Perselingkuhan bukan cuma
menyangkut cinta dan seks dalam hubungan personal orang per orang. Bisa
jadi tidak ada hubungannya dengan cinta dan seks, dan sangat mungkin
menyangkut urusan keselamatan orang banyak.
Kita melanggar aturan yang
jelas-jelas diberlakukan untuk keselamatan bersama, ketika sengaja mengebut
dan menyalip dari kiri, menembus lampu merah, atau memaksa menerobos palang
pintu yang sudah diturunkan saat kereta api melaju cepat.
Melanggar peraturan berarti
berselingkuh atau tidak setia terhadap peraturan. Bisa jadi karena kita
lupa atau tidak peduli tentang tujuan positif dari pemberlakuannya. Yang
melakukannya mau yang serba cepat, serba gampang, serba menguntungkan bagi
diri sendiri. Ia enggan berpikir, bersikap tidak peduli, tidak bersedia
bersabar, dan tidak setia terhadap kesepakatan yang ada.
Kebiasaan langgar aturan
Perselingkuhan cinta dan seks
bayarannya mungkin perceraian, perkawinan yang kosong dan palsu, serta
anak-anak dan anggota keluarga yang menderita. Sementara itu, menyelingkuhi
aturan lalu lintas bayarannya bisa jadi hilangnya nyawa, orang yang
luka-luka, dan mungkin menyandang cacat untuk hidup selanjutnya. Keengganan
bersabar menunggu beberapa menit saja menghasilkan lapis-lapis akibat yang
tak terbayangkan sebelumnya. Ada orang-orang dewasa yang tidak lagi mampu
bekerja dan akhirnya kehilangan cara menafkahi keluarga, ada anak-anak yang
akan kehilangan penghidupan dan pengharapan. Bayarannya mungkin
manusia-manusia yang mengalami trauma, manusia yang membawa luka dan
kemarahan sepanjang hidupnya untuk masa-masa selanjutnya.
Pengamatan menunjukkan bahwa
dalam sub-budaya remaja delinkuen, atau kelompok khusus yang melakukan
berbagai pelanggaran hukum, hukum tidak dilihat sebagai hal positif untuk
kebaikan bersama. Kesepakatan yang bertujuan kebaikan dilihat sebagai
penghambat kebebasan diri. Aturan dilihat sebagai kekangan, hambatan yang
harus dikalahkan, sebagai hal yang dipaksakan luar, karenanya tidak perlu
dipatuhi.
Aneh tetapi nyata, banyak dari
kita (orang Indonesia) yang berpikir sama seperti sub-budaya khusus para
remaja pelaku kriminal, yang melihat hukum dan aturan, bukan untuk kebaikan
bersama, tetapi sebagai penghambat dan sumber frustrasi yang sebisa mungkin
dikalahkan. Penjelasannya tentu kompleks sekali, antara lain dapat
dikembalikan pada beberapa hal yang sebenarnya kita sudah bosan
membahasnya. Yakni, pelecehan terhadap hukum yang dilakukan oleh para
penegak hukum itu sendiri, serta berbagai contoh buruk yang diperlihatkan
para pemimpin masyarakat.
Resolusi
Di Indonesia, kita mudah
menemukan slogan-slogan kosong. ”Anti Korupsi” diteriakkan pelaku korupsi,
plang ”zona bebas rokok” ada di banyak kantor tetapi justru asap rokok
mengepul-ngepul dari mulut para pegawai dalam gedung itu, atau moto
”pelayanan prima” ditempel besar-besar di belakang petugas front
office yang enggan memberi informasi dan memasang muka masam.
Perilaku konkret dan kecil
seperti bersedia atau tidaknya kita memasang sabuk pengaman, menggunakan
helm, atau berjalan di jalur yang semestinya sebenarnya merefleksikan sikap
hidup dan nilai-nilai lebih tinggi yang memayunginya. Yakni, sejauh mana
kita memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial, sejauh mana kita merasa
perlu menjaga keselamatan orang lain seperti juga menjaga keselamatan diri
sendiri, serta apa saja yang kita prioritaskan dalam hidup.
Orang yang berselingkuh jarang
sungguh-sungguh berpikir, mungkin menggampangkan atau menyepelekan masalah,
pada akhirnya hanya berpikir untuk kesenangan sendiri. Mungkin disangkanya
ia tidak dirugikan oleh perbuatannya, dan ia tidak peduli apabila orang
lain dirugikan atau menderita akibat ulahnya.
Yang sering dilupakan orang yang
berselingkuh adalah pada akhirnya perselingkuhannya merugikan dirinya
sendiri secara langsung ataupun tidak langsung. Perselingkuhan seksual
dapat mengacaukan batin pasangan dan anak-anak, mengacaukan relasi
suami-istri, dan pada akhirnya merugikan diri sendiri karena individu
kehilangan cinta dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya.
Sementara itu, yang gemar
melanggar aturan berlalu lintas di jalan raya hampir pasti tidak peduli
pada keselamatan orang lain. Bahkan, ia pun lupa untuk peduli pada diri
sendiri dan orang-orang dekatnya, lupa menjaga nyawa dan keselamatan diri
sendiri.
Mungkin kita tidak peduli pada
kerugian dan penderitaan yang dialami orang-orang lain akibat kesengajaan
kita untuk bersikap tidak setia pada aturan, yang sesungguhnya untuk
kepentingan bersama. Jika demikian halnya, kita perlu mengingat bahwa
perilaku kita suatu saat juga akan merugikan dan menyebabkan penderitaan
pada orang-orang terdekat kita dan diri sendiri.
Penyesalan selalu datang
terlambat. Betapa mengerikan apabila kita harus menghayati penyesalan
seumur hidup karena keengganan berpikir. Betul, kemacetan luar biasa
sungguh memunculkan ketegangan dan frustrasi, silakan saja kita ramai
berdiskusi mengenai siapa yang dianggap paling bertanggung jawab atas
mampatnya jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi, mengebut dan
menyalip dari kiri sungguh merupakan tindakan tanpa pikir yang tidak
sebanding dengan tanggung jawab memastikan keselamatan diri sendiri dan
orang lain di jalan raya.
Mungkin salah satu resolusi yang
harus kita buat mulai 2014 adalah bersikap lebih peduli dan bertanggung
jawab terhadap keselamatan serta kesejahteraan diri sendiri dan orang-orang
lain, termasuk saat berkendara di jalan raya. Apabila Anda mau datang tepat
waktu, ya berangkatlah lebih pagi, jangan sekali-sekali menerobos palang
kereta api. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar