Minggu, 22 Desember 2013

Birokrasi Kepenghuluan

Birokrasi Kepenghuluan
Abu Rokhmad  ;   Dosen Hukum Islam IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA,  21 Desember 2013

  


PEMIDANAAN terhadap Romli, Kepala KUA Kediri atas sangkaan menerima gratifikasi dari mempelai yang dinikahkan, menjadi pemicu awal kisruh di tubuh aparat penghulu.

Penghulu se-Jawa Timur bersikap, hanya mau menikahkan calon pengantin di kantor KUAdan pada hari/jam kerja. Mereka menolak menikahkan di rumah. Akibatnya, masyarakat resah karena tak terlayani oleh petugas KUA sebagaimana biasa. Pernikahan merupakan peristiwa sakral dan karena itu layak menjadi problem serius.

Bagi sebagian besar masyarakat, perkawinan bukan sekadar momen administratif melainkan juga magis dan religius. Ritual menjelang dan selama akad nikah menjadi kegiatan spiritual yang tak terlupakan. Sebegitu bermaknanya, seluruh orang penting dihadirkan untuk menyaksikan janji suci pernikahan, termasuk penghulu.

Ditunggui penghulu saat ijab kabul berlangsung adalah harga mati bagi masyarakat. Apabila tidak, itu bisa dicap pernikahan siri, praktik yang diharamkan oleh hukum negara. Celakanya, tidak semua petugas KUA mau sekadar dilapori telah berlangsung pernikahan antara Adan B, lalu dicatat dan diberikan surat nikah bagi keduanya.

Administrasi pernikahan dibuat begitu rumit. Saking rumitnya, kebanyakan keluarga mempelai menyerahkan urusan administrasi tersebut kepada ’’biro jasa’’ pernikahan. Mempelai, modin, pegawai pencatat nikah (PPN), dan penghulu menjadi mata rantai persoalan yang kini menimpa jajaran penghulu.

Pertemuan antara penghulu dan keluarga mempelai jadi awal persoalan. Dibuatlah kesimpulan seolah-olah akad nikah wajib dihadiri penghulu. Situasi itu akan menghadirkan hukum supply and demand. Ada proses tawarmenawar, apa yang dibutuhkan oleh keluarga mempelai (demand) akan dipenuhi oleh penghulu (supply) dengan syarat tertentu. Syarat itu berupa kelebihan biaya, baik untuk transpor, layanan ijab kabul, tausiah, lembur dan sebagainya.

Meski penghulu tak pernah minta, hampir keluarga mempelai sudah tahu berapa biaya yang disediakan. Penyebaran informasi itu dari mulut ke mulut, terutama dari mitra kerja utama penghulu, seperti pegawai pencatat nikah dan modin/lebe. Sejauh ini, penghulu tidak mengelak menerima dana lebih tinggi dari tarif resmi pemerintah.

Angin reformasi birokrasi bertiup kencang. Semua aparat pemerintah, tak terkecuali penghulu, dituntut bekerja profesional dan transparan. Masyarakat menuntut penghulu bekerja keras melayani mereka, dengan biaya sesuai tarif pemerintah. Hukum tak menoleransi PNS menerima dana tanpa payung hukum jelas. KPK sudah memastikan apa yang diterima penghulu sebagai gratifikasi.

Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa tiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, bila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Pengecualiannya, bila penerima melaporkan ke KPK (Pasal 12 C).

Cobaan yang menimpa aparat penghulu di Kediri tersebut harus menjadi momentum yang tepat untuk mereformasi birokrasi kepenghuluan. Mereka tidak bisa lagi bekerja dengan payung hukum remang-remang. Jika tidak, tiap saat penghulu bisa menjadi target aparat hukum. Sangat memalukan bila penghulu yang tugasnya mulia itu (menikahkan) harus menghuni hotel prodeo.

Penyederhanaan Administrasi

Praktik yang menjerat penghulu sudah lama terjadi. Pemerintah tahu tetapi membiarkan pungutan itu terus berlangsung. Untuk memutus tradisi ’’amplop terima kasih’’ memang tidak mudah tetapi wajib dimulai sekarang. Beberapa usulan barangkali patut dipertimbangkan. Pertama; penyederhanaan administrasi pernikahan.

Penghulu tak dibenarkan menghadiri acara akad pernikahan. Gantinya, mempelai cukup diwajibkan melaporkan perkawinannya ke PPN sesuai dengan syarat dan ketentuan. Biaya nikah ditransfer via rekening Kemenag. Peran penghulu seperti menikahkan, membimbing, dan memberi tausiyah dapat dilakukan oleh tokoh agama setempat.

Dalam jangka panjang, pemerintah perlu menerapkan sistem informasi pernikahan yang dapat diaskses secara terbuka dan online. Dengan demikian, tak ada lagi pertemuan antara penghulu dan keluarga mempelai. Penyederhanaan administrasi pernikahan harus diikuti perubahan undang-undang.

Kedua; sebenarnya menikah di kantor KUAdapat menjadi solusi murah, sebagaimana usulan penghulu di Jawa Timur. Dengan demikian, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, khususnya Pasal 21 Ayat 2 yang mengizinkan pernikahan dilakukan di rumah, harus dicabut. Perlu mengedukasi masyarakat bahwa kesakralan perkawinan bisa diciptakan sendiri, tanpa harus dihadiri penghulu.

Tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tinggal di sekitarnya dapat lebih diperankan untuk menambahkan kesucian peristiwa nikah. Budaya yang mengiringi perkawinan juga masih bisa dihadirkan, meski tanpa kehadiran penghulu. Sejatinya, kehadiran petugas pencatat nikah tidak akan menambah atau mengurangi makna perkawinan. Mereka hanyalah pelaksana adminitrasi yang ditugaskan oleh negara.

Masyarakat dan penghulu ikut mendukung keterciptaan birokrasi pernikahan yang bersih dari pungli atau gratifikasi. Hidup bersih tanpa gratifikasi atau mati syahid, seharusnya jadi spirit pengabdian penghulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar