Minggu, 08 Desember 2013

Mandela dan Politik Anti-Diskriminasi

Mandela dan Politik Anti-Diskriminasi
Asrudin  ;   Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
SINAR HARAPAN,  07 Desember 2013

  

Kamis (5/12) tengah malam waktu setempat, mantan Presiden Afrika Selatan (Afsel) Nelson Mandela wafat pada usia 95 tahun (1918-2013). Mandela wafat setelah berjuang melawan kondisi kesehatannya yang terus memburuk. Ia menderita penyakit infeksi paru-paru yang menyebabkan komplikasi.
Wafatnya Mandela tidak hanya membuat rakyat Afsel kehilangan, tetapi dunia pun menangisinya. Masyarakat di seluruh dunia mengucapkan rasa belasungkawa atas kepergian Mandela, tak terkecuali pemimpin-pemimpin dunia.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, misalnya mengungkapkan rasa dukacita mendalam dan mengatakan bahwa Mandela merupakan sosok yang menginspirasi dunia internasional. Menurut Merkel, warisan yang ditinggalkan Mandela tidak akan mudah dilupakan siapa saja.

Hal yang sama juga diutarakan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Menurut Obama, Mandela adalah inspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia, termasuk dirinya. Obama bahkan menyebut Mandela sebagai “raksasa moral.”
Presiden Rusia, Vladimir Putin, pun mengenang Mandela sebagai sosok yang memiliki otoritas, baik di Afsel maupun dunia internasional berkat aktivitas politik dan perjuangan sepanjang hidup.

Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa juga menyampaikan rasa belasungkawa atas wafatnya Mandela. Sosok Mandela dinilainya sebagai seseorang yang sangat memegang prinsip.

Banyaknya ucapan belasungkawa ini menunjukkan Mandela adalah tokoh dunia yang berhasil meninggalkan kesan baik semasa hidupnya. Salah satu kesan baik yang paling menonjol adalah kegigihannya menentang dan melawan kebijakan Apartheid yang diberlakukan pemerintah kulit putih Afsel.

Capaian Mandela

Semua tentu sepakat capaian politik terbesar Mandela adalah membebaskan Afsel dari hukum Apartheid. Apartheid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan pemerintah kulit putih di Afsel.

Waktu hukum itu diberlakukan, Afsel dikuasai dua bangsa kulit putih, yaitu koloni Inggris di Cape Town dan Namibia, serta para Afrikaner boer (petani Afrikaner) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Afsel bagian timur atau biasa disebut dengan transvaal.

Sesungguhnya, rasisme di Afsel telah dilembagakan melalui Native Lands pada 1913. Native Lands membatasi kepemilikan tanah bagi warga kulit hitam hanya sebesar 7 persen dari total jumlah tanah yang tersedia di wilayah Afsel. Namun, Apartheid secara resmi baru diberlakukan di awal 1950-an oleh pemerintah Partai Nasional (PN) yang memegang kekuasaan di negara itu pada 1948.
Setelah PN berkuasa pada 1948 dan menerapkan kebijakan Apartheid, popularitas Mandela yang dengan tegas menolak kebijakan ini terus melejit melalui keaktifannya di Defiance Campaign Kongres Nasional Afrika (KNA) tahun 1952. Ia terpilih menjadi Presiden KNA Transvaal dan hadiran di Congress of the People pada 1955.

Sejak saat itu muncullah perlawanan terorganisasi dari aktivis-aktivis Afsel 
lainnya untuk menolak pemberlakuan hukum Apartheid. Aktivis-aktivis Black South Africa yang pernah membentuk KNA, menyusun dan menandatangani Freedom Charter pada 1955.; Mereka menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia yang universal dan penghentian ketidakadilan rasial.

Namun, pemerintah kulit putih menanggapi itu dengan menangkap 156 pemimpin dan pendukung KNA atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara (Ian Bremer, 2006). Tidak hanya itu, pemerintah kulit putih juga melakukan pembunuhan terhadap 69 warga kulit hitam di Sharpeville pada 21 Maret 1960. Mereka juga melakukan penyiksaan dan penahanan terhadap lawan-lawan politiknya tanpa melalui peradilan.

Pascaperistiwa Sharpeville, KNA melakukan perjuangan di bawah tanah dan membentuk sayap militer, Umkhonto we Sizwe (Spear of the Nation). Kelompok-kelompok radikal itu didirikan Nelson Mandela. Kelompok tersebut kemudian melakukan berbagai kampanye dan aksi-aksi sabotase, seperti pengeboman untuk melemahkan pemerintahan kulit putih.

Oleh karena itu, pada 1962 Mandela ditahan dengan tuduhan melakukan sabotase, bersekongkol untuk menggulingkan pemerintahan. Selain itu, Mandela dihukum penjara seumur hidup.

Setelah melakukan penahanan terhadap Mandela dan serangkaian pembunuhan terhadap demonstran, pemerintah kulit putih di Afsel mulai mendapat tekanan-tekanan luar biasa dari dunia internasional.

Pada 1962, sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Resolusi 1761, yang meminta semua negara anggota PBB memutuskan hubungan diplomatik dan hubungan perdagangan dengan Afsel sampai negara itu mengakhiri kebijakan Apartheidnya.

Pada 1964, Afsel juga dipaksa keluar dari International Labour Organization (ILO). Afsel juga diberhentikan dari keanggotaannya dalam SU PBB pada 1974. Pada 1977, Dewan Keamanan PBB secara bulat menerapkan Resolusi 418, yang mewajibkan embargo senjata ke negara itu (Bremer, 2006) dan sejumlah sanksi lainnya.

KNA dan kelompok-kelompok aktivis anti-Apartheid lainnya kemudian menjadikan sanksi-sanksi internasional itu sebagai senjata politik. Ini untuk menekan pemerintah kulit putih agar membebaskan Mandela dan menghapus larangan terhadap aktivitas politik partai-partai bentukan nonkulit putih.

Tekanan KNA itu ternyata cukup berhasil. Pada 1989, pemerintahan kulit putih yang dipimpin Presiden P W Botha mulai menyadari besarnya ongkos politik untuk melawan tekanan-tekanan tersebut. Botha pun tanpa diduga, melakukan pembicaraan rahasia dengan Mandela pada Juli 1989, yang kemudian disebut Mandela sebagai pertemuan yang hangat.  

Enam minggu kemudian, Botha turun dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan F W De Klerk karena menderita stroke. Melalui De Klerk inilah hukum Apartheid kemudian dihapuskan dan semua tahanan KNA dibebaskan tanpa syarat.

Setelah runtuhnya Tembok Berlin pada November 1989, De Klerk akhirnya melegalisasi KNA dan membebaskan Mandela. Dua tahun kemudian, pemerintahan kulit putih pun secara resmi dibubarkan dan komunitas internasional menyambut Afsel yang baru.

Atas kerja kerasnya menghentikan rezim Apartheid dan meletakkan dasar bagi demokrasi baru di Afsel, tahun 1993 Mandela dan De Klerk dianugerahi Nobel Perdamaian.

Pada tahun yang sama, UU baru Afsel yang mengakui persamaan hak warga kulit putih dan kulit hitam pun disahkan. Setahun kemudian, Afsel akhirnya melakukan pemilihan umum demokrastis pertamanya. Nelson Mandela terpilih menjadi presiden dan De Klerk dan Thabo dari KNA dipilih sebagai wakil-wakil presiden.

Belajar dari Mandela

Pencapaian Mandela dapat dimaknai tidak hanya sebagai pembebasan Afsel dari rezim Apartheid, tetapi juga sebagai warisan ide kepada dunia tentang pentingnya kebijakan negara yang tidak diskriminatif. Dalam hal ini, pemimpin-pemimpin Indonesia perlu belajar dari Mandela.

Sebagai negara yang katanya merupakan demokrasi terbesar ketiga dunia dan ber-Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia masih saja tercebur pada praktik diskriminatif. Pemerintahan SBY bahkan sering kali membiarkan praktik diskriminasi berlangsung.

Dalam kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah, misalnya, Indonesia dinilai gagal memberikan ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Celakanya, kekerasan itu menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari kelompok Ahmadiyah dan Syiah.

Beberapa hari lalu, politikus Partai Demokrat (PD) Ruhut Sitompul juga menunjukkan sikap politik yang rasis (diskriminatif) terhadap pengamat politik Boni Hargens. Ruhut menyebut Boni berkulit hitam dalam salah satu acara televisi nasional. Ia terjadi hanya karena tidak senang pihak Istana dikait-kaitkan dalam proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Untuk memaknai kepergian Mandela, kiranya perlu bagi para pemimpin dan elite-elite politik di negara ini merenungkan ucapan Mandela, “No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.” Bukankah ini sejalan dengan UU No 40/2008 mengenai Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar