Senin, 16 Desember 2013

Aturan Lalu Lintas dan Perselingkuhan

Aturan Lalu Lintas dan Perselingkuhan
Kristi Poerwandari  ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS,  15 Desember 2013
  


Perselingkuhan bukan cuma menyangkut cinta dan seks dalam hubungan personal orang per orang. Bisa jadi tidak ada hubungannya dengan cinta dan seks, dan sangat mungkin menyangkut urusan keselamatan orang banyak.
Kita melanggar aturan yang jelas-jelas diberlakukan untuk keselamatan bersama, ketika sengaja mengebut dan menyalip dari kiri, menembus lampu merah, atau memaksa menerobos palang pintu yang sudah diturunkan saat kereta api melaju cepat.
Melanggar peraturan berarti berselingkuh atau tidak setia terhadap peraturan. Bisa jadi karena kita lupa atau tidak peduli tentang tujuan positif dari pemberlakuannya. Yang melakukannya mau yang serba cepat, serba gampang, serba menguntungkan bagi diri sendiri. Ia enggan berpikir, bersikap tidak peduli, tidak bersedia bersabar, dan tidak setia terhadap kesepakatan yang ada.
Kebiasaan langgar aturan
Perselingkuhan cinta dan seks bayarannya mungkin perceraian, perkawinan yang kosong dan palsu, serta anak-anak dan anggota keluarga yang menderita. Sementara itu, menyelingkuhi aturan lalu lintas bayarannya bisa jadi hilangnya nyawa, orang yang luka-luka, dan mungkin menyandang cacat untuk hidup selanjutnya. Keengganan bersabar menunggu beberapa menit saja menghasilkan lapis-lapis akibat yang tak terbayangkan sebelumnya. Ada orang-orang dewasa yang tidak lagi mampu bekerja dan akhirnya kehilangan cara menafkahi keluarga, ada anak-anak yang akan kehilangan penghidupan dan pengharapan. Bayarannya mungkin manusia-manusia yang mengalami trauma, manusia yang membawa luka dan kemarahan sepanjang hidupnya untuk masa-masa selanjutnya.
Pengamatan menunjukkan bahwa dalam sub-budaya remaja delinkuen, atau kelompok khusus yang melakukan berbagai pelanggaran hukum, hukum tidak dilihat sebagai hal positif untuk kebaikan bersama. Kesepakatan yang bertujuan kebaikan dilihat sebagai penghambat kebebasan diri. Aturan dilihat sebagai kekangan, hambatan yang harus dikalahkan, sebagai hal yang dipaksakan luar, karenanya tidak perlu dipatuhi.
Aneh tetapi nyata, banyak dari kita (orang Indonesia) yang berpikir sama seperti sub-budaya khusus para remaja pelaku kriminal, yang melihat hukum dan aturan, bukan untuk kebaikan bersama, tetapi sebagai penghambat dan sumber frustrasi yang sebisa mungkin dikalahkan. Penjelasannya tentu kompleks sekali, antara lain dapat dikembalikan pada beberapa hal yang sebenarnya kita sudah bosan membahasnya. Yakni, pelecehan terhadap hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum itu sendiri, serta berbagai contoh buruk yang diperlihatkan para pemimpin masyarakat.
Resolusi
Di Indonesia, kita mudah menemukan slogan-slogan kosong. ”Anti Korupsi” diteriakkan pelaku korupsi, plang ”zona bebas rokok” ada di banyak kantor tetapi justru asap rokok mengepul-ngepul dari mulut para pegawai dalam gedung itu, atau moto ”pelayanan prima” ditempel besar-besar di belakang petugas front office yang enggan memberi informasi dan memasang muka masam.
Perilaku konkret dan kecil seperti bersedia atau tidaknya kita memasang sabuk pengaman, menggunakan helm, atau berjalan di jalur yang semestinya sebenarnya merefleksikan sikap hidup dan nilai-nilai lebih tinggi yang memayunginya. Yakni, sejauh mana kita memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial, sejauh mana kita merasa perlu menjaga keselamatan orang lain seperti juga menjaga keselamatan diri sendiri, serta apa saja yang kita prioritaskan dalam hidup.
Orang yang berselingkuh jarang sungguh-sungguh berpikir, mungkin menggampangkan atau menyepelekan masalah, pada akhirnya hanya berpikir untuk kesenangan sendiri. Mungkin disangkanya ia tidak dirugikan oleh perbuatannya, dan ia tidak peduli apabila orang lain dirugikan atau menderita akibat ulahnya.
Yang sering dilupakan orang yang berselingkuh adalah pada akhirnya perselingkuhannya merugikan dirinya sendiri secara langsung ataupun tidak langsung. Perselingkuhan seksual dapat mengacaukan batin pasangan dan anak-anak, mengacaukan relasi suami-istri, dan pada akhirnya merugikan diri sendiri karena individu kehilangan cinta dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya.
Sementara itu, yang gemar melanggar aturan berlalu lintas di jalan raya hampir pasti tidak peduli pada keselamatan orang lain. Bahkan, ia pun lupa untuk peduli pada diri sendiri dan orang-orang dekatnya, lupa menjaga nyawa dan keselamatan diri sendiri.
Mungkin kita tidak peduli pada kerugian dan penderitaan yang dialami orang-orang lain akibat kesengajaan kita untuk bersikap tidak setia pada aturan, yang sesungguhnya untuk kepentingan bersama. Jika demikian halnya, kita perlu mengingat bahwa perilaku kita suatu saat juga akan merugikan dan menyebabkan penderitaan pada orang-orang terdekat kita dan diri sendiri.
Penyesalan selalu datang terlambat. Betapa mengerikan apabila kita harus menghayati penyesalan seumur hidup karena keengganan berpikir. Betul, kemacetan luar biasa sungguh memunculkan ketegangan dan frustrasi, silakan saja kita ramai berdiskusi mengenai siapa yang dianggap paling bertanggung jawab atas mampatnya jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi, mengebut dan menyalip dari kiri sungguh merupakan tindakan tanpa pikir yang tidak sebanding dengan tanggung jawab memastikan keselamatan diri sendiri dan orang lain di jalan raya.
Mungkin salah satu resolusi yang harus kita buat mulai 2014 adalah bersikap lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap keselamatan serta kesejahteraan diri sendiri dan orang-orang lain, termasuk saat berkendara di jalan raya. Apabila Anda mau datang tepat waktu, ya berangkatlah lebih pagi, jangan sekali-sekali menerobos palang kereta api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar