober 2011, Presiden SBY melakukan perombakan kabinet lagi. Beberapa menteri dicopot dan diganti yang baru. Di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, tak cuma menterinya saja yang diganti, tetapi nama departemennya pun diubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Jero Wacik digantikan oleh Marie Elka Pangestu. Urusan kebudayaan ”digabungkan” ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas), yang kemudian berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah M Nuh.

Akibat dari perpindahan urusan kebudayaan itu, sebagai konsekuensinya film menjadi urusan kementerian yang baru. Andai saja sejak itu Kemenparekraf ”legowo” menerima, seluruh urusan film dengan sendirinya juga bukan urusannya lagi. Namun, kenyataannya tidak demikian. Maka, sejak itulah ”karut-sengkarut” dimulai. Terjadi aneka tumpang tindih kegiatan yang sama-sama menggunakan uang rakyat.

AFI (Apresiasi Film Indonesia) oleh Kemendikbud dan FFI (Festival Film Indonesia) oleh Kemenparekraf hanyalah satu contoh saja. Masih banyak kegiatan workshop, seminar, dan apresiasi yang sama-sama dilakukan
oleh kedua institusi tersebut. Semua itu bisa terjadi mungkin, seperti dikatakan Embie, karena adanya persaingan ”ego sektoral”.

Saya dengar baru-baru ini memang sudah ada semacam MOU di antara kedua kementerian ini. Mudah-mudahan apa yang diperjanjikan benar, logis, dan dapat dijalankan secara konsisten. Sebab, sekali lagi, aneka aktivitas yang sama dari dua kementerian selama ini bukan tanpa biaya. Miliaran uang rakyat telah digelontorkan oleh kedua lembaga ini. Mestinya uang rakyat itu digunakan secara efektif dan efisien. Akan menjadi lain cerita apabila semua kegiatan itu dilakukan pihak swasta.

Bukti lain bahwa poligami yang terjadi saat ini bukanlah by design adalah hingga saat ini, setelah lebih dari tiga tahun undang-undang baru disahkan, tidak ada satu pun peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan oleh kedua kementerian. Kedua institusi ini seperti saling kikuk dan saling menunggu siapa sebenarnya yang akan mengeluarkan PP.

Lalu, UU No 33/2009 yang baru disahkan DPR itu juga ternyata tidak bisa memuaskan semua insan perfilman nasional. Sutradara Riri Riza dan kawan-kawan pernah mengajukan judicial review atas undang-undang tersebut. 
Sayangnya, gugatan tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Saat itu, Riri dan kawan-kawan menyoal beberapa pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut (misalnya Pasal 6 yang menyangkut content film).

Sebenarnya, undang-undang perfilman yang baru itu tidak cuma bermasalah dalam beberapa pasalnya, tetapi sudah ”dangkal” sejak halaman pertama. Kita tahu, hal penting dalam (membuat atau membaca) undang-undang adalah bagian konsideran dan penjelasan umumnya. Karena itu, kalau kita membaca undang-undang baru ini, segera bisa ditemui kekurangan yang cukup serius. Apa itu?

Film sebagai produk karya cipta kreatif memiliki hak cipta. Anehnya, undang-undang yang mengatur masalah hak cipta (UU No 19/2002) tidak dimasukkan dalam konsideran undang-undang perfilman yang baru. Lalu, undang-undang yang baru itu (Pasal 11 dan 12) dengan gagah berani mau mengatur soal integrasi vertikal dan monopoli. Padahal, hal-hal semacam ini sudah diatur dalam UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Celakanya, undang-undang ini pun tidak disebut dalam konsideran undang-undang perfilman yang baru itu. Dengan demikian, secara halus dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut tidak komprehensif. Karena itu, apabila masih ada insan film yang tidak puas atas undang-undang tersebut, salah satu cara yang bisa ditempuh untuk memperbaiki undang-undang ini adalah dengan melakukan legislative review.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar