Minggu, 08 Desember 2013

Di Manakah Posisi Kita?

Di Manakah Posisi Kita?
Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS,  01 Desember 2013

  

Dalam hubungan dengan pasangan kita, sering kita mengalami pertengkaran yang sama sekali tidak efektif. Mengapa? Karena kita cenderung menggunakan dua cara sebagai berikut: pertama, apabila kita terpojok dan seolah berhenti dalam satu posisi dalam komunikasi tertentu dengan isu palsu, dan kedua, kita berupaya keras untuk menggunakan energi kemarahan kita untuk mengubah pola pikir dan perasaan pasangan kita. Pseudo

Siti dan Edo adalah pasangan suami-istri yang tentu saja berasal dari lingkungan keluarga yang berbeda, latar belakang budaya, pengalaman, dan harapan yang berbeda. Sebenarnya isu yang mereka pertengkarkan sering bukanlah masalah yang prinsip, tetapi dapat dikatakan sebagai isu palsu (pseudo).

Tampaknya kebanyakan pasangan perkawinan mempertengkarkan isu palsu dengan intensitas yang tinggi. Ketahuilah bahwa sebagai konselor perkawinan, saya tidak akan pernah melupakan pengalaman pertama dalam menghadapi kasus perkawinan Siti dan Edo.

Mereka berdua duduk di ruang terapi saya dan bertengkar dengan sengit tentang pilihan jenis makan malam di dua restoran cepat saji. Kedua pasangan tersebut mempermasalahkan dengan sengit, argumentasinya tentang pilihan menu ikan atau ayam, dan tidak satu pun di antara mereka mau mengalah.

Sebagai konselor perkawinan yang masih belum berpengalaman, saya tidak tahu cara mengatasi pertengkaran yang sengit tersebut, tetapi keyakinan yang muncul pada diri saya saat itu adalah bahwa kedua pasangan tersebut pada dasarnya bukan mempertengkarkan perbedaan menu ikan atau ayam, melainkan keduanya memang sedang merasakan ketidakpuasan mereka pada perlakuan pasangannya, yang membuat keduanya merasa terluka dan sakit hati.

Mengidentifikasi permasalahan (isu) inti di balik pertengkaran mereka tersebut bukanlah suatu hal yang mudah karena apabila antar-anggota keluarga yang sudah dewasa berkonflik, mereka cenderung menyertakan orang ketiga (misalnya anak mereka atau ipar mereka) dengan cara menciptakan relasi segitiga, yang kemudian justru membuat permasalahan menjadi semakin ”runyam” bagi kedua belah pihak. Seperti misalnya, seorang istri mengatakan kepada suaminya hal sebagai berikut: ”Saya marah sekali melihat dirimu mengabaikan dan sama sekali tidak memperhatikan anak lelakimu, saya merasa sepertinya anak kita tumbuh kembang tanpa seorang ayah.”

Isu yang sebenarnya adalah: ”Saya merasa terabaikan dan saya sangat marah karena kamu tidak memberikan perhatian cukup pada diri saya.” Atau seorang suami mengatakan kepada istrinya yang mendapatkan pekerjaan baru sebagai berikut: ”Anak-anak membutuhkan perhatianmu dan urusan rumah juga menjadi terbengkalai.” Isu yang sebenarnya adalah: ”Saya cemas kalau pekerjaan barumu tersebut akan mengubah dan memengaruhi iklim relasi di antara kita dan gairah kerjamu terhadap tugas baru tersebut membuat dirimu tidak lagi peka akan ketidakpuasanku terhadap pekerjaanku sendiri.” Kondisi segitiga bermasalah tersebut membuat pasangan tersebut mendapat kesulitan untuk menentukan, terhadap siapakah sebenarnya kemarahan mereka tujukan atau apakah yang sebenarnya membuat mereka marah dan memicu pertengkaran.

Mengubah pasangan

Kembali pada kasus Siti dan Edo, tampaknya Siti mengungkapkan seluruh energi kemarahannya untuk mengubah pola pikir dan perasaan suaminya. Siti ingin Edo mengakui bahwa menu ayam di restoran satu lebih enak daripada menu ikan di restoran lainnya. Pada dasarnya, Siti menginginkan Edo punya selera makanan yang sama dengannya.

Pendek kata Siti yakin bahwa sudut pandangnya tentang hal tertentu, bukan saja soal selera makan mereka, dinilainya paling benar dan baik dan Siti berharap apa yang baik bagi dirinya sebaiknya diikuti oleh suaminya. Siti yakin apabila Edo sebagai suami memiliki pola pandang dan sikap yang sama dengannya, maka kisaran dunia kehidupan perkawinan mereka juga akan menjadi lebih baik.

Namun, yang perlu disimak tanda bahwa seseorang sudah matang kepribadiannya adalah ia mampu mengenali validitas berbagai realitas dan mengenali perbedaan antardiri dan pasangannya, baik dalam pola pikir, perasaan, ataupun cara-cara bereaksi terhadap masalah yang mereka hadapi.

Sering kita berperilaku dengan pola bahwa kedekatan kita dengan pasangan baru optimal apabila pasangan menunjukkan kesamaan pola pikir, perasaan, dan cara-cara beraksi terhadap permasalahan yang dihadapi. Pasangan perkawinan dan bahkan seluruh anggota keluarga seyogianya berusaha memiliki satu ”realitas” yang menjadi ”realitas” seluruh anggota dari keluarga tersebut.

Sulit sekali rasanya untuk menghindari keyakinan diri kita bahwa kita memiliki hak terhadap segala yang kita pikirkan dan rasakan; dan berdasar keyakinan kita tersebut kita berkeinginan mengubah pola pikir dan perasaan orang lain, bahkan pasangan kita. Padahal, tugas utama orang dewasa adalah berlatih untuk memiliki pikiran dan perasaan yang jelas bagi diri kita sendiri dan berperilaku sesuai dengan apa yang kita pikir dan rasakan dengan menyertakan nilai-nilai/keyakinan yang kita anut.

Kita sama sekali tidak punya tugas untuk membuat orang lain memiliki pola pikir dan perasaan yang sama dengan kita atau bahkan berperilaku analog dengan perilaku kita. Apabila kita memaksakan kehendak, hasilnya akan menyakitkan pribadi kedua belah pihak dan membuat peluang perpisahan menjadi lebih besar karena perubahan sekecil apa pun tidak akan pernah terjadi.

Seterampil apa pun dan sejauh mana pun kemarahan serta kekerasan sikap kita terhadap orang yang ingin kita ubah, mereka tidak mungkin berubah sesuai dengan kehendak kita. Ketahuilah bahwa kita baru dapat keluar dari pertengkaran yang tidak efektif hanya apabila kita menghapus fantasi bahwa kita akan mampu mengubah dan mengendalikan diri seseorang, apalagi pasangan hidup kita. Jadi yang dapat kita lakukan adalah hanya memanfaatkan kekuatan energi yang benar-benar milik kita sendiri untuk membuat diri kita mengambil aksi baru yang berbeda dengan milik kita yang lalu.

Ubah diri

Pelajaran yang dapat kita raih dari kasus Siti dan Edo tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, ungkapan kemarahan sehebat apa pun tidak akan mengubah pola pikir dan perasaan orang lain. Kemarahan yang sengit justru membuat pola pikir dan perasaan kita terdahulu semakin kuat bertahan.

Kedua, satu-satunya orang yang dapat kita ubah dan kendalikan adalah diri kita sendiri. Ketiga, mengubah diri sesuai dengan harapan pasangan kita sering justru membuat diri kita merasa terancam dan biasanya lebih mudah bagi kita melanjutkan pola lama dengan sikap diam-diam menolak perubahan yang diinginkan pasangan kita atau melakukan pertengkaran berlanjut yang tidak efektif.

Akhirnya, berlatih mengendalikan luapan kemarahan menjadi inti kemungkinan penyesuaian pola pikir pasangan kita dengan tetap mempertimbangkan dan menghargai kadar dan tingkat perbedaan individual di antara pasangan perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar