Dalam Kompas, Minggu,
10 November 2013, Embie C Noer membuat esai berjudul ”Film, Seni, Satu Rumah Dua Menteri”. Di bagian awal dikatakan
bahwa film dan seni menempati kedudukan yang sangat penting. Hal ini
dibuktikan dengan tata kelola film dan seni yang ditangani oleh dua
kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kemenparekraf. Lalu, katanya, Presiden
sebagai pemegang wewenang tertinggi tentu memiliki alasan dasar dan penting
sehingga memutuskan untuk memoligamikan film dan seni itu.
Dari pernyataan Embie itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa film yang saat ini ”diurus” oleh dua kementerian
itu memang merupakan by design Presiden dan kabinetnya. Padahal,
jika menilik sejarahnya, apa yang terjadi saat ini, menurut saya, lebih
tepat disebut sebagai by
accident. Alias kejadian yang tak direncanakan sebelumnya.
Kenapa demikian? Sejak Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik sebagai presiden dan membentuk Kabinet
Indonesia Bersatu (babak I) 21 Oktober 2004, urusan film berada di bawah
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) yang menterinya dipercayakan
kepada Jero Wacik. Pada 5 Desember 2005, Presiden melakukan perombakan
kabinet, tetapi film tetap berada di pos semula (Budpar). Begitu juga
ketika terjadi perombakan kabinet kedua pada 7 Mei 2007, film tetap berada
di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Bahkan, ketika SBY terpilih
kembali sebagai presiden pada 2009 dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II pada 21 Oktober 2009, urusan film masih tetap berada di
kementerian yang sama (Budpar). Menterinya juga masih Jero Wacik.
Lalu, di awal 2009, perbincangan
dan tuntutan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman semakin kencang. Sebab, undang-undang lama tersebut sudah
dianggap ketinggalan zaman oleh banyak orang film. Departemen Penerangan
(Deppen) yang tadinya membawahi masalah perfilman, misalnya, sudah
dilikuidasi di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Maka, rapat-rapat dan
lobi-lobi yang menghabiskan tenaga dan biaya dilakukan banyak pihak,
termasuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Akhirnya, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata (masih Budpar dan masih Jero Wacik) bersama
beberapa kelompok insan perfilman mengajukan RUU yang sudah dibuat ke DPR.
Lalu, singkatnya, Selasa 8 Oktober 2009, DPR mengesahkan undang-undang
baru, yakni UU No 33/2009 tentang Perfilman sebagai pengganti undang-undang
sebelumnya. Jadi, ketika undang-undang baru ini keluar pun urusan film
masih di bawah satu kementerian, yakni Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar).
Menterinya pun lagi-lagi masih Jero Wacik.
Poligami
Jadi tidak ada poligami. Ini
menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden SBY tidak secara khusus mendesain
agar film diurus oleh dua kementerian. Penjelasan dalam undang-undang yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ”menteri” adalah Menteri Kebudayaan
sudah ada sejak masih berupa draf dan kemudian dalam undang-undang yang
sudah disahkan. Dan, kementerian yang dimaksudkan saat itu adalah Budpar.
Jero Wacik dan jajarannya sudah pasti tidak pernah membayangkan bahwa
urusan kebudayaan pada suatu kali akan ”pergi” meninggalkan departemennya.
Tiba-tiba, pada 19 Oktober 2011,
Presiden SBY melakukan perombakan kabinet lagi. Beberapa menteri dicopot
dan diganti yang baru. Di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, tak cuma
menterinya saja yang diganti, tetapi nama departemennya pun diubah menjadi
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Jero Wacik
digantikan oleh Marie Elka Pangestu. Urusan kebudayaan ”digabungkan” ke
dalam Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas), yang kemudian berubah
menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah M Nuh.
Akibat dari perpindahan urusan
kebudayaan itu, sebagai konsekuensinya film menjadi urusan kementerian yang
baru. Andai saja sejak itu Kemenparekraf ”legowo” menerima, seluruh urusan
film dengan sendirinya juga bukan urusannya lagi. Namun, kenyataannya tidak
demikian. Maka, sejak itulah ”karut-sengkarut” dimulai. Terjadi aneka
tumpang tindih kegiatan yang sama-sama menggunakan uang rakyat.
AFI (Apresiasi Film Indonesia)
oleh Kemendikbud dan FFI (Festival Film Indonesia) oleh Kemenparekraf
hanyalah satu contoh saja. Masih banyak kegiatan workshop, seminar,
dan apresiasi yang sama-sama dilakukan
oleh kedua institusi tersebut. Semua itu bisa terjadi mungkin, seperti
dikatakan Embie, karena adanya persaingan ”ego sektoral”.
Saya dengar baru-baru ini memang
sudah ada semacam MOU di antara kedua kementerian ini. Mudah-mudahan apa
yang diperjanjikan benar, logis, dan dapat dijalankan secara konsisten.
Sebab, sekali lagi, aneka aktivitas yang sama dari dua kementerian selama
ini bukan tanpa biaya. Miliaran uang rakyat telah digelontorkan oleh kedua
lembaga ini. Mestinya uang rakyat itu digunakan secara efektif dan efisien.
Akan menjadi lain cerita apabila semua kegiatan itu dilakukan pihak swasta.
Bukti lain bahwa poligami yang
terjadi saat ini bukanlah by
design adalah hingga saat ini, setelah lebih dari tiga tahun
undang-undang baru disahkan, tidak ada satu pun peraturan pemerintah (PP)
yang dikeluarkan oleh kedua kementerian. Kedua institusi ini seperti saling
kikuk dan saling menunggu siapa sebenarnya yang akan mengeluarkan PP.
Lalu, UU No 33/2009 yang baru
disahkan DPR itu juga ternyata tidak bisa memuaskan semua insan perfilman
nasional. Sutradara Riri Riza dan kawan-kawan pernah mengajukan judicial review atas
undang-undang tersebut.
Sayangnya, gugatan tersebut ditolak Mahkamah
Konstitusi (MK). Saat itu, Riri dan kawan-kawan menyoal beberapa pasal yang
ada di dalam undang-undang tersebut (misalnya Pasal 6 yang menyangkut content film).
Sebenarnya, undang-undang
perfilman yang baru itu tidak cuma bermasalah dalam beberapa pasalnya,
tetapi sudah ”dangkal” sejak halaman pertama. Kita tahu, hal penting dalam
(membuat atau membaca) undang-undang adalah bagian konsideran dan
penjelasan umumnya. Karena itu, kalau kita membaca undang-undang baru ini,
segera bisa ditemui kekurangan yang cukup serius. Apa itu?
Film sebagai produk karya cipta
kreatif memiliki hak cipta. Anehnya, undang-undang yang mengatur masalah
hak cipta (UU No 19/2002) tidak dimasukkan dalam konsideran undang-undang
perfilman yang baru. Lalu, undang-undang yang baru itu (Pasal 11 dan 12)
dengan gagah berani mau mengatur soal integrasi vertikal dan monopoli.
Padahal, hal-hal semacam ini sudah diatur dalam UU No 5/1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Celakanya, undang-undang ini pun
tidak disebut dalam konsideran undang-undang perfilman yang baru itu.
Dengan demikian, secara halus dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut
tidak komprehensif. Karena itu, apabila masih ada insan film yang tidak
puas atas undang-undang tersebut, salah satu cara yang bisa ditempuh untuk
memperbaiki undang-undang ini adalah dengan melakukan legislative review.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar