Kamis, 26 Desember 2013

Menghukum Korporasi Korup

Menghukum Korporasi Korup
Richo Andi Wibowo  ;   Dosen FH UGM; Peneliti Good Governance and Public Procurement di Utrecht University, Belanda
JAWA POS,  26 Desember 2013

  

SEIRING segera silamnya 2013, para pemangku kepentingan perlu lebih serius memikirkan upaya pemberantasan korupsi dengan memastikan hukuman bagi perusahaan korup. Pada banyak kasus, korupsi oleh individu berkelindan dengan korupsi oleh korporasi. KPK pun sudah mengisyaratkan akan mulai menghukum korporasi yang terlibat korupsi. 

Dalam surat dakwaan terhadap Deddy Kusdinar, misalnya, terungkap bahwa PT Adhi Karya mengalirkan uang ke berbagai anggota legislatif dan pejabat di Kemenpora demi memenangi proyek Hambalang. Kepala Divisi Konstruksi I Adhi Karya Teuku Bagus juga telah ditahan oleh KPK dengan sangkaan penyuapan. 

Upaya progresif KPK ini patut diapresiasi. Pemberi dan penerima suap memang sama-sama harus dihukum. Namun, untuk lebih meningkatkan efek jera, sebaiknya kasus ini tidak hanya ditangani melalui pendekatan hukum pidana yang berfokus pada pertanggungjawaban individu semata. Perlu juga penanganan melalui pendekatan sanksi pertanggungjawaban administrasi korporasi. 

Lubang dalam Debarment 

Perusahaan nakal yang menyuap dan mengatur untuk mendapatkan proyek, seperti PT Adhi Karya, seharusnya juga dikenai sanksi debarment (Manunza, 2001). Di Indonesia, sanksi ini telah dikenal dengan sebutan "dimasukkan ke daftar hitam" atau blacklisting. Perusahaan yang berada di dalam daftar tersebut tidak diizinkan ikut dalam tender pemerintah selama beberapa waktu. Secara common sense, saya yakin bahwa sanksi ini akan membuat perusahaan berpikir ulang jika ingin berbuat curang dalam tender pemerintah.

Ada dua fungsi blacklisting, yaitu (i) hukuman serta (ii) pencegahan (U4 Anti-Corruption Research Centre, 2006). Pertama, blacklisting berfungsi sebagai hukuman karena perusahaan kehilangan peluang untuk memperoleh profit dari proyek pemerintah. Lebih dari itu, perusahaan dalam daftar hitam akan kehilangan kepercayaan dari pengguna. Bahkan, jika perusahaan tersebut adalah perusahaan terbuka, pasar (bursa) berpotensi memberikan sentimen negatif, menimbulkan waswas kinerja, dan potensi laba akan turun.

Kedua, selain itu, mekanisme ini berfungsi sebagai sarana pencegah karena menghindarkan pemerintah bekerja sama dengan perusahaan nakal untuk menghindari risiko kerugian negara. 

Bahkan, sanksi daftar hitam diyakini akan mendorong perusahaan untuk mendesain sistem antikorupsi di institusinya agar korporasinya jangan sampai masuk ke dalam blacklisting. 

Sesungguhnya, sanksi daftar hitam telah lama dikenal dalam sistem pengadaan pemerintah (public procurement) di Indonesia. Baik dalam Keppres 80/2003 maupun dalam aturan pengadaan yang baru (Perpres 54/2010 beserta aturan perubahannya).

Dalam sistem daftar hitam terpadu nasional di website Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), tidak ditemukan nama PT Anugrah Nusantara milik M. Nazaruddin ataupun PT Marell Mandiri. Padahal, dua perusahaan ini jelas terbukti terlibat kasus korupsi pengadaan laboratorium di Universitas Negeri Jakarta. 

Tidak pula ditemukan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi serta PT Inovasi Teknologi Indonesia. Padahal, dua korporasi ini juga terbukti terlibat korupsi pengadaan Dirlantas Mabes Polri. 

Strategi Solusi 

Sumber permasalahan ini terletak pada mekanisme penetapan sanksi daftar hitam. Menurut Bab III Perka LKPP No 07/2011, pengusulan nama perusahaan yang masuk ke daftar hitam dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) atau pejabat pengadaan (PP). Usul ini kemudian ditetapkan oleh pengguna anggaran atau kuasanya (PA/KPA) dan selanjutnya dikirimkan ke LKPP untuk dipublikasikan. 

Artinya, peraturan ini hanya mengedepankan struktur eksekutif yang terlibat dalam pengadaan untuk menetapkan suatu perusahaan ke dalam daftar hitam. Padahal, dalam banyak kasus, PP, PPK, PA/KPA kerap terlibat dalam pusaran korupsi. 

Jika struktur eksekutif di atas memang ikut "bermain", jangan heran jika mereka enggan memproses aneka perusahaan nakal. Karena itulah, nama perusahaan tersebut tidak akan pernah terkirim dan termuat di daftar hitam.

Maka, baik kiranya jika mekanisme blacklisting tidak bertumpu pada lembaga eksekutif semata, namun juga yudikatif. Maksudnya, bila ada karyawan atau pimpinan korporasi divonis bersalah sebagai penyuap oleh pengadilan atau lembaga quasi-judicial seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta penyuapan tersebut terbukti adalah hasil tindakan terstruktur perusahaan, korporasi tersebut langsung masuk daftar hitam. 

Untuk itu, LKPP perlu bekerja sama dengan MA dan KPPU agar LKPP selalu mendapatkan carbon copy aneka putusan yang terkait dengan kasus pengadaan. Mengingat blacklisting berada pada ranah hukum administrasi, bukan hukum pidana, sanksi ini dapat langsung diterapkan ke perusahaan terkait sekalipun proses banding berlangsung. Semoga strategi di atas dapat menekan korupsi pengadaan di masa mendatang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar