Musim Berkaca,
Musim Berbenah
Mahdi Muhammad ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2013
SEMUA turnamen yang menjadi
acuan pengurus baru Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia telah dilewati.
Ada yang oke, sebaliknya ada yang tak memuaskan. Terjadi perubahan. Namun,
ini baru langkah kecil. Jalan panjang dan berliku masih harus dilewati.
Kekecewaan mendalam ketika bulu
tangkis tak menghadirkan emas di Olimpiade London 2012, yang telah menjadi
tradisi hampir dua dekade, menjadi cermin betapa ringkihnya kekuatan bulu
tangkis Indonesia dewasa ini. Dulu, Indonesia dikenal sebagai salah satu raja
dan ratu bulu tangkis dunia. Kini, hal itu sudah luntur.
Manajemen baru Pengurus Pusat
Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) tak mencoret seluruh
pasukan yang diturunkan di Olimpiade. Bahkan, alih-alih dipulangkan ke klub,
mereka diganjar kontrak individual, salah satu hal yang diperjuangkan para
pendahulu mereka sejak tahun 1990-an. Kontrak individual memungkinkan para
penghuni Pusat Bulu Tangkis Indonesia—pemusatan latihan nasional milik PP
PBSI di Cipayung, Jakarta Timur—mendapat penghasilan memadai. Mereka tak
perlu pusing-pusing memikirkan kantong mereka. Tuntutannya hanya satu:
prestasi dan prestasi!
Berbeda dengan para pebulu tangkis
profesional yang mandiri, para pebulu tangkis Cipayung tak perlu
pusing-pusing memikirkan soal perut, tempat latihan, dokter, masseur atau
pemijat, hingga hal yang remeh-temeh. Ketika hendak berlaga, semua sudah
tersedia. Sekali lagi, hal yang dituntut dari mereka adalah: prestasi,
prestasi, dan prestasi!
Sentuhan sempat terbukti ampuh.
Tiga ganda campuran melaju ke semifinal All England, turnamen bulu tangkis
tertua. Tunggal putri membuat kejutan meski hanya sesaat.
Lihat saja hasil ratusan turnamen
sepanjang tahun ini. Pada turnamen kasta tertinggi, super series dan super
series premier, Indonesia hanya mendominasi di ganda putra dan ganda
campuran. Itu pun hanya bertumpu pada pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan
dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Selebihnya, pemain China masih
mendominasi. Bukan hanya para senior, melainkan juga di yunior, para pebulu tangkis
”Negeri Tirai Bambu” itu telah menunjukkan superioritasnya.
Keberhasilan Liliyana/Tontowi
mempertahankan gelar juara All England dan meraih gelar Juara Dunia 2013
patut diapresiasi. Begitu juga dengan penampilan impresif Hendra/Ahsan, yang
meroket sekaligus meraih gelar prestisius, yaitu Juara Dunia Ganda Putra dan
juara Final Super Series 2013. Keduanya memuaskan dahaga gelar pencinta bulu
tangkis Indonesia.
Bolong fisik dan mental
Hasil penelitian tim pelatih dan
Bidang Pengembangan PP PBSI yang menyebutkan kualitas fisik pebulu tangkis
nasional berada di garis merah alias tak layak tentu saja mengejutkan. Dengan
banyaknya turnamen yang harus dijalani setiap bulan sepanjang tahun, mulai
dari grand prix gold, super series, premier super series,
hingga kejuaraan dunia, menjadi pertanyaan tentang cara para pebulu tangkis
kita menjaga kebugaran.
Sistem rally point yang
dimainkan memang membuat perpindahan bola dan perolehan angka menjadi lebih
cepat. Namun, jika menemukan lawan yang sepadan, tentu saja permainan bisa
berlangsung melalui rubber-game dan bisa memakan waktu lebih dari
satu jam. Kondisi seperti ini menuntut fokus dan kecermatan yang tinggi.
Fisik yang prima menjadi penunjang utama untuk melengkapi kemampuan teknik
yang telah dimiliki.
Bukan hanya fisik, tak semua
pebulu tangkis memiliki mental yang tangguh. Apalagi jika bertemu para pemain
asal negeri raksasa, seperti China. Konsentrasi sudah buyar ketika melangkah
memasuki lapangan pertandingan. Rexy Mainaky, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi
PP PBSI, yang memikul tanggung jawab besar mengembalikan kejayaan olahraga tepok
wulu ini pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
Apabila bertanding dalam kejuaraan
beregu, seperti yang terjadi saat Indonesia memberi perlawanan terhadap tim
China di perempat final Piala Sudirman 2013, ketika semua saling melengkapi,
mungkin tak menjadi masalah. Namun, ketika dihadapkan pada turnamen
perseorangan, tentu saja dua hal ini menjadi batu sandungan yang harus segera
diperbaiki.
Bakat baru
Jam terbang tinggi dengan mengikuti
serangkaian turnamen akan menjadi sia-sia jika kondisi fisik pas-pasan.
Kemauan para pebulu tangkis untuk menempa diri sendiri, sisi fisik dan
mental, menjadi nilai tambah yang berguna bagi diri mereka sendiri. Bukan
untuk orang lain. Penambahan jumlah pelatih fisik, fisioterapi hinggamasseur akan
sia-sia jika dorongan dari diri sendiri tak muncul.
Harus diakui, bulu tangkis
Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara kuat dalam hal proses
regenerasinya. China, Korea Selatan, Jepang, hingga Denmark dan Inggris telah
memiliki pebulu tangkis muda yang siap mentas ke level dunia.
Permainan cantik nan memikat yang
disertai fisik yang prima membuat munculnya Ratchanok Intanon (Thailand)
sebagai Juara Dunia Tunggal Putri 2013 yang baru berusia 18 tahun menyentak
kesadaran semua orang. Di belakang Ratchanok, Thailand masih memiliki deretan
pemain muda. Belum lagi nama-nama Saina Nehwal dan PV Sindhu (India), serta
Carolina Marin (Spanyol) membuktikan pesaing Indonesia kini tak hanya berasal
dari negara tradisional bulu tangkis. Target mereka adalah berbicara di level
multiajang tertinggi dunia: Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Redupnya bulu tangkis sebagai
olahraga masyarakat, yang juga didorong redupnya prestasi pebulu tangkis
Merah Putih, berkontribusi terhadap minimnya minat anak-anak Indonesia untuk
memainkan olahraga ini. Ketidakmampuan manajemen induk olahraga di daerah
untuk membantu pencarian bakat pun memiliki peran. Kesenjangan kemampuan dan
prestasi pemain senior dan yunior pun menjulang.
Program Angkat Raketmu yang baru
dimulai beberapa bulan lalu, dan masuknya olahraga ini sebagai bagian dari
kurikulum sekolah dasar hingga sekolah menengah atas mulai tahun 2014, serta
pelatihan dan pengenalan kembali bulu tangkis kepada guru-guru olahraga
menjadi langkah pertama dari rencana besar manajemen baru PBSI untuk mencari
pebulu tangkis berbakat dari pelosok Tanah Air. Sebuah rencana yang mungkin
terlupakan oleh manajemen-manajemen lama PBSI.
Pencarian bakat tanpa sistem
kompetisi yang baik pun akan sia-sia. Satu atau dua pemain yang menguasai
puncak sistem kompetisi nasional membuktikan bahwa sistem pembinaan di level
terbawah belum berhasil.
Hasilnya mungkin tak akan
dinikmati dalam waktu dekat. Namun, ini adalah langkah kecil yang mengawali
pembenahan dalam diri bulu tangkis Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar