Birokrasi
Kepenghuluan
Abu Rokhmad ; Dosen Hukum Islam IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 Desember 2013
PEMIDANAAN terhadap Romli,
Kepala KUA Kediri atas sangkaan menerima gratifikasi dari mempelai yang
dinikahkan, menjadi pemicu awal kisruh di tubuh aparat penghulu.
Penghulu
se-Jawa Timur bersikap, hanya mau menikahkan calon pengantin di kantor KUAdan
pada hari/jam kerja. Mereka menolak menikahkan di rumah. Akibatnya,
masyarakat resah karena tak terlayani oleh petugas KUA sebagaimana biasa.
Pernikahan merupakan peristiwa sakral dan karena itu layak menjadi problem
serius.
Bagi sebagian
besar masyarakat, perkawinan bukan sekadar momen administratif melainkan juga
magis dan religius. Ritual menjelang dan selama akad nikah menjadi kegiatan
spiritual yang tak terlupakan. Sebegitu bermaknanya, seluruh orang penting
dihadirkan untuk menyaksikan janji suci pernikahan, termasuk penghulu.
Ditunggui
penghulu saat ijab kabul berlangsung adalah harga mati bagi masyarakat.
Apabila tidak, itu bisa dicap pernikahan siri, praktik yang diharamkan oleh
hukum negara. Celakanya, tidak semua petugas KUA mau sekadar dilapori telah
berlangsung pernikahan antara Adan B, lalu dicatat dan diberikan surat nikah
bagi keduanya.
Administrasi
pernikahan dibuat begitu rumit. Saking rumitnya, kebanyakan keluarga mempelai
menyerahkan urusan administrasi tersebut kepada ’’biro jasa’’ pernikahan.
Mempelai, modin, pegawai pencatat nikah (PPN), dan penghulu menjadi mata
rantai persoalan yang kini menimpa jajaran penghulu.
Pertemuan
antara penghulu dan keluarga mempelai jadi awal persoalan. Dibuatlah
kesimpulan seolah-olah akad nikah wajib dihadiri penghulu. Situasi itu akan
menghadirkan hukum supply and demand. Ada proses tawarmenawar, apa yang
dibutuhkan oleh keluarga mempelai (demand) akan dipenuhi oleh penghulu
(supply) dengan syarat tertentu. Syarat itu berupa kelebihan biaya, baik
untuk transpor, layanan ijab kabul, tausiah, lembur dan sebagainya.
Meski penghulu
tak pernah minta, hampir keluarga mempelai sudah tahu berapa biaya yang
disediakan. Penyebaran informasi itu dari mulut ke mulut, terutama dari mitra
kerja utama penghulu, seperti pegawai pencatat nikah dan modin/lebe. Sejauh
ini, penghulu tidak mengelak menerima dana lebih tinggi dari tarif resmi
pemerintah.
Angin
reformasi birokrasi bertiup kencang. Semua aparat pemerintah, tak terkecuali
penghulu, dituntut bekerja profesional dan transparan. Masyarakat menuntut
penghulu bekerja keras melayani mereka, dengan biaya sesuai tarif pemerintah.
Hukum tak menoleransi PNS menerima dana tanpa payung hukum jelas. KPK sudah
memastikan apa yang diterima penghulu sebagai gratifikasi.
Pasal 12 B UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa tiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, bila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugas. Pengecualiannya, bila penerima melaporkan ke KPK (Pasal
12 C).
Cobaan yang
menimpa aparat penghulu di Kediri tersebut harus menjadi momentum yang tepat
untuk mereformasi birokrasi kepenghuluan. Mereka tidak bisa lagi bekerja
dengan payung hukum remang-remang. Jika tidak, tiap saat penghulu bisa
menjadi target aparat hukum. Sangat memalukan bila penghulu yang tugasnya
mulia itu (menikahkan) harus menghuni hotel prodeo.
Penyederhanaan Administrasi
Praktik yang
menjerat penghulu sudah lama terjadi. Pemerintah tahu tetapi membiarkan
pungutan itu terus berlangsung. Untuk memutus tradisi ’’amplop terima kasih’’
memang tidak mudah tetapi wajib dimulai sekarang. Beberapa usulan barangkali
patut dipertimbangkan. Pertama; penyederhanaan administrasi pernikahan.
Penghulu tak
dibenarkan menghadiri acara akad pernikahan. Gantinya, mempelai cukup
diwajibkan melaporkan perkawinannya ke PPN sesuai dengan syarat dan
ketentuan. Biaya nikah ditransfer via rekening Kemenag. Peran penghulu
seperti menikahkan, membimbing, dan memberi tausiyah dapat dilakukan oleh
tokoh agama setempat.
Dalam jangka
panjang, pemerintah perlu menerapkan sistem informasi pernikahan yang dapat
diaskses secara terbuka dan online. Dengan demikian, tak ada lagi pertemuan
antara penghulu dan keluarga mempelai. Penyederhanaan administrasi pernikahan
harus diikuti perubahan undang-undang.
Kedua;
sebenarnya menikah di kantor KUAdapat menjadi solusi murah, sebagaimana
usulan penghulu di Jawa Timur. Dengan demikian, Peraturan Menteri Agama (PMA)
Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, khususnya Pasal 21 Ayat 2 yang
mengizinkan pernikahan dilakukan di rumah, harus dicabut. Perlu mengedukasi
masyarakat bahwa kesakralan perkawinan bisa diciptakan sendiri, tanpa harus
dihadiri penghulu.
Tokoh agama
dan tokoh masyarakat yang tinggal di sekitarnya dapat lebih diperankan untuk
menambahkan kesucian peristiwa nikah. Budaya yang mengiringi perkawinan juga
masih bisa dihadirkan, meski tanpa kehadiran penghulu. Sejatinya, kehadiran
petugas pencatat nikah tidak akan menambah atau mengurangi makna perkawinan.
Mereka hanyalah pelaksana adminitrasi yang ditugaskan oleh negara.
Masyarakat dan
penghulu ikut mendukung keterciptaan birokrasi pernikahan yang bersih dari
pungli atau gratifikasi. Hidup bersih tanpa gratifikasi atau mati syahid,
seharusnya jadi spirit pengabdian penghulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar