Minggu, 08 Desember 2013

Lindungi Pekerja, Keluarga, dan Bangsa

Lindungi Pekerja, Keluarga, dan Bangsa
Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KOMPAS,  08 Desember 2013

  

Seminggu yang lalu, persis 1 Desember 2013, saya menghadiri acara Hari AIDS sedunia, yang diselenggarakan oleh Yayasan AIDS Indonesia (YAI) di salah satu hotel di Jakarta. Sekalian memperingati ulang tahun ke-20 yayasan itu.

Kebetulan saya salah satu pendiri yayasan itu dan selama beberapa tahun sesudah didirikan saya aktif ikut memerangi HIV/AIDS melalui YAI. Karena itulah, saya diundang dan saya hadir. Di backdrop yang dipasang di panggungtertulisslogansepertijudultulisan ini. Slogan yang juga menjadi tema nasional dari peringatan Hari AIDS sedunia tahun ini, segera menarik perhatian saya.

Dulu ketika saya aktif di YAI tahun 1990-an, kelompok sasarannya adalah kelompok-kelompok berisiko seperti WTS(wanitatunasusila) yangsekarang sudah berganti sebutan menjadi PSK (pekerja seks komersial, awas bukan: pusat sate kiloan), kaum homoseksual yang sekarang disebut LSL (lelaki suka lelaki) dan remaja yang karena ketidaktahuannya menjadi rentan pada hubungan seks yang tidak aman.

Dulu pun sudah ada upaya masuk ke kalangan pekerja, karena golongan pekerja pun dianggap berisiko tertular HIV/AIDS, tetapi belum banyak pengaruhnya karena para pengusaha menyambut dingin upaya dari pihak YAI. Maka saya terpana ketika melihat “pekerja” masih jadi sasaran setelah 20 tahun ini, setelah pekerja sudah pandai mengorganisir demo-demo raksasa kelasnasionaluntukmenuntutUMPyang jumlahnyahampirduakalilipat dari gaji sarjana S-1 yang baru lulus.

Bagaimana ceritanya sehingga mereka juga rentan terhadap ancaman virus yang bahayanya sudah kondang ke seantero jagat itu? Lebih terpana lagi ketika saya melihat “keluarga” juga jadi sasaran. Ternyata HIV/ AIDS juga sudah menyerang para IRT (ibu rumah tangga) yang sehari-hari hanya duduk manis di rumah ditemani PRT (pembantu rumah tangga), menunggui dengan setia, suami pulang kerja. Bahkan, bayi-bayi mereka pun sudah ada yang terkena. Terus ada lagi kata “bangsa” di backdrop itu.

Ada apa dengan bangsa? Apa urusannya dengan teroris atau separatis yang mengancam keutuhan NKRI? Ternyata angka prevalensi HIV/AIDS di Indonesia, bukannya berkurang, malah naik terus. Menurut data KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional), antara tahun 1987 sampai 2008 kasus HIV/AIDS di Indonesia naik 5.000 kali! Diperkirakan tahun 2015 akan terdapat 1.000 penderita HIV/ AIDS di Indonesia; 90% di antaranya adalah orang-orang dewasa yang masih dalam usia produktif.

Satu juta penduduk tertular, mungkin hanya sedikit dibandingkan dengan lebih dari 250 juta penduduk Indonesia sekarang. Tetapi dengan akselerasi jumlah penderita yang begitu fantastis, tinggal menghitung saja berapa tahun lagi bangsa Indonesia akan mendekati kepunahan seperti bangsa-bangsa di sub-Sahara Afrika, yang penduduknya hanya 10% dari penduduk dunia, tetapi 70% penderita HIV/AIDS dunia, hidup di negara-negara mereka. Obat anti-HIV/AIDS yang sudah ditemukan dan diberikan gratis oleh pemerintah Indonesia kepada penderita HIV/ AIDS tidak akan bisa mengejar kenaikan jumlah itu.

Upaya pemerintah untuk menghemat anggaran di sektor BBM, akan gagal karena ada subsidi baru yang tak kalah besarnya, yaitu subsidi untuk ARV (Anti Retro Viral) atau obat anti HIV/AIDS. Pantaslah kalau bangsa ini termasuk yang harus diselamatkan dalam perang melawan HIV/AIDS.

*** Dalam seminar yang dilaksanakan hari Minggu, 1 Desember 2013 oleh YAI itu, dihadirkan juga seorang ibu, berusia 33 tahun, berjilbab dan sedang mengandung anaknya yang pertama. Ternyata dia adalah seorang ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Penyakit itu didapatnya dari suaminya yang pertama. Mereka menikah karena saling cinta. Tetapi setelah empat tahun menikah, suaminya itu mulai terkena penyakit macam- macam yang tidak sembuh- sembuh, sehingga akhirnya meninggal.

Dari hasil tes laboratorium, ternyata sang suami mengidap HIV dan yang lebih dahsyat lagi sang istri yang tidak berdosa pun juga positif mengidap HIV. Sekarang ibu ODHA itu rutin minum ARV setiap hari, dan alhamdulillah, Tuhan memberinya suami lagi yang penuh pengertian dan sangat mencintainya, sehingga ia sekarang hamil lagi. Ia pun mendapat pekerjaan yang baik, sehingga kepercayaan dirinya pulih. Ia tidak ragu bahwa bayi yang dikandungnya akan sehat, tidak tertular HIV/ AIDS, karena ia percaya pada teknologi pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS yang sekarang sudah sangat maju.

Tetapi kesembuhan ibu ODHA tidak menyisakan pertanyaan mengapa seorang ibu yang tak berdosa bisa tertular HIV/AIDS? Banyak sekali anggota masyarakat Indonesia, baik yang awam maupun yang pakar, bahkan termasuk Tomas (tokoh masyarakat), Togam (tokoh agama), malah juga para Toil (tokoh ilmuwan), yang masih percaya bahwaHIV/AIDSadalahpenyakit moral. Penyakitnya orang yang doyan seks bebas dan narkoba (HIV/AIDS menular juga lewat jarum suntik).

Pertanyaan itu bisa terjawab dengan melihat contoh negara lain yang berhasil memberantas HIV/AIDS sampai hampir tuntas, seperti Thailand yang dulu adalah rajanya negara HIV/ AIDS sedunia. Mereka memerangiHIV/ AIDSdengancara memerangi virusnya. Maka hari ini tidak ada satu pun PSK yang mau melayani tanpa kondom. Sehingga lelaki hidung belang yang ngotot mencari Yantako (pelayanan tanpa kondom) di Thailand, harusgigitjari. Laindengan Indonesia. Bahkan di lokalisasi kondom sulit dicari, karena dianggap barang haram yang menghalalkan perzinaan.

Ketahuan ngantongin kondom bisa dirazia Satpol PP. Apalagi anakanak remaja yang bengal-bengal. Cukup banyak yang mau cobacoba ngeseks. Karena malu beli kondom ke apotek (tabu, dosa), maka ya sudah hajar saja...bleh! Jangan heran kalau angka HIV/ AIDS Indonesia naik 5.000 kali, walaupun kita negara beragama dan ber-Pancasila. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar