Senin, 16 Desember 2013

Kearifan Lokal dalam Diversifikasi Pangan

Kearifan Lokal dalam Diversifikasi Pangan
Ali Khomsan  ;   Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor
MEDIA INDONESIA,  14 Desember 2013

  

TEKANAN terhadap beras saat ini terjadi karena kita bangsa pemakan nasi no mor satu di dunia. Rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi beras kurang lebih 130 kg per tahun. Bahkan di saat kemiskinan merebak di mana-mana, pemerintah mengeluarkan kebijakan raskin (beras untuk orang miskin), yang dapat dibeli dengan harga hanya di bawah Rp2.000 per kg. Hal itu semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses beras dan kurang bersinambung dengan upaya-upaya peningkatan diversifikasi pangan.

Pulau Jawa dengan tingkat kesuburan lahan yang baik seharusnya tetap dipertahankan sebagai basis produksi pangan. Laju pemanfaatan lahan untuk industri harus direm dan diarahkan ke luar Jawa. Memindahkan pusat industri dari Jawa ke luar Jawa juga akan mengurangi laju migrasi penduduk. Perekenomian daerah-daerah luar Jawa akan lebih maju bila mesin-mesin industri bergerak di sana.

Beras merupakan komoditas yang memperoleh perhatian besar dari Kementerian Pertanian. Pembudidayaan beberapa komoditas pangan lain saat ini memang seperti kurang diperhatikan. Sudah saatnya kita kembali memerhatikan panganpangan potensial seperti umbiumbian atau biji-bijian yang dapat menjadi substitusi beras.

Kegagalan diversifikasi pangan selama ini disebabkan beras mempunyai citra superior ketimbang pangan sumber karbohidrat lainnya. Dengan memerhatikan sumber daya lokal, sesungguhnya ada peluang untuk mengurangi konsumsi beras bagi bangsa ini.

Sejak 1974 telah dikeluarkan inpres tentang pentingnya penganekaragaman pangan. Kemudian disusul oleh program diversifikasi pangan dan gizi yang dicanangkan Kementerian Pertanian pada awal 1990-an, dan sekitar 1996 Kementerian Kesehatan meluncurkan Pedoman Umum Gizi Seimbang dengan pesan gizi nomor 1, makanlah aneka ragam makanan.

Masyarakat Kampung Cireundeu Cimahi, Jawa Barat, dengan tanpa memerhatikan segala macam imbauan tentang diversifikasi pangan, ternyata telah menerapkan pola pangan nonberas sejak 1924. Bermula dari semangat an tipenjajahan dan akses beras yang sulit di masa itu, pemuka-pemuka masyarakat Cireundeu mendeklarasikan diri sebagai pemakan rasi (beras singkong).

Rasi terbuat dari singkong beracun (karena mengandung HCN) yang tidak memiliki nilai ekonomi. Dengan melalui proses pemarutan, pemerasan, penggilingan, dan penjemuran, dari singkong beracun dihasilkan semacam tepung singkong kasar berbentuk granula yang disebut rasi. Pemakan rasi merasakan bahwa perut mereka lebih tahan lapar.

Umumnya masyarakat Cireundeu hanya makan dua kali sehari. Mereka juga menyatakan bahwa anggota masyarakat nya jarang terkena penyakit modern seperti diabetes dan penyakit jantung.

Jadi kebijakan

Para peneliti, pemerhati pangan dan gizi, serta instansi pemerintah kini semakin tertarik tentang fenomena rasi jika ditinjau dari berbagai aspek.
Tim peneliti UPI-IPB kini tengah mengkaji aspek sosial-budaya gizi masyarakat pengonsumsi rasi itu. Penghargaan dari Kementerian Pertanian untuk masyarakat Cireundeu menjadi bukti nyata tentang kearifan lokal yang sebenarnya bisa diangkat menjadi kebijakan nasional terkait dengan implementasi diversifikasi pangan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kita selama ini teperdaya oleh sosialisasi semu tentang pengga lakan pangan nonberas. Kita merasa puas ketika pada peringatan Hari Kemerdekaan diadakan lomba tumpeng nonberas, pada hari pangan banyak digelar seminar tentang upaya-upaya meraih diversifikasi pangan.

Masyarakat Cireundeu tidak memperhatikan aneka lomba maupun seminar. Mereka langsung menerapkan diversifikasi konsumsi pangan dalam kehidupan seharihari. Kalau toh lima tahun terakhir ini mereka mendapatkan berbagai penghargaan, sesungguhnya bukan penghargaan itu yang ingin mereka banggakan.

Penghuni Kampung Cireundeu adalah masyarakat adat dengan segala aturan dan keyakinan yang mereka pegang teguh sejak awal 1900-an. Mereka bukan antikemodernan karena televisi, telepon seluler, dan sekolah telah akrab di kalangan masyarakat adat ini.

Masyarakat Cireundeu memiliki sifat toleransi yang tinggi, bahkan kalau ada anggota masyarakatnya yang ingin beralih ke beras sebagai makanan pokok, anggota masyarakat yang lain tidaklah akan melarangnya.

Masyarakat Cireundeu punya pandangan unik tentang rasi versus beras. Pemakan rasi umumnya sudah merasa kenyang dengan segenggam rasi, sednagkan pemakan beras harus makan nasi dengan kuantitas yang lebih banyak. Rasi mendatangkan rasa kanaah atau cukup, sedangkan beras membangkitkan segala macam keinginan. Hidup sederhana dan penuh dengan suasana gotong royong sungguh pas bagi masyarakat Cireundeu yang telah membiasakan makan rasi sejak 90 tahun lalu.

Diversifikasi pangan ke arah nonberas kurang memiliki makna apabila pangan umbi-umbian dan serealia lain (jagung, terigu) hanya sekadar dijadikan snack. Dewasa ini aneka ragam snack nonberas mudah ditemui di pasaran, tapi konsumsi beras rata-rata nasional tetap tinggi. Upaya mengurangi konsumsi beras seperti yang dilakukan masyarakat Cireundeu harus bisa dijadikan model penerapan diversifikasi konsumsi pangan.

Semangat untuk berdiversifikasi perlu juga dilandasi rekayasa teknologi. Besarnya kehilangan pascapanen untuk berbagai komoditas pertanian menunjukkan bahwa kita belum menguasai teknologi secara baik. Bila ketersediaan berbagai komoditas pangan memadai, harga akan stabil dan terjangkau oleh masyarakat. Itu berarti masyarakat punya akses yang baik untuk beragam produk pangan sehingga ketergantungan pada beras sebagai sumber energi dan protein akan berkurang.

Diversifikasi pangan kini menjadi momentum yang tepat untuk dibicarakan karena produksi pangan kita, khususnya beras, ternyata tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tahun lalu kita telah mendeklarasikan sebagai negara yang telah berswasembada beras. Namun, kini wacana impor beras telah dihidupkan kembali dan semakin nyaring terdengar di telinga.

Diversifikasi pangan seyogianya tidak hanya diterjemahkan sebagai mengganti pangan pokok. Upaya mengurangi konsumsi beras (serealia) harus diikuti dengan peningkatan konsumsi berbagai kelompok pangan lainnya seperti pangan hewani dan kacang-kacangan, dengan tetap memerhatikan aspek keseimbangan.

Konsumsi pangan hewani dan gula di berbagai negara maju jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara berkembang. Karena saking tingginya, malah mengakibatkan munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes, dan hipertensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar