Kamis (5/12) tengah malam waktu
setempat, mantan Presiden Afrika Selatan (Afsel) Nelson Mandela wafat pada
usia 95 tahun (1918-2013). Mandela wafat setelah berjuang melawan kondisi
kesehatannya yang terus memburuk. Ia menderita penyakit infeksi paru-paru
yang menyebabkan komplikasi.
Wafatnya
Mandela tidak hanya membuat rakyat Afsel kehilangan, tetapi dunia pun
menangisinya. Masyarakat di seluruh dunia mengucapkan rasa belasungkawa
atas kepergian Mandela, tak terkecuali pemimpin-pemimpin dunia.
Kanselir
Jerman, Angela Merkel, misalnya mengungkapkan rasa dukacita mendalam dan
mengatakan bahwa Mandela merupakan sosok yang menginspirasi dunia
internasional. Menurut Merkel, warisan yang ditinggalkan Mandela tidak
akan mudah dilupakan siapa saja.
Hal
yang sama juga diutarakan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama.
Menurut Obama, Mandela adalah inspirasi bagi jutaan orang di seluruh
dunia, termasuk dirinya. Obama bahkan menyebut Mandela sebagai “raksasa
moral.”
Presiden
Rusia, Vladimir Putin, pun mengenang Mandela sebagai sosok yang memiliki
otoritas, baik di Afsel maupun dunia internasional berkat aktivitas politik
dan perjuangan sepanjang hidup.
Indonesia
melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa juga menyampaikan rasa
belasungkawa atas wafatnya Mandela. Sosok Mandela dinilainya sebagai
seseorang yang sangat memegang prinsip.
Banyaknya
ucapan belasungkawa ini menunjukkan Mandela adalah tokoh dunia yang
berhasil meninggalkan kesan baik semasa hidupnya. Salah satu kesan baik
yang paling menonjol adalah kegigihannya menentang dan melawan kebijakan
Apartheid yang diberlakukan pemerintah kulit putih Afsel.
Capaian
Mandela
Semua
tentu sepakat capaian politik terbesar Mandela adalah membebaskan Afsel
dari hukum Apartheid. Apartheid adalah sistem
pemisahan ras yang diterapkan pemerintah kulit
putih di Afsel.
Waktu
hukum itu diberlakukan, Afsel dikuasai dua bangsa kulit putih, yaitu
koloni Inggris di Cape
Town dan Namibia, serta para Afrikaner boer (petani
Afrikaner) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Afsel bagian
timur atau biasa disebut dengan transvaal.
Sesungguhnya,
rasisme di Afsel telah dilembagakan melalui Native Lands pada 1913. Native
Lands membatasi kepemilikan tanah bagi warga kulit hitam hanya sebesar 7
persen dari total jumlah tanah yang tersedia di wilayah Afsel. Namun,
Apartheid secara resmi baru diberlakukan di awal 1950-an oleh pemerintah
Partai Nasional (PN) yang memegang kekuasaan di negara itu pada 1948.
Setelah PN
berkuasa pada 1948 dan menerapkan kebijakan Apartheid, popularitas Mandela
yang dengan tegas menolak kebijakan ini terus melejit melalui keaktifannya
di Defiance Campaign Kongres Nasional Afrika (KNA) tahun 1952. Ia
terpilih menjadi Presiden KNA Transvaal dan hadiran di Congress of the
People pada 1955.
Sejak
saat itu muncullah perlawanan terorganisasi dari aktivis-aktivis Afsel
lainnya untuk menolak pemberlakuan hukum Apartheid. Aktivis-aktivis Black
South Africa yang pernah membentuk KNA, menyusun dan menandatangani Freedom
Charter pada 1955.; Mereka menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia
yang universal dan penghentian ketidakadilan rasial.
Namun,
pemerintah kulit putih menanggapi itu dengan menangkap 156 pemimpin dan
pendukung KNA atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara (Ian Bremer,
2006). Tidak hanya itu, pemerintah kulit putih juga melakukan pembunuhan
terhadap 69 warga kulit hitam di Sharpeville pada 21 Maret 1960. Mereka
juga melakukan penyiksaan dan penahanan terhadap lawan-lawan politiknya
tanpa melalui peradilan.
Pascaperistiwa
Sharpeville, KNA melakukan perjuangan di bawah tanah dan membentuk sayap
militer, Umkhonto we Sizwe (Spear of the Nation). Kelompok-kelompok radikal
itu didirikan Nelson Mandela. Kelompok tersebut kemudian melakukan berbagai
kampanye dan aksi-aksi sabotase, seperti pengeboman untuk melemahkan
pemerintahan kulit putih.
Oleh
karena itu, pada 1962 Mandela ditahan dengan tuduhan melakukan sabotase,
bersekongkol untuk menggulingkan pemerintahan. Selain itu, Mandela dihukum
penjara seumur hidup.
Setelah
melakukan penahanan terhadap Mandela dan serangkaian pembunuhan terhadap
demonstran, pemerintah kulit putih di Afsel mulai mendapat tekanan-tekanan
luar biasa dari dunia internasional.
Pada
1962, sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Resolusi
1761, yang meminta semua negara anggota PBB memutuskan hubungan diplomatik
dan hubungan perdagangan dengan Afsel sampai negara itu mengakhiri
kebijakan Apartheidnya.
Pada
1964, Afsel juga dipaksa keluar dari International Labour Organization (ILO).
Afsel juga diberhentikan dari keanggotaannya dalam SU PBB pada 1974. Pada
1977, Dewan Keamanan PBB secara bulat menerapkan Resolusi 418, yang
mewajibkan embargo senjata ke negara itu (Bremer, 2006) dan sejumlah sanksi
lainnya.
KNA
dan kelompok-kelompok aktivis anti-Apartheid lainnya kemudian menjadikan
sanksi-sanksi internasional itu sebagai senjata politik. Ini untuk menekan
pemerintah kulit putih agar membebaskan Mandela dan menghapus larangan
terhadap aktivitas politik partai-partai bentukan nonkulit putih.
Tekanan
KNA itu ternyata cukup berhasil. Pada 1989, pemerintahan kulit putih yang
dipimpin Presiden P W Botha mulai menyadari besarnya ongkos politik untuk
melawan tekanan-tekanan tersebut. Botha pun tanpa diduga, melakukan
pembicaraan rahasia dengan Mandela pada Juli 1989, yang kemudian disebut
Mandela sebagai pertemuan yang hangat.
Enam
minggu kemudian, Botha turun dari jabatannya sebagai presiden dan
digantikan F W De Klerk karena menderita stroke. Melalui De Klerk
inilah hukum Apartheid kemudian dihapuskan dan semua tahanan KNA dibebaskan
tanpa syarat.
Setelah
runtuhnya Tembok Berlin pada November 1989, De Klerk akhirnya
melegalisasi KNA dan membebaskan Mandela. Dua tahun kemudian, pemerintahan
kulit putih pun secara resmi dibubarkan dan komunitas internasional
menyambut Afsel yang baru.
Atas
kerja kerasnya menghentikan rezim Apartheid dan meletakkan dasar bagi
demokrasi baru di Afsel, tahun 1993 Mandela dan De Klerk dianugerahi Nobel
Perdamaian.
Pada
tahun yang sama, UU baru Afsel yang mengakui persamaan hak warga kulit
putih dan kulit hitam pun disahkan. Setahun kemudian, Afsel akhirnya
melakukan pemilihan umum demokrastis pertamanya. Nelson Mandela terpilih
menjadi presiden dan De Klerk dan Thabo dari KNA dipilih sebagai
wakil-wakil presiden.
Belajar
dari Mandela
Pencapaian
Mandela dapat dimaknai tidak hanya sebagai pembebasan Afsel dari rezim
Apartheid, tetapi juga sebagai warisan ide kepada dunia tentang pentingnya
kebijakan negara yang tidak diskriminatif. Dalam hal ini, pemimpin-pemimpin
Indonesia perlu belajar dari Mandela.
Sebagai
negara yang katanya merupakan demokrasi terbesar ketiga dunia dan
ber-Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia masih saja tercebur pada praktik
diskriminatif. Pemerintahan SBY bahkan sering kali membiarkan praktik
diskriminasi berlangsung.
Dalam
kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah, misalnya, Indonesia dinilai
gagal memberikan ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Celakanya,
kekerasan itu menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari kelompok Ahmadiyah dan
Syiah.
Beberapa
hari lalu, politikus Partai Demokrat (PD) Ruhut Sitompul juga menunjukkan
sikap politik yang rasis (diskriminatif) terhadap pengamat politik Boni
Hargens. Ruhut menyebut Boni berkulit hitam dalam salah satu acara
televisi nasional. Ia terjadi hanya karena tidak senang pihak Istana
dikait-kaitkan dalam proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga di
Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Untuk
memaknai kepergian Mandela, kiranya perlu bagi para pemimpin dan
elite-elite politik di negara ini merenungkan ucapan Mandela, “No one is born hating another person
because of the colour of his skin, or his background, or his religion.
People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be
taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its
opposite.” Bukankah ini sejalan dengan UU No 40/2008 mengenai
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar