Jumat, 27 Desember 2013

Seat Kosong dan Blokade Bandara

Seat Kosong dan Blokade Bandara
A Eliyeda Umat  ;   Perencana Bandara Internasional dari Jogjakarta
JAWA POS,  27 Desember 2013




PERISTIWA penutupan Bandara Soa, NTT, (21/12) oleh Bupati Ngada Marianus Sae merupakan suatu pelajaran sangat berharga bagi semua pihak. Termasuk operator, regulator/pemerintah, masyarakat, maupun maskapai penerbangan. 

Ada beberapa alasan yang membenarkan penutupan bandara bagi penerbangan sipil. Ini diakui dalam konvensi dunia penerbangan internasional, seperti The Federal Aviation Admistration (FAA) , International Civil Aviation Organization (ICAO), dan Annex ke-14 dan ke-16. Misal, ada bencana alam seperti letusan gunung berapi, hujan lebat, kabut asap yang berakibat pada jarak pandang (visual) yang dinilai tidak aman bagi pilot. 

Ada juga kasus bandara ditutup karena terhentinya suplai listrik sehingga berimbas pada persoalan navigasi penerbangan. Secara umum, bandara di tanah air pernah mengalami penutupan penerbangan (close aerodrome) atau dinyatakan sebagai bandara terbatas (restriction airport). Hal ini disebabkan oleh gangguan instrument landing system (ILS), misalnya, listrik/radar mati, landasan pacu terendam air. Beberapa waktu lalu Bandara Soekarno-Hatta ditutup karena radar mati. 

Otoritas bandara berhak membatalkan maupun menunda suatu penerbangan bilamana kenyamanan, keamanan, serta keselamatan tidak memenuhi standar yang berlaku. Hal ini semata-mata demi perlindungan manusia (human protection). 

Bandara dan pesawat ibarat dua sisi koin berbeda, namun memiliki nilai sama, yaitu identitas/simbol bangsa (nation flag), serta memiliki yurisdiksi dan kekebalan yang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. 

Bila penutupan bandara tanpa mengindahkan kaidah, Indonesia dapat dikucilkan oleh Asosiasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).

Angon Kebo di Bandara 

Beberapa bandara di Kalimantan, Papua, NTT, dan Sulawesi oleh kalangan masyarakat tertentu dianggap sebagai "ladang gembala gratis" bagi hewan piaran (sapi, kambing, kerbau). Imbasnya bisa menghambat operasi penerbangan. Memang baru sekitar 15 persen di antara 260 bandara di tanah air yang memiliki pagar pengaman. Sisanya bandara terbuka dengan masyarakat. 

Kondisi ini bagaikan buah simalakama bagi pilot. Di satu sisi dia wajib mengutamakan keselamatan penerbangan, di sisi lain tradisi "angon kebo" (menggembala kerbau) di sekitar bandara masih kuat hingga kini. Peristiwa kerap terjadi ketika pilot menunda pendaratan atau lepas landas hingga landasan pacu benar benar steril (zero obstacle). 

Hal nonteknis ini juga yang turut memberikan andil penutupan (sementara), bahkan pemindahan permanen bandara domestik dan internasional ke tempat lain, selain karena overkapasitas. Misalnya, pemindahan Bandara Polonia ke Kuala Namu, kepadatan (udara dan darat) Bandara Juanda Surabaya, pengaturan operasi Bandara Halim Perdana Kusuma bersama Bandara Soekarno-Hatta, wacana Pembangunan Megabandara Internasional di Karawang, Jawa Barat, dan wacana pemindahan Bandara Adi Sutjipto Jogjakarta ke Kulon Progo.

Rumusnya, semakin banyak faktor nonteknis memengaruhi akan berkorelasi langsung memperpendek usia (ekonomis dan kelaikan) bandara. Akibatnya, secara signifikan kelayakan, kualitas, dan kapasitas jasa penerbangan menurun dan bandara semakin tidak memiliki nilai ekonomis (nyaman, aman, dan murah).

Kosongkan 1 - 2 Kursi 

Saat merancang bandara internasional di beberapa negara, saya menjumpai satu hingga dua kursi kosong di setiap maskapai. Karena sering menjumpai hal sama meski pada jalur penerbangan berbeda, saya menanya­kan pada manajer airline setempat. 

Mengapa kursi-kursi itu dikosongkan? Mungkin jawaban di bawah ini dianggap jadul atau lawas oleh sebagian maskapai di Indonesia. Atau sebaliknya, karena pertimbangan efisiensi (seat cost), pengosongan 1-2 kursi sampai menit terakhir menjelang terbang itu tidak berlaku lagi! Buahnya, terjadilah kasus pemblokadean bandara di Soa minggu lalu. 

Inilah testimoni yang mirip dari beberapa maskapai besar yang beroperasi di Eropa, AS, dan Jepang. "Kursi kosong harus stand-by hingga injury time!" kata mereka. Tujuannya, kursi yang dikosongkan itu disiapkan bagi kondisi darurat (kepentingan negara dan hak asasi manusia/HAM). 

Yang berhak mendapat fasilitas tersebut adalah pejabat pemerintahan (yang sedang melaksanakan tugas negara), orang sakit dan cacat, senat, hakim agung, dan jaksa agung. Kursi tersebut tidak dijual kepada umum, namun jatah (dijual) bagi kepentingan dalam tugas negara dan kepentingan kemanusiaan. Rasanya, di tengah persaingan antarmaskapai, ini perlu diingat kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar