Senin, 23 Desember 2013

Salah, Kompetisi Usia Dini demi Mencari Bibit

Salah, Kompetisi Usia Dini demi Mencari Bibit
Yunas Santhani Azis  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  23 Desember 2013

  


OLAHRAGA adalah cara membentuk manusia yang benci akan jalan pintas, menghalalkan segala cara.

Prestasi olahraga adalah harga diri bangsa. Maka, ketika prestasi olahraga negeri ini merosot, banyak komponen masyarakat bergerak. Bersama sponsor yang umumnya perusahaan swasta, mereka menggelar kompetisi olahraga anak-anak.

Dalam berbagai wawancara, penyelenggara kompetisi olahraga anak-anak, seperti sepak bola dan bulu tangkis, menekankan sebuah tujuan. Mencari ”bibit unggul” olahraga.

Niat yang mulia. Sayang, penekanan pada penemuan ”bibit unggul” itu justru sangat mengurangi tujuan dari olahraga anak itu sendiri. Olahraga anak atau pendidikan jasmani punya fungsi yang jauh lebih strategis.

Salah satu arsitek mazhab ”pendidikan jasmani baru”, Clark Hetherington, dengan gamblang merumuskan lima tujuan yang bisa dicapai lewat olahraga usia dini. Empat di antaranya justru tak berkaitan langsung dengan kemampuan fisik saat dewasa.

Keempatnya adalah, pertama, olahraga anak-anak adalah wahana sempurna dalam menanamkan keterampilan demokrasi. Kedua, mengembangkan penyesuaian sosial. Ketiga, mengembangkan karakter. Keempat, bertujuan memperbaiki cara berpikir yang cepat dan sigap.

Oleh karena itu, olahraga anak-anak haruslah meliputi aktivitas sekaligus mengikuti tahap perkembangan psikomotorik, kognitif, dan afektif anak sesuai usia mereka.

Bermimpi menemukan sebanyak-banyaknya ”bibit unggul” lewat kompetisi tentu sah. Namun, James E Counsilman, profesor ilmu pendidikan di Indiana University Bloomington, Amerika Serikat, sekaligus pelatih renang, mengungkapkan, ada lebih dari setengah juta anak di AS ikut kompetisi renang kelompok umur setiap tahun. Dari jumlah itu, tak sampai 1 persen akan menjadi juara nasional atau mengisi tim hingga ke Olimpiade.

Dia menegaskan, tidak setiap anak akan menjadi olahragawan yang hebat, betapa pun keras pelatih atau orangtua mereka mendorong dan membina. Untuk itu, program latihan, juga kompetisi olahraga anak-anak, haruslah melayani kepentingan semua anak. Tak cuma kepentingan anak dengan bakat yang tinggi.

Kompetisi anak-anak haruslah menyenangkan dan bisa mengakomodasi kebutuhan seluruh kelompok. Pasalnya, pendidikan jasmani, latihan olahraga, dan kompetisi adalah rangkaian jalan menuju tujuan yang dirumuskan Hetherington.

Duplikasi orang dewasa

Lewat olahraga, nilai-nilai sosial diinternalisasi: nilai setia kawan, menghargai perbedaan, patuh pada peraturan (betapa pun menyakitkan), mengakui kekalahan dan kesalahan, mengejar keberhasilan (kemenangan) lewat proses (no pain, no gain), bukan dengan menghalalkan segala cara atau ”jalan pintas”, berpikir logis sekaligus peka terhadap sesama. Lewat olahraga pula anak dibentuk berdisiplin dalam mengatur waktu hidupnya dan pantang menyerah.

Paradigma yang mengutamakan pencarian ”bibit unggul” juga berpotensi mendorong orangtua dan sebagian pelatih membentuk anak menjadi juara dalam semusim kompetisi.

Jadilah apa yang ditakutkan oleh para akademisi ilmu olahraga yang kerap Kompas jumpai, olahraga anak menjadi duplikasi dari olahraga orang dewasa. Si anak atau kelompok anak ”dicekoki” oleh persoalan taktik dan strategi di saat anak dalam perkembangan usia mereka belum membutuhkan hal tersebut.

Anak memperoleh latihan beban dengan alat. Padahal, banyak akademisi percaya, sebelum 16 tahun, latihan beban terbaik adalah berlatih dengan bobot mereka sendiri (body weight training). Aspek psikomotorik digenjot, kognitif dan afektif terbengkalai. Sebelum usia 16 tahun, penekanan haruslah pada: anak tidak merasa terbebani dengan olahraga dan anak tetap merasa senang untuk terus berlatih.

Percayalah, gerakan masyarakat dalam menumbuhkan kompetisi olahraga anak sangat penting, mulia, sekaligus strategis, bukan cuma mencari ”bibit unggul” demi harga diri bangsa. Ini menghidupkan klub olahraga yang jadi katup pengaman ketika kurikulum sekolah kurang mengakomodasi pendidikan jasmani. Porsi pendidikan jasmani yang dua jam sepekan, ditambah ekstrakurikulernya tetap kurang.

Menurut Hetherington, anak perlu empat-lima jam aktivitas fisik per hari yang tak sekadar berjalan santai. Remaja perlu dua-tiga jam.

Counsilman membuktikan, anak yang aktif berolahraga memiliki nilai akademik yang baik jika orangtua mengelola waktu mereka dengan baik. Pelajaran sekolah akan terbengkalai jika si anak tetap dibiarkan mengisi waktu tersisa dengan bermain game atau menonton sinetron.

Olahraga anak sangat penting, karena dengan itu kita membentuk manusia Indonesia masa depan yang sportif, yang tidak suka mencari jalan pintas dalam mencukupi kebutuhan hidup pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar