Minggu, 08 Desember 2013

Sang Jenderal yang “Chibi”

Sang Jenderal yang “Chibi”
Mohammad Fathi Royyani  ;   Peneliti LIPI
KOMPAS,  07 Desember 2013
  


Tulisan dalam stiker berbunyi ”Piye kabare, Bro? Penak zamanku tho?” yang menyertai wajah ”Sang Jenderal” sedang tersenyum, akhir-akhir ini sering dijumpai di kendaraan pribadi ataupun umum, truk, angkutan umum. Wajah dan tulisan yang sama juga muncul dalam bentuk kaus, selain menyebar dalam jejaring media sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Dalam situasi sosial-politik sekarang, wajah-wajah politikus yang tersenyum menebar janji atau sekadar bersikap chibi kemanja-manjaan menggejala pada hampir semua level kehidupan.

Semua tampil ”genit” dan ”manja”, tidak malu mengeluarkan ”unek-unek” atau kegaulauannya. Seolah yang memiliki problem adalah dirinya semata dan problem yang dihadapi oleh dirinya adalah yang paling berat.

Maka, muncullah Soeharto, jenderal bintang lima yang hidup pada masa lalu dengan wajah dan senyum sumringah.

Inilah bentuk miniatur dari Soeharto, penyederhanaan dari yang nyata, menghibur tetapi sekaligus juga menertawakan kondisi sosial-politik Indonesia sekarang.

Fenomena serupa pernah terjadi di Turki tahun 1990-an, saat tokoh Attaruk yang dibenci karena otoriter, tampil melalui gambar dan pencitraan di mana-mana.

Dalam artikel yang ditulis Esra Oyurek berjudul ”Miniaturizing Ataturk: Privatization of state imagery and ideology in Turkey”, diulas bagaimana rakyat Turki pun seolah melupakan segala bentuk ”kejahatan” Ataturk.

Tulisan ini bukan untuk membahas perbandingan ”keenakan hidup” pada masa Soeharto dan masa sekarang, melainkan hendak melihat dalam konteks apa Soeharto yang punya cerita macam-macam tiba-tiba tampil dengan wajah yang chibi?

Tulisan dan gambar tersebut bukanlah sekadar stiker, melainkan gambaran dari suatu proses di masyarakat.

Esra mencatat ada keterlibatan aktivis dan ilmuwan untuk menemukan makna baru Ataturk dalam gambar.

Melalui gambar, mereka berupaya menggugah kembali kebangkitan dan kesadaran diri rakyat Turki.

Menurut Esra, ada beberapa hal yang berkaitan dengan kehadiran gambar-gambar Ataturk.

Pertama, proses duplikasi dan penyebaran gambar Ataturk dilakukan untuk membangkitkan kesadaran kebangsaan.

Saat itu, di Turki sedang menggejala proses islamisasi yang dianggap oleh kalangan modernis bisa mengganggu ketertiban kehidupan sosial. Karena itu, negara membutuhkan simbol dari sosok yang dianggap representasi dari Turki dan itu ada pada sosok Ataturk.

Kedua, inisitif negara kemudian bertemu dengan kepentingan pasar. Gambar Ataturk terus dibuat ulang dengan berbagai variasi agar sesuai permintaan pasar sehingga menjadikan gambar Ataturk makin populer. Pasar juga membutuhkan simbol khas Turki untuk melawan determinasi persaingan perlengkapan Islam di pasaran.

Ketiga, masyarakat perkotaan Turki tampaknya membutuhkan sosok yang bisa menjadi patron mereka melawan gejala fundamentalis Islam, dan itu ada pada Ataturk.

Keempat, gambar dan berbagai tulisan mengenai Ataturk mengangkat sisi kemanusiaannya, bukan kediktatoran maupun wajah militeristiknya. Rakyat pun lupa sisi lain Ataturk.

Kelima, gambar Ataturk yang semula selalu menatap kamera dengan sorot mata tegas, dialihkan ke gambar yang tidak menatap langsung sehingga memunculkan kesan Ataturk sebagai sosok yang amat sosial.

Di Indonesia

Kemunculan gambar-gambar Soeharto pasti bukan tanpa alasan. Pasti ada rekayasa, termasuk keterlibatan para politisi yang berkepentingan dengan ”mengangkat” sosok Soeharto untuk kepentingan jangka pendek.

Pilihan menampilkan Soeharto adalah usaha membangkitkan memori masyarakat tentang masa lalu yang semuanya terkontrol dan murah untuk ukuran sekarang, padahal mahal juga pada masa itu. Ini menjadi kritik buat pemerintah sekarang yang gemar menaikkan harga.

Kesulitan hidup menghadapi harga-harga kebutuhan pokok yang membumbung, ketegasan dan keberanian Soeharto mengambil risiko, membuat Soeharto −berbeda dengan sosok presiden sekarang yang serba ragu-ragu dan melepaskan harga pada mekanisme pasar− kembali muncul.

Gambar Soeharto juga tidak akan ”bunyi” tanpa kata-kata di sampingnya. Pilihan kata dengan bahasa Jawa digabung bahasa gaul anak muda sekarang, menunjukkan si pembuat hendak membangkitkan Soeharto untuk menghadapi situasi sekarang.

Usaha menghadirkan masa lalu yang abstrak dan tidak dikenali melalui penandaan atau simulasi, menurut Baudrillard, adalah ruang ”pertempuran” tentang pemahaman masa lalu.

Maka, jangan terkejut jika ke depan akan semakin banyak tokoh dari masa lalu yang tampil lebih chibi dan menjadi saluran kritik terhadap kehidupan sosial-politik sekarang.

Inilah pengulangan masa lalu dan Indonesia pun tidak akan beranjak menjadi negara maju karena semua politisi, jenderal, dan pejabat ramai-ramai menjadi chibi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar