Tulisan dalam stiker berbunyi ”Piye kabare, Bro? Penak zamanku tho?” yang
menyertai wajah ”Sang Jenderal” sedang tersenyum, akhir-akhir ini sering
dijumpai di kendaraan pribadi ataupun umum, truk, angkutan umum. Wajah dan
tulisan yang sama juga muncul dalam bentuk kaus, selain menyebar dalam
jejaring media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Dalam situasi sosial-politik
sekarang, wajah-wajah politikus yang tersenyum menebar janji atau sekadar
bersikap chibi kemanja-manjaan menggejala pada hampir semua level
kehidupan.
Semua tampil ”genit” dan
”manja”, tidak malu mengeluarkan ”unek-unek” atau kegaulauannya. Seolah
yang memiliki problem adalah dirinya semata dan problem yang dihadapi oleh
dirinya adalah yang paling berat.
Maka, muncullah Soeharto,
jenderal bintang lima yang hidup pada masa lalu dengan wajah dan senyum
sumringah.
Inilah bentuk miniatur dari
Soeharto, penyederhanaan dari yang nyata, menghibur tetapi sekaligus juga
menertawakan kondisi sosial-politik Indonesia sekarang.
Fenomena serupa pernah terjadi
di Turki tahun 1990-an, saat tokoh Attaruk yang dibenci karena otoriter,
tampil melalui gambar dan pencitraan di mana-mana.
Dalam artikel yang ditulis Esra
Oyurek berjudul ”Miniaturizing Ataturk: Privatization of state imagery and
ideology in Turkey”, diulas bagaimana rakyat Turki pun seolah melupakan
segala bentuk ”kejahatan” Ataturk.
Tulisan ini bukan untuk membahas
perbandingan ”keenakan hidup” pada masa Soeharto dan masa sekarang,
melainkan hendak melihat dalam konteks apa Soeharto yang punya cerita
macam-macam tiba-tiba tampil dengan wajah yang chibi?
Tulisan dan gambar tersebut bukanlah
sekadar stiker, melainkan gambaran dari suatu proses di masyarakat.
Esra mencatat ada keterlibatan
aktivis dan ilmuwan untuk menemukan makna baru Ataturk dalam gambar.
Melalui gambar, mereka berupaya
menggugah kembali kebangkitan dan kesadaran diri rakyat Turki.
Menurut Esra, ada beberapa hal
yang berkaitan dengan kehadiran gambar-gambar Ataturk.
Pertama, proses duplikasi dan
penyebaran gambar Ataturk dilakukan untuk membangkitkan kesadaran
kebangsaan.
Saat itu, di Turki sedang
menggejala proses islamisasi yang dianggap oleh kalangan modernis bisa
mengganggu ketertiban kehidupan sosial. Karena itu, negara membutuhkan
simbol dari sosok yang dianggap representasi dari Turki dan itu ada pada
sosok Ataturk.
Kedua, inisitif negara kemudian
bertemu dengan kepentingan pasar. Gambar Ataturk terus dibuat ulang dengan
berbagai variasi agar sesuai permintaan pasar sehingga menjadikan gambar
Ataturk makin populer. Pasar juga membutuhkan simbol khas Turki untuk
melawan determinasi persaingan perlengkapan Islam di pasaran.
Ketiga, masyarakat perkotaan
Turki tampaknya membutuhkan sosok yang bisa menjadi patron mereka melawan
gejala fundamentalis Islam, dan itu ada pada Ataturk.
Keempat, gambar dan berbagai
tulisan mengenai Ataturk mengangkat sisi kemanusiaannya, bukan kediktatoran
maupun wajah militeristiknya. Rakyat pun lupa sisi lain Ataturk.
Kelima, gambar Ataturk yang
semula selalu menatap kamera dengan sorot mata tegas, dialihkan ke gambar
yang tidak menatap langsung sehingga memunculkan kesan Ataturk sebagai
sosok yang amat sosial.
Di Indonesia
Kemunculan gambar-gambar
Soeharto pasti bukan tanpa alasan. Pasti ada rekayasa, termasuk
keterlibatan para politisi yang berkepentingan dengan ”mengangkat” sosok
Soeharto untuk kepentingan jangka pendek.
Pilihan menampilkan Soeharto
adalah usaha membangkitkan memori masyarakat tentang masa lalu yang
semuanya terkontrol dan murah untuk ukuran sekarang, padahal mahal juga
pada masa itu. Ini menjadi kritik buat pemerintah sekarang yang gemar
menaikkan harga.
Kesulitan hidup menghadapi
harga-harga kebutuhan pokok yang membumbung, ketegasan dan keberanian
Soeharto mengambil risiko, membuat Soeharto −berbeda dengan sosok presiden
sekarang yang serba ragu-ragu dan melepaskan harga pada mekanisme pasar−
kembali muncul.
Gambar Soeharto juga tidak akan
”bunyi” tanpa kata-kata di sampingnya. Pilihan kata dengan bahasa Jawa
digabung bahasa gaul anak muda sekarang, menunjukkan si pembuat hendak
membangkitkan Soeharto untuk menghadapi situasi sekarang.
Usaha menghadirkan masa lalu
yang abstrak dan tidak dikenali melalui penandaan atau simulasi, menurut
Baudrillard, adalah ruang ”pertempuran” tentang pemahaman masa lalu.
Maka, jangan terkejut jika ke
depan akan semakin banyak tokoh dari masa lalu yang tampil lebih chibi dan
menjadi saluran kritik terhadap kehidupan sosial-politik sekarang.
Inilah pengulangan masa lalu dan
Indonesia pun tidak akan beranjak menjadi negara maju karena semua
politisi, jenderal, dan pejabat ramai-ramai menjadi chibi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar