Seminggu
yang lalu, persis 1 Desember 2013, saya menghadiri acara Hari AIDS sedunia,
yang diselenggarakan oleh Yayasan AIDS Indonesia (YAI) di salah satu hotel
di Jakarta. Sekalian memperingati ulang tahun ke-20 yayasan itu.
Kebetulan saya salah satu pendiri yayasan itu
dan selama beberapa tahun sesudah didirikan saya aktif ikut memerangi
HIV/AIDS melalui YAI. Karena itulah, saya diundang dan saya hadir. Di
backdrop yang dipasang di panggungtertulisslogansepertijudultulisan ini.
Slogan yang juga menjadi tema nasional dari peringatan Hari AIDS sedunia
tahun ini, segera menarik perhatian saya.
Dulu ketika saya aktif di YAI tahun 1990-an,
kelompok sasarannya adalah kelompok-kelompok berisiko seperti
WTS(wanitatunasusila) yangsekarang sudah berganti sebutan menjadi PSK
(pekerja seks komersial, awas bukan: pusat sate kiloan), kaum homoseksual
yang sekarang disebut LSL (lelaki suka lelaki) dan remaja yang karena
ketidaktahuannya menjadi rentan pada hubungan seks yang tidak aman.
Dulu pun sudah ada upaya masuk ke kalangan
pekerja, karena golongan pekerja pun dianggap berisiko tertular HIV/AIDS,
tetapi belum banyak pengaruhnya karena para pengusaha menyambut dingin
upaya dari pihak YAI. Maka saya terpana ketika melihat “pekerja” masih jadi
sasaran setelah 20 tahun ini, setelah pekerja sudah pandai mengorganisir
demo-demo raksasa kelasnasionaluntukmenuntutUMPyang
jumlahnyahampirduakalilipat dari gaji sarjana S-1 yang baru lulus.
Bagaimana ceritanya sehingga mereka juga
rentan terhadap ancaman virus yang bahayanya sudah kondang ke seantero
jagat itu? Lebih terpana lagi ketika saya melihat “keluarga” juga jadi
sasaran. Ternyata HIV/ AIDS juga sudah menyerang para IRT (ibu rumah
tangga) yang sehari-hari hanya duduk manis di rumah ditemani PRT (pembantu
rumah tangga), menunggui dengan setia, suami pulang kerja. Bahkan,
bayi-bayi mereka pun sudah ada yang terkena. Terus ada lagi kata “bangsa”
di backdrop itu.
Ada apa dengan bangsa? Apa urusannya dengan
teroris atau separatis yang mengancam keutuhan NKRI? Ternyata angka
prevalensi HIV/AIDS di Indonesia, bukannya berkurang, malah naik terus.
Menurut data KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional), antara tahun 1987
sampai 2008 kasus HIV/AIDS di Indonesia naik 5.000 kali! Diperkirakan tahun
2015 akan terdapat 1.000 penderita HIV/ AIDS di Indonesia; 90% di antaranya
adalah orang-orang dewasa yang masih dalam usia produktif.
Satu juta penduduk tertular, mungkin hanya
sedikit dibandingkan dengan lebih dari 250 juta penduduk Indonesia
sekarang. Tetapi dengan akselerasi jumlah penderita yang begitu fantastis,
tinggal menghitung saja berapa tahun lagi bangsa Indonesia akan mendekati
kepunahan seperti bangsa-bangsa di sub-Sahara Afrika, yang penduduknya
hanya 10% dari penduduk dunia, tetapi 70% penderita HIV/AIDS dunia, hidup
di negara-negara mereka. Obat anti-HIV/AIDS yang sudah ditemukan dan
diberikan gratis oleh pemerintah Indonesia kepada penderita HIV/ AIDS tidak
akan bisa mengejar kenaikan jumlah itu.
Upaya pemerintah untuk menghemat anggaran di
sektor BBM, akan gagal karena ada subsidi baru yang tak kalah besarnya,
yaitu subsidi untuk ARV (Anti Retro Viral) atau obat anti HIV/AIDS.
Pantaslah kalau bangsa ini termasuk yang harus diselamatkan dalam perang
melawan HIV/AIDS.
*** Dalam seminar yang dilaksanakan hari
Minggu, 1 Desember 2013 oleh YAI itu, dihadirkan juga seorang ibu, berusia
33 tahun, berjilbab dan sedang mengandung anaknya yang pertama. Ternyata
dia adalah seorang ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Penyakit itu didapatnya
dari suaminya yang pertama. Mereka menikah karena saling cinta. Tetapi
setelah empat tahun menikah, suaminya itu mulai terkena penyakit macam-
macam yang tidak sembuh- sembuh, sehingga akhirnya meninggal.
Dari hasil tes laboratorium, ternyata sang
suami mengidap HIV dan yang lebih dahsyat lagi sang istri yang tidak
berdosa pun juga positif mengidap HIV. Sekarang ibu ODHA itu rutin minum
ARV setiap hari, dan alhamdulillah, Tuhan memberinya suami lagi yang penuh
pengertian dan sangat mencintainya, sehingga ia sekarang hamil lagi. Ia pun
mendapat pekerjaan yang baik, sehingga kepercayaan dirinya pulih. Ia tidak
ragu bahwa bayi yang dikandungnya akan sehat, tidak tertular HIV/ AIDS,
karena ia percaya pada teknologi pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS yang
sekarang sudah sangat maju.
Tetapi kesembuhan ibu ODHA tidak menyisakan
pertanyaan mengapa seorang ibu yang tak berdosa bisa tertular HIV/AIDS?
Banyak sekali anggota masyarakat Indonesia, baik yang awam maupun yang
pakar, bahkan termasuk Tomas (tokoh masyarakat), Togam (tokoh agama), malah
juga para Toil (tokoh ilmuwan), yang masih percaya
bahwaHIV/AIDSadalahpenyakit moral. Penyakitnya orang yang doyan seks bebas
dan narkoba (HIV/AIDS menular juga lewat jarum suntik).
Pertanyaan itu bisa terjawab dengan melihat
contoh negara lain yang berhasil memberantas HIV/AIDS sampai hampir tuntas,
seperti Thailand yang dulu adalah rajanya negara HIV/ AIDS sedunia. Mereka
memerangiHIV/ AIDSdengancara memerangi virusnya. Maka hari ini tidak ada
satu pun PSK yang mau melayani tanpa kondom. Sehingga lelaki hidung belang
yang ngotot mencari Yantako (pelayanan tanpa kondom) di Thailand,
harusgigitjari. Laindengan Indonesia. Bahkan di lokalisasi kondom sulit
dicari, karena dianggap barang haram yang menghalalkan perzinaan.
Ketahuan ngantongin kondom bisa dirazia Satpol
PP. Apalagi anakanak remaja yang bengal-bengal. Cukup banyak yang mau
cobacoba ngeseks. Karena malu beli kondom ke apotek (tabu, dosa), maka ya
sudah hajar saja...bleh! Jangan heran kalau angka HIV/ AIDS Indonesia naik
5.000 kali, walaupun kita negara beragama dan ber-Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar