TEKANAN terhadap beras saat ini terjadi
karena kita bangsa pemakan nasi no mor satu di dunia. Rata-rata penduduk
Indonesia mengonsumsi beras kurang lebih 130 kg per tahun. Bahkan di saat
kemiskinan merebak di mana-mana, pemerintah mengeluarkan kebijakan raskin
(beras untuk orang miskin), yang dapat dibeli dengan harga hanya di bawah
Rp2.000 per kg. Hal itu semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses beras
dan kurang bersinambung dengan upaya-upaya peningkatan diversifikasi
pangan.
Pulau Jawa dengan tingkat kesuburan lahan
yang baik seharusnya tetap dipertahankan sebagai basis produksi pangan.
Laju pemanfaatan lahan untuk industri harus direm dan diarahkan ke luar
Jawa. Memindahkan pusat industri dari Jawa ke luar Jawa juga akan
mengurangi laju migrasi penduduk. Perekenomian daerah-daerah luar Jawa akan
lebih maju bila mesin-mesin industri bergerak di sana.
Beras merupakan komoditas yang memperoleh
perhatian besar dari Kementerian Pertanian. Pembudidayaan beberapa
komoditas pangan lain saat ini memang seperti kurang diperhatikan. Sudah
saatnya kita kembali memerhatikan panganpangan potensial seperti umbiumbian
atau biji-bijian yang dapat menjadi substitusi beras.
Kegagalan diversifikasi pangan selama ini
disebabkan beras mempunyai citra superior ketimbang pangan sumber
karbohidrat lainnya. Dengan memerhatikan sumber daya lokal, sesungguhnya
ada peluang untuk mengurangi konsumsi beras bagi bangsa ini.
Sejak 1974 telah dikeluarkan inpres tentang
pentingnya penganekaragaman pangan. Kemudian disusul oleh program
diversifikasi pangan dan gizi yang dicanangkan Kementerian Pertanian pada
awal 1990-an, dan sekitar 1996 Kementerian Kesehatan meluncurkan Pedoman
Umum Gizi Seimbang dengan pesan gizi nomor 1, makanlah aneka ragam makanan.
Masyarakat Kampung Cireundeu Cimahi, Jawa
Barat, dengan tanpa memerhatikan segala macam imbauan tentang diversifikasi
pangan, ternyata telah menerapkan pola pangan nonberas sejak 1924. Bermula
dari semangat an tipenjajahan dan akses beras yang sulit di masa itu,
pemuka-pemuka masyarakat Cireundeu mendeklarasikan diri sebagai pemakan
rasi (beras singkong).
Rasi terbuat dari singkong beracun (karena
mengandung HCN) yang tidak memiliki nilai ekonomi. Dengan melalui proses
pemarutan, pemerasan, penggilingan, dan penjemuran, dari singkong beracun
dihasilkan semacam tepung singkong kasar berbentuk granula yang disebut
rasi. Pemakan rasi merasakan bahwa perut mereka lebih tahan lapar.
Umumnya masyarakat Cireundeu hanya makan dua
kali sehari. Mereka juga menyatakan bahwa anggota masyarakat nya jarang
terkena penyakit modern seperti diabetes dan penyakit jantung.
Jadi kebijakan
Para peneliti, pemerhati pangan dan gizi, serta
instansi pemerintah kini semakin tertarik tentang fenomena rasi jika
ditinjau dari berbagai aspek.
Tim peneliti UPI-IPB kini tengah mengkaji aspek sosial-budaya gizi
masyarakat pengonsumsi rasi itu. Penghargaan dari Kementerian Pertanian
untuk masyarakat Cireundeu menjadi bukti nyata tentang kearifan lokal yang
sebenarnya bisa diangkat menjadi kebijakan nasional terkait dengan
implementasi diversifikasi pangan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kita selama
ini teperdaya oleh sosialisasi semu tentang pengga lakan pangan nonberas.
Kita merasa puas ketika pada peringatan Hari Kemerdekaan diadakan lomba
tumpeng nonberas, pada hari pangan banyak digelar seminar tentang
upaya-upaya meraih diversifikasi pangan.
Masyarakat Cireundeu tidak memperhatikan
aneka lomba maupun seminar. Mereka langsung menerapkan diversifikasi
konsumsi pangan dalam kehidupan seharihari. Kalau toh lima tahun terakhir
ini mereka mendapatkan berbagai penghargaan, sesungguhnya bukan penghargaan
itu yang ingin mereka banggakan.
Penghuni Kampung Cireundeu adalah masyarakat
adat dengan segala aturan dan keyakinan yang mereka pegang teguh sejak awal
1900-an. Mereka bukan antikemodernan karena televisi, telepon seluler, dan
sekolah telah akrab di kalangan masyarakat adat ini.
Masyarakat Cireundeu memiliki sifat
toleransi yang tinggi, bahkan kalau ada anggota masyarakatnya yang ingin
beralih ke beras sebagai makanan pokok, anggota masyarakat yang lain
tidaklah akan melarangnya.
Masyarakat Cireundeu punya pandangan unik
tentang rasi versus beras. Pemakan rasi umumnya sudah merasa kenyang dengan
segenggam rasi, sednagkan pemakan beras harus makan nasi dengan kuantitas
yang lebih banyak. Rasi mendatangkan rasa kanaah atau cukup, sedangkan beras membangkitkan segala macam
keinginan. Hidup sederhana dan penuh dengan suasana gotong royong sungguh
pas bagi masyarakat Cireundeu yang telah membiasakan makan rasi sejak 90
tahun lalu.
Diversifikasi pangan ke arah nonberas kurang
memiliki makna apabila pangan umbi-umbian dan serealia lain (jagung,
terigu) hanya sekadar dijadikan snack. Dewasa ini aneka ragam snack
nonberas mudah ditemui di pasaran, tapi konsumsi beras rata-rata nasional
tetap tinggi. Upaya mengurangi konsumsi beras seperti yang dilakukan
masyarakat Cireundeu harus bisa dijadikan model penerapan diversifikasi
konsumsi pangan.
Semangat untuk berdiversifikasi perlu juga
dilandasi rekayasa teknologi. Besarnya kehilangan pascapanen untuk berbagai
komoditas pertanian menunjukkan bahwa kita belum menguasai teknologi secara
baik. Bila ketersediaan berbagai komoditas pangan memadai, harga akan
stabil dan terjangkau oleh masyarakat. Itu berarti masyarakat punya akses
yang baik untuk beragam produk pangan sehingga ketergantungan pada beras
sebagai sumber energi dan protein akan berkurang.
Diversifikasi pangan kini menjadi momentum
yang tepat untuk dibicarakan karena produksi pangan kita, khususnya beras,
ternyata tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tahun lalu kita
telah mendeklarasikan sebagai negara yang telah berswasembada beras. Namun,
kini wacana impor beras telah dihidupkan kembali dan semakin nyaring
terdengar di telinga.
Diversifikasi pangan seyogianya tidak hanya
diterjemahkan sebagai mengganti pangan pokok. Upaya mengurangi konsumsi
beras (serealia) harus diikuti dengan peningkatan konsumsi berbagai
kelompok pangan lainnya seperti pangan hewani dan kacang-kacangan, dengan
tetap memerhatikan aspek keseimbangan.
Konsumsi pangan hewani dan gula di berbagai
negara maju jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara berkembang.
Karena saking tingginya, malah mengakibatkan munculnya berbagai penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes, dan hipertensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar