Senin, 16 Desember 2013

Saatnya Menata Ruang Laut Kita

Saatnya Menata Ruang Laut Kita
Subandono Diposaptono  ;   Direktur Tata Ruang Laut,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan
MEDIA INDONESIA,  14 Desember 2013
  


HARI Nusantara yang dirayakan setiap 13 Desember diharapkan menjadi momentum berharga untuk melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa. Sebagai generasi penerus, kita wajib mengisi perjuangan Perdana Menteri RI periode 1957-1959 Djuanda demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Dari Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 itulah laut teritorial Indonesia bertambah sangat luas. Kalau sebelumnya lebar laut teritorial hanya sebatas 3 mil dari garis pangkal kepulauan, kini telah bertambah menjadi 12 mil.

Sayangnya, wilayah perairan laut kita yang sangat luas itu belum tertata dengan baik. Di media massa, kita kerap mendengar dan menyaksikan konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan ruang laut. Sebut saja antara nelayan tradisional dan nelayan modern, pelaku industri dan pelaku budi daya ikan atau nelayan, pengembang reklamasi dan nelayan, pelaku konservasi dan industri, penambang dan pelaku konservasi, penambang dan pelaku pariwisata, serta nelayan dan penambang. Mereka saling berebut ruang di perairan laut yang memang belum diatur peruntukan pemanfaatan ruangnya. Konflik semacam ini menunjukkan kita masih abai dalam menata ruang laut. Ke depan hal ini tidak bisa dibiarkan. Kini, saatnya bangkit untuk membenahi tata ruang laut.

Belajar ke China

`Tuntutlah ilmu hingga ke China' tampaknya dapat menjadi inspirasi untuk menata ruang laut kita. Saat penulis mengikuti pelatihan bertajuk tata ruang laut di Xiamen, China, September lalu, Prof Zhou Qiulin dari Third Institute of Oceanography China berbagi informasi menarik.

Ia menjelaskan, China telah menyelesaikan seluruh tata ruang laut (marine functional zoning) baik tingkat nasional, provinsi, maupun country (setingkat kabupaten/kota) pada 2002 dan ditinjau kembali pada 2011. Masa berlaku tata ruang laut di China adalah 10 tahun.

Terbitnya tata ruang laut tersebut menuai banyak manfaat, baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dari sisi lingkungan, pencemaran laut dapat berkurang. Pasalnya, antara kawasan industri, wisata, pelabuhan, dan budi daya perikanan ditata sedemikian rupa sehingga alokasi ruang yang diperuntukkan tidak saling menimbulkan dampak negatif antara satu kegiatan yang satu dan kegiatan lainnya.

Minimnya pencemaran juga membuat populasi ikan dan biota laut lainnya stabil. Nelayan tradisional dan modern dapat menangkap ikan secara efektif. Manfaat lainnya, tata ruang laut dapat merasionalisasi luasan reklamasi di perairan laut wilayah pesisir agar sesuai dengan daya dukung lingkungan sehingga memberikan manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Dari sisi pendapatan, pemerintah pusat dan daerah di China juga ketiban rezeki.
Pada 2012 China memperoleh pendapatan atas lisensi perairan laut (sea use fee) sebesar 9,68 miliar yuan. Dari jumlah itu, sebanyak 2,97 miliar yuan masuk ke kas pusat dan 6,71 miliar yuan untuk kas daerah.

Target lain dari tata ruang laut adalah adanya kepastian ruang di pesisir untuk merestorasi pantai sepanjang 2.000 km pada 2020. Melalui tata ruang tersebut, China juga berambisi untuk membuat kawasan budi daya laut minimal seluas 2,6 juta hektare (ha).

Selain itu, tata ruang laut juga memberikan kepastian hukum dalam meningkatkan kawasan konservasi. Melalui tata ruang lautnya, China menargetkan kawasan konservasi sebesar 5% di perairan laut yurisdiksi dan 11% di perairan teritorialnya hingga 2020.

Conference of Biodiversity (CBD) di Aichi, Jepang 2010, menargetkan setiap negara wajib memiliki kawasan konservasi laut 10% dari luas total perairan teritorialnya sampai 2020. Sebagai gambaran, Indonesia menargetkan kawasan konservasi lautnya seluas sekitar 6% hingga 2020. Itu pun belum ada kepastian hukum terhadap lokasi tersebut yang ditetapkan melalui tata ruang laut.

Di Indonesia, payung hukum tata ruang laut sebenarnya telah diatur berdasarkan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terbit pada 2007. Ruang lingkupnya meliputi ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai (ukuran ini merupakan cakupan wilayah pesisir). UU tersebut mengamanatkan pemerintah daerah wajib menetapkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RZWP3K) dalam bentuk peraturan daerah.

Merujuk UU tersebut, rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. RZWP3K memuat struktur ruang dan pola ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam jangka waktu 20 tahun.

Meski demikian, berdasarkan pemantauan penulis sampai saat ini pemerintah daerah belum memahami bahwa RZWP3K sejatinya adalah instrumen penataan ruang di perairan laut wilayah pesisir. Fakta menunjukkan, sampai sejauh ini baru 2 provinsi dan 9 kabupaten/kota yang telah menetapkan Perda RZWP3K sejak lahirnya UU No 27/2007.

Padahal, RZWP3K dapat berfungsi untuk memberikan kepastian hu kum terhadap alokasi ruang di perairan laut dan dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi perizinan kegiatan di perairan laut.

Fungsi lainnya, RZWP3K ini juga sekaligus menjadi rujukan apabila terjadi konflik pemanfaatan ruang di laut. Dengan demikian, investor dan masyarakat tak ragu berusaha di perairan laut.

Langkah strategis

Ada beberapa langkah strategis untuk mendorong penyusunan RZWP3K. Sosialisasi tentang pentingnya RZWP3K sebagai instrumen penataan ruang di perairan laut wilayah pesisir harus dimasifkan baik di kalangan eksekutif maupun legislatif. Mereka juga perlu memiliki kesamaan pandang dan pola pikir agar bisa seiring-sejalan melahirkan Perda RZWP3K.

Selain itu, kompetensi birokrat (pusat dan daerah) dalam menyusun RZWP3K perlu ditingkatkan. Para perencana wilayah yang selama ini lebih terfokus pada tata ruang darat juga perlu menoleh ke laut yang luasnya 2/3 dari total wilayah RI.

Melalui berbagai langkah strategis tersebut, niscaya tak ada lagi konflik di perairan laut wilayah pesisir di masa depan. Justru sebaliknya, kehidupan sosial lebih nyaman dan tenteram. Investor dan masyarakat merasa aman berusaha. Roda ekonomi juga berputar lebih bergairah. Lingkungan pun terjaga kelestariannya seperti yang dilakukan China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar