Dalam hubungan dengan pasangan kita, sering kita
mengalami pertengkaran yang sama sekali tidak efektif. Mengapa? Karena kita
cenderung menggunakan dua cara sebagai berikut: pertama, apabila kita
terpojok dan seolah berhenti dalam satu posisi dalam komunikasi tertentu
dengan isu palsu, dan kedua, kita berupaya keras untuk menggunakan energi
kemarahan kita untuk mengubah pola pikir dan perasaan pasangan kita. Pseudo
Siti dan Edo adalah pasangan
suami-istri yang tentu saja berasal dari lingkungan keluarga yang berbeda,
latar belakang budaya, pengalaman, dan harapan yang berbeda. Sebenarnya isu
yang mereka pertengkarkan sering bukanlah masalah yang prinsip, tetapi
dapat dikatakan sebagai isu palsu (pseudo).
Tampaknya kebanyakan pasangan
perkawinan mempertengkarkan isu palsu dengan intensitas yang tinggi.
Ketahuilah bahwa sebagai konselor perkawinan, saya tidak akan pernah
melupakan pengalaman pertama dalam menghadapi kasus perkawinan Siti dan
Edo.
Mereka berdua duduk di ruang
terapi saya dan bertengkar dengan sengit tentang pilihan jenis makan malam
di dua restoran cepat saji. Kedua pasangan tersebut mempermasalahkan dengan
sengit, argumentasinya tentang pilihan menu ikan atau ayam, dan tidak satu
pun di antara mereka mau mengalah.
Sebagai konselor perkawinan yang
masih belum berpengalaman, saya tidak tahu cara mengatasi pertengkaran yang
sengit tersebut, tetapi keyakinan yang muncul pada diri saya saat itu
adalah bahwa kedua pasangan tersebut pada dasarnya bukan mempertengkarkan
perbedaan menu ikan atau ayam, melainkan keduanya memang sedang merasakan
ketidakpuasan mereka pada perlakuan pasangannya, yang membuat keduanya
merasa terluka dan sakit hati.
Mengidentifikasi permasalahan
(isu) inti di balik pertengkaran mereka tersebut bukanlah suatu hal yang
mudah karena apabila antar-anggota keluarga yang sudah dewasa berkonflik,
mereka cenderung menyertakan orang ketiga (misalnya anak mereka atau ipar
mereka) dengan cara menciptakan relasi segitiga, yang kemudian justru
membuat permasalahan menjadi semakin ”runyam” bagi kedua belah pihak.
Seperti misalnya, seorang istri mengatakan kepada suaminya hal sebagai
berikut: ”Saya marah sekali melihat dirimu mengabaikan dan sama sekali
tidak memperhatikan anak lelakimu, saya merasa sepertinya anak kita tumbuh
kembang tanpa seorang ayah.”
Isu yang sebenarnya adalah:
”Saya merasa terabaikan dan saya sangat marah karena kamu tidak memberikan
perhatian cukup pada diri saya.” Atau seorang suami mengatakan kepada
istrinya yang mendapatkan pekerjaan baru sebagai berikut: ”Anak-anak
membutuhkan perhatianmu dan urusan rumah juga menjadi terbengkalai.” Isu
yang sebenarnya adalah: ”Saya cemas kalau pekerjaan barumu tersebut akan
mengubah dan memengaruhi iklim relasi di antara kita dan gairah kerjamu
terhadap tugas baru tersebut membuat dirimu tidak lagi peka akan
ketidakpuasanku terhadap pekerjaanku sendiri.” Kondisi segitiga bermasalah
tersebut membuat pasangan tersebut mendapat kesulitan untuk menentukan,
terhadap siapakah sebenarnya kemarahan mereka tujukan atau apakah yang
sebenarnya membuat mereka marah dan memicu pertengkaran.
Mengubah pasangan
Kembali pada kasus Siti dan Edo,
tampaknya Siti mengungkapkan seluruh energi kemarahannya untuk mengubah
pola pikir dan perasaan suaminya. Siti ingin Edo mengakui bahwa menu ayam
di restoran satu lebih enak daripada menu ikan di restoran lainnya. Pada
dasarnya, Siti menginginkan Edo punya selera makanan yang sama dengannya.
Pendek kata Siti yakin bahwa
sudut pandangnya tentang hal tertentu, bukan saja soal selera makan mereka,
dinilainya paling benar dan baik dan Siti berharap apa yang baik bagi
dirinya sebaiknya diikuti oleh suaminya. Siti yakin apabila Edo sebagai
suami memiliki pola pandang dan sikap yang sama dengannya, maka kisaran
dunia kehidupan perkawinan mereka juga akan menjadi lebih baik.
Namun, yang perlu disimak tanda
bahwa seseorang sudah matang kepribadiannya adalah ia mampu mengenali
validitas berbagai realitas dan mengenali perbedaan antardiri dan
pasangannya, baik dalam pola pikir, perasaan, ataupun cara-cara bereaksi
terhadap masalah yang mereka hadapi.
Sering kita berperilaku dengan
pola bahwa kedekatan kita dengan pasangan baru optimal apabila pasangan
menunjukkan kesamaan pola pikir, perasaan, dan cara-cara beraksi terhadap
permasalahan yang dihadapi. Pasangan perkawinan dan bahkan seluruh anggota
keluarga seyogianya berusaha memiliki satu ”realitas” yang menjadi
”realitas” seluruh anggota dari keluarga tersebut.
Sulit sekali rasanya untuk
menghindari keyakinan diri kita bahwa kita memiliki hak terhadap segala
yang kita pikirkan dan rasakan; dan berdasar keyakinan kita tersebut kita
berkeinginan mengubah pola pikir dan perasaan orang lain, bahkan pasangan
kita. Padahal, tugas utama orang dewasa adalah berlatih untuk memiliki
pikiran dan perasaan yang jelas bagi diri kita sendiri dan berperilaku
sesuai dengan apa yang kita pikir dan rasakan dengan menyertakan
nilai-nilai/keyakinan yang kita anut.
Kita sama sekali tidak punya
tugas untuk membuat orang lain memiliki pola pikir dan perasaan yang sama
dengan kita atau bahkan berperilaku analog dengan perilaku kita. Apabila
kita memaksakan kehendak, hasilnya akan menyakitkan pribadi kedua belah
pihak dan membuat peluang perpisahan menjadi lebih besar karena perubahan
sekecil apa pun tidak akan pernah terjadi.
Seterampil apa pun dan sejauh
mana pun kemarahan serta kekerasan sikap kita terhadap orang yang ingin
kita ubah, mereka tidak mungkin berubah sesuai dengan kehendak kita.
Ketahuilah bahwa kita baru dapat keluar dari pertengkaran yang tidak
efektif hanya apabila kita menghapus fantasi bahwa kita akan mampu mengubah
dan mengendalikan diri seseorang, apalagi pasangan hidup kita. Jadi yang
dapat kita lakukan adalah hanya memanfaatkan kekuatan energi yang
benar-benar milik kita sendiri untuk membuat diri kita mengambil aksi baru
yang berbeda dengan milik kita yang lalu.
Ubah diri
Pelajaran yang dapat kita raih
dari kasus Siti dan Edo tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, ungkapan kemarahan
sehebat apa pun tidak akan mengubah pola pikir dan perasaan orang lain.
Kemarahan yang sengit justru membuat pola pikir dan perasaan kita terdahulu
semakin kuat bertahan.
Kedua, satu-satunya orang yang
dapat kita ubah dan kendalikan adalah diri kita sendiri. Ketiga, mengubah
diri sesuai dengan harapan pasangan kita sering justru membuat diri kita
merasa terancam dan biasanya lebih mudah bagi kita melanjutkan pola lama
dengan sikap diam-diam menolak perubahan yang diinginkan pasangan kita atau
melakukan pertengkaran berlanjut yang tidak efektif.
Akhirnya, berlatih mengendalikan
luapan kemarahan menjadi inti kemungkinan penyesuaian pola pikir pasangan
kita dengan tetap mempertimbangkan dan menghargai kadar dan tingkat
perbedaan individual di antara pasangan perkawinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar