Kamis, 26 Desember 2013

Skenario Konflik Internal Suriah

Skenario Konflik Internal Suriah
Broto Wardoyo  ;   Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  26 Desember 2013

  

Berbagai perkembangan di Timur Tengah saat ini memunculkan beragam pertanyaan terkait stabilitas di kawasan. 

Tiga isu belakangan merebak dan membutuhkan penanganan yang serius yaitu konflik internal Suriah, krisis nuklir Iran, dan kontroversi kematian Arafat. Masalah per-tama menjadi hal yang paling mendesak untuk ditangani karena intensitas kekerasan yang masih cukup tinggi dan jatuh korban jiwa yang lebih banyak (jika dibandingkan dengan dua masalah yang lain). Masa depan konflik internal Suriah terkait keberadaan aktor-aktor eksternal, baik ekstrakawasan maupun intrakawasan, dan keterikatannya dengan kondisi regional. 

Aktor Eksternal Ekstrakawasan 

Konflik internal Suriah memasuki fase baru dengan kehadiran kesepakatan antara Rusia dan Amerika Serikat (AS) bagi perlunya pembicaraan lanjutan antara rezim dan kelompok oposisi. Pertemuan tersebut, yang akan dilaksanakan di Jenewa akhir tahun ini, masih belum menentu akibat kegagalan untuk melakukan identifikasi siapa yang akan mewakili kelompok oposisi dalam pembicaraan damai dengan rezim Bashar. 

Kelompok oposisi memang bukan sebuah kelompok yang solid dengan satu tujuan dan kepentingan yang sama. Kelompok oposisi terdiri atas beragam pihak yang masing-masing memiliki agenda tersendiri. Salah satu yang dikhawatirkan AS adalah keterlibatan kelompok-kelompok salafi atau kelompok-kelompok yang memiliki keterkaitan dengan al- Qaeda. Kekhawatiran tersebut sebenarnya sama dengan kekhawatiran Rusia dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong kedua negara besar tersebut untuk tetap bersatu jalan bagi perdamaian di Suriah. 

Kepentingan Rusia dalam konflik di Suriah lebih sering dilihat dari kacamata geostrategis. Suriah dipandang penting bagi Rusia mengingat Suriah menyediakan pangkalan militer bagi Rusia di Tartus dan memiliki peran yang sentral untuk menyatukan aliansi Syiah antara Iran dan Hisbulah. Posisi Suriah yang sedemikian strategis membuat Rusia enggan melepaskan dukungan kepada pemerintahan Bashar, yang menjadi salah satu hambatan utama bagi proses penyelesaian konflik internal Suriah secara damai. 

Di luar kepentingan geostrategis tersebut, Rusia juga memiliki kepentingan untuk tidak membiarkan kelompok salafi atau simpatisan al-Qaeda bergabung ke dalam kelompok oposisi. Apalagi jika kelompok tersebut sanggup menyingkirkan kelompok lain yang lebih moderat di dalam kubu oposisi manakala terjadi peralihan kekuasaan dari Bashar ke kelompok oposisi. Rusia mengkhawatirkan pergerakan kelompok-kelompok tersebut di wilayah Dagestan dan Chechnya. 

Rusia memiliki masalah yang serius di dua wilayah tersebut akibat aktivitas kelompok insurgensi dalam melawan pemerintahan pusat di Moskow. Kesepakatan mengenai peminggiran kelompok-kelompok ini dari oposisi anti-Bashar akan menjadi kesepakatan kedua antara Rusia dan AS dalam konflik internal di Suriah setelah kesepakatan mengenai senjata pemusnah massal. Kehadiran kesepakatan-kesepakatan antara Rusia dan AS dalam menyikapi konflik internal di Suriah merupakan faktor yang krusial bagi keberhasilan upaya rekonsiliasi politik. 

Skenario masa depan konflik internal Suriah dapat dibedakan menjadi empat dengan memperhatikan variabel kepemilikan kekuatan militer serta dukungan logistik dan diplomatik yang dimiliki kedua pihak yang bertikai dari aktor-aktor eksternal. Jika kedua pihak, rezim dan oposisi, sama-sama kuat, konflik di Suriah akan bertahan sebagai konflik jangka panjang. Skenario ini membawa Suriah ke dalam model Libanon yang telah berkutat dengan konflik sipil selama hampir empat dekade. 

Skenario ini akan tercipta jika dukungan aktor eksternal pada kedua pihak yang bertikai tetap ada. Skenario kedua dan ketiga akan menghasilkan kemenangan bagi salah satu pihak dan tercipta jika salah satu aktor eksternal menarik dukungannya sedangkan aktor yang berseberangan tidak menarik dukungan. Skenario ini harus dihindari karena berpotensi memunculkan pembersihan atas kelompok yang kalah, baik dilakukan oleh rezim terhadap kelompok oposisi jika rezim bertahan maupun dilakukan kelompok oposisi sebagai tindakan retalisasi terhadap para pendukung rezim dalam kasus rezim terguling. 

Skenario keempat adalah kehadiran rekonsiliasi di mana kedua pihak yang bertikai dipaksa untuk melakukan penyelesaian politik. Skenario ini hanya akan terjadi jika aktor eksternal menarik dukungan dari kedua pihak yang bertikai dan mengubah dukungan tersebut menjadi tekanan untuk negosiasi. Untuk mewujudkan skenario keempat tersebut, identifikasi atas kepentingan-kepentingan aktor eksternal menjadi perlu untuk dilakukan. 

Dalam konteks Rusia dan AS, identifikasi dan pemutusan dukungan tersebut lebih mudah untuk dilakukan mengingat kedua negara tidak memiliki ikatan ideologis dengan pihak-pihak yang mereka dukung. Kedua negara, dengan demikian, memiliki ruang yang tidak terlalu lebar untuk bertindak sebagai spoiler bagi proses penyelesaian damai. Hal yang sama tidak terjadi dengan Iran dan negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi ataupun Qatar. 

Aktor Eksternal Intrakawasan 

Keterlibatan Arab Saudi ataupun Qatar dalam konflik di Suriah tidak sebatas pada kehadiran rivalitas intra-Arab. Kedua negara tersebut juga mempertimbangkan pertarungan ideologis Syiah-Sunni dengan Iran. Demikian dengan Iran, yang membangun aliansinya dengan Suriah dalam kebutuhan memproyeksikan dirinya sebagai wajah dari dunia Islam. Kehadiran konflik antara Saudi/Qatar dan Iran direpresentasikan dalam konflik antara kelompok oposisi yang didominasi Sunni melawan rezim Bashar. 

Kondisi ini membuat konflik internal Suriah akan tetap dipengaruhi kehadiran tetangga yang buruk selain kehidupan bertetangga yang juga buruk di kawasan. Selama ini keberadaan aktor-aktor eksternal intrakawasan dalam konflik internal Suriah lebih sering dipandang sebagai pemain lapis kedua setelah Rusia dan AS. Peran mereka dalam konflik dan penyelesaian konflik internal Suriah menjadi dinomorduakan. Iran dianggap sejalan dengan Rusia dan Saudi/Qatar berdiri di kubu yang sama dengan AS. Asumsi ini tampaknya tidak lagi bisa dibenarkan dalam kondisi saat ini. 

Beberapa hal yang mengindikasikan perbedaan posisi antara Saudi/Qatar dengan AS dan Iran dengan Rusia mulai terlihat. Perseteruan antara Saudi dan AS mulai tampak dalam pilihan kebijakan terhadap Iran. Saudi bersikukuh pada kelanjutan pemberlakuan sanksi terhadap Iran, posisi yang hanya sedikit lebih lunak dibandingkan dengan Israel, sedangkan AS mulai menjajaki rapprochementdengan Iran. Keberhasilan perundingan di Jenewa antara Iran dan negara-negara P5+1 dalam kasus krisis nuklir ditanggapi dingin oleh Saudi. Pecah kongsi antara Rusia dan Iran telah tampak lebih awal dalam kasus yang sama. 

Upaya Iran untuk memperbaiki relasi dengan AS dipandang sebagai pilihan Iran untuk menjauh dari Moskow. Apalagi, Rusia memiliki kebutuhan untuk mengamankan proyek pembangunan pipa migas Iran, Pakistan, dan India yang akan mendukung ekspansi ekspor gas Rusia ke timur. Kedekatan relasi AS dengan Iran akan membawa dampak pada rencana tersebut. Ketika aktor-aktor eksternal ekstrakawasan mampu membangun paradigma yang sama dalam konflik internal Suriah, aktor-aktor eksternal intrakawasan justru bergerak ke kutub yang berseberangan. 

Masyarakat internasional memiliki kebutuhan mendorong aktor-aktor eksternal intrakawasan untuk mengambil jarak dari konflik internal Suriah jika tidak menghendaki konflik ini berumur panjang dan menjadi semakin kompleks. 

Keterikatan Regional 

Selain kehadiran tetangga yang buruk, konflik internal Suriah juga dipengaruhi kehidupan bertetangga yang buruk. Krisis internal Suriah memiliki korelasi dengan konflik lain di kawasan. Kehadiran Hisbulah dalam konflik internal Suriah menjadikan masalah ini terkait gejolak domestik di Libanon. Hisbulah juga memiliki masalah dengan Israel terkait wilayah Libanon Selatan. Selain Hisbulah, rezim Bashar juga memiliki keterikatan dengan beberapa kelompok lain seperti Fatah al-Islam, Hamas, Jihad Islam Palestina, PFLP, serta PFLP-GC. 

Kelompok pertama berbasis di Libanon, sedangkan empat kelompok lain beroperasi di wilayah Palestina. Artinya, selain terkait masalah di Libanon, rezim Bashar juga memainkan peran dalam konflik Palestina- Israel. Keberadaan kelompok Kurdi di Suriah bagian utara juga memunculkan kekhawatiran. Meski kelompok ini tidak terlalu aktif dalam konflik internal Suriah, mereka memiliki kedekatan meski tidak secara organisasional dengan kelompok Kurdi lain di Irak dan Turki. 

Keterkaitan lain juga akan ditemukan dengan krisis nuklir yang saat ini sedang menemukan jalan tengah. Keterkaitan-keterkaitan tersebut hanya akan menambah kompleksitas konflik internal Suriah. Beberapa pihak mulai mengusulkan dilakukan pertukaran kepentingan dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut meski beberapa yang lain cenderung skeptis dengan usulan ini. Ide untuk mempertukarkan keuntungan yang didapatkan Iran dari dialog krisis nuklir dengan kesediaan Iran untuk mundur dari Suriah tidak akan bisa dilakukan dengan mudah. 

Harus pula dicatat bahwa dalam konteks Suriah bukan saja Iran, Rusia, dan AS yang harus mundur dari konflik ini, melainkan juga Saudi dan Qatar serta Israel yang tentunya tidak akan bersedia menanggung derita dari keuntungan yang didapatkan tiga negara tersebut. Masa depan konflik internal Suriah, dengan demikian, masih jauh dari terang. Perlu kerja keras masyarakat internasional untuk membentengi Suriah dari aktor-aktor eksternal yang berpotensi menjadi spoiler sebelum mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk duduk di meja perundingan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar