Senin, 25
November yang lalu, Komisi III DPR RI terkesan cukup serius membahas revisi
UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 (UUA). Seharian penuh sejak pagi sampai
malam hari digelar rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Wakil-wakil dari belasan organisasi advokat
(OA) beserta anggotanya dimintai pendapat. Ada giliran pagi, siang, ataupun
malam. Tugas ini seakan mengejar target waktu yang tinggal beberapa hari
lagi, diharapkan tuntas sebelum 21 Desember 2013 karena jatuh tempo masa
reses DPR. Sedangkan awal Januari 2014 sudah dimulai masa kampanye
legislatif yang puncaknya pada Pemilu 7 April 2014, sangat menentukan
diperpanjang dan tidak status legislator mereka.
Kondisi ini konsekuensi logis karena DPR telah
menyatakan hak inisiatifnya untuk merevisi UUA. RDPU ini terkesan cukup
penting karena dalam merevisi UUA, DPR tidak dibekali dengan “naskah
akademis” sebagaimana selama ini dilakukan pemerintah sebelum RUU itu
diajukan kepada DPR. Mungkin RDPU dianggap sebagai pengganti naskah
akademis.
Seorang anggota Komisi III mengatakan, DPR
tidak cukup anggaran untuk pembuatan naskah akademis yang biayanya cukup
besar dan makan waktu lama, jadi mohon dimaklumi jika hasil revisi tersebut
seperti apa nanti. Penyerapan aspirasi rakyat sudah kami lakukan. Dalam
kondisi normal, semestinya setiap pasal maupun ayat pada UU tidak muncul
begitu saja, melainkan harus diuji dan dikaji mendalam lebih dulu dalam
naskah akademis sehingga harus jelas dasar filosofis, historis, dan
juridisnya.
Isu sentral dari revisi UUA ini adalah
menggeser wadah tunggal pada Pasal 28 ayat (1) UUA yang dianggap sebagai
kendala dari singlebar harus menjadi multibar. Selama ini Perhimpunan
Advokat Indonesia (Peradi) yang memosisikan diri sebagai wadah tunggal
seakan mendapat tempat dan diakui oleh negara.
Karena 24.000 advokat yang direkrutnya sejak
2005-2013 mendapat BAS (berita acara sumpah) dari pengadilan tinggi (PT)
setempat (Pasal 4 UUA) dan tidak terjegal beracara di pengadilan. Sedangkan
belasan ribu advokat rekrutmen Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang juga
mengklaim sebagai wadah tunggal dan beberapa OA lain yang pernah melakukan
rekrutmen advokat mengalami hal yang sebaliknya.
Atas kondisi itu, mereka katakan ada kekisruhan
antaradvokat dan harus segera diselesaikan. Padahal kenyataannya belum
tentu demikian. Alasan revisi sangat sederhana bahwa kebebasan berserikat
yang dijamin oleh Pasal 28 E UUD’45 itu harus diakomodasi, termasuk
pemerataan kesempatan merekrut advokat oleh OA selain Peradi.
Sedangkan untuk mem-backup konsep multibar
yang diusung diperlukan pula semacam lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN)
yang punya otoritas menentukan bisa dan tidak suatu OA baru didirikan agar
ada filter pertumbuhan OA ke depan. Para advokat senior tahu persis
kebebasan dan kemandirian berprofesi itu sangat dibutuhkan. Bukan untuk
kebebasan OA yang selama ini cenderung disalahgunakan para elitenya.
Mereka cenderung diam agar terhindar dari
berkonflik yang kontra produktif. Eksistensi profesi advokat itu sangat
penting untuk mengimbangi kebebasan dan kemandirian majelis hakim dalam
memutus suatu perkara (konsideran UUA). Dengan begitu, emansipasike s e j a
j a ran advokat dengan tiga pilar penegak hukum lain yaitu polisi, jaksa, dan
hakim harus riil terwujud.
Kenyataannya advokat sebagai penegak hukum
(Pasal 6 UUA) sering dilihat sebelah mata oleh penegak hukum lain yang
punya privilese kekuasaan. Tetapi, dalam draf revisi UUA tidak tercermin
penguatan terhadapprofesiadvokatitusendiri, melainkan lebih cenderung
memperkuat kebebasan OA dalam merekrut advokat baru, sebagaimana usulan
awal pengusung revisi yang tidak mendapat justifikasi selama ini melakukan
rekrutmen advokat baru.
Khawatir
Kehilangan Makna
Selama ini secara kasatmata banyak OA yang
begitu bebas menafsirkan UU. Sengaja melanggar dan tidak patuh pada UU.
Eksistensi Komisi Pengawas Advokat (KPA) yang semestinya bertugas mengawasi
advokat sehari-hari (Pasal 13 UUA) malah tidak efektif. Bahkan ada OA yang
tidak membentuk KPA sama sekali.
Dalam penyelenggaraan pendidikan khusus
profesi advokat (PKPA) OA tidak memedomani Pasal 67 UU Diknas No 20 Tahun
2003 yang ancaman hukumannya 10 tahun penjara dan denda satu miliar rupiah.
Tapi, tidak disentuh hukum. Mereka mendahulukan ujian profesi (UCA) sebelum
peserta mengikuti PKPA.
Passing grade diturunkan jauh di bawah standar
agar peserta gampang lulus tanpa mengulang, yang menjadi daya tarik
tersendiri bagi masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi advokat. Bahkan ada
OA menyelenggarakan pendidikan khusus untuk calon asisten advokat yang akan
ditempatkan di posbakum (berdasarkan UU No 16 Tahun 2011) selama +/- 3
hari, tetapi para pesertanya diberikan dua kartu sekaligus, kartu posbakum
dan kartu advokat.
Proses magang kerja riil dua tahun bukan
syarat mutlak, melainkan bisa digantikan dengan surat keterangan magang
dari kantor advokat senior. Rata-rata OA tidak melaporkan advokat baru ke
Kemenkumham RI dan MA RI (Pasal 3 UUA), seolah eksistensi mereka tidak
diketahui negara. Semua kebebasan ini terkesan kebablasan dan cenderung
berbau komoditas.
OA seolah berhasil menghipnotis masyarakat
dengan menawarkan lapangan kerja baru yang berjudul advokat b e r p r e d i
k a t “officium nobile” dianggap cukup menjanjikan masa depan. Proses
rekrutmen seperti itu berbeda jauh dengan cara rekrutmen dokter, akuntan
publik, notaris, dan sebagainya, yang cukup ketat dan terkontrol serta
sulit untuk disiasati.
Rawannya malapraktik dan pelanggaran kode etik
sudah bisa diperkirakan. Bisa jadi akan menimbulkan masalah hukum sampai
tujuh turunan bagi si klien. Maka tidak heran jika seorang mantan hakim
agung berkomentar “apakah kita ini akan kembali ke era pokrol bambu lagi.”
Jika revisi UUA ini terjadi dan tidak berpihak pada penguatan dan emansipasi
profesi advokat, dikhawatirkan akan menambah runyam karut-marut penegakan
hukum di Indonesia. Revisi UUA ini akan kehilangan maknanya.
Komunikasi
Politik
Pada sesi siang RDPU giliran Peradi, HAPI, dan
Ikadin. Tiga organisasi ini cenderung menolak revisi UUA atau setidaknya
ditunda sampai beberapa waktu kemudian setelah ada perubahan KUHP dan
KUHAP. Karena lebih urgen dan harus diprioritaskan. Selain berbau produk
kolonial juga tidak cocok lagi dengan reformasi Indonesia.
Lagi pula menyangkut harkat hidup orang banyak
ratusan juta jiwa bangsa Indonesia. Sedangkan kepentingan komunitas advokat
hanya puluhan ribu saja. Menanggapi masukan peserta RDP, seorang anggota
Komisi III yang juga mantan advokat pertama-tama sambil berseloroh
menyampaikan terima kasihnya karena kartu Peradinya sudah diperpanjang.
Dia mengatakan, saat ini usulan revisi UUA
sudah sampai di ranah politis yang proses dan keputusannya juga secara
politis dengan memperhatikan asas demokratis. Jika di ruangan RDPU ini ada
lima legislator mantan advokat yang dianggap mewakili lima dari sembilan
fraksi adalah berasal dari Peradi. Nah, apalagi yang teman-teman Peradi
ragukan?
Yang penting komunikasi politiknya. Jika tidak
bisa melobi ketua fraksi, lobilah ketua umum partainya. Apakah Peradi tidak
punya pelobi politik? Itulah sekilas percakapan menarik saat RDPU pada hari
itu. Di luar ruang RDPU, para advokat ramai membicarakan keputusan politik
yang bakal diambil DPR. Revisi atau menundanya karena suatu keputusan
politik sangat sulit ditebak.
Tiada teman yang abadi, melainkan kepentingan
yang abadi. Atau sinyal komunikasi politik itu sengaja dilontarkan untuk
sekadar menguji kepekaan OA agar bisa berbagi pula dengan pungutan dana
masyarakat dari rekrutmen advokat yang pertanggungjawabannya tidak
teraudit, bahkan cenderung tidak jelas.
Sedangkan pungutan tersebut mulai dari proses
UCA sampai diperoleh KTA mencapai Rp9 juta per orang. Atau RDPU ini hanya
sekadar menyampaikan pesan bahwa DPR sudah melaksanakan hak inisiatifnya.
Karena keterbatasan waktu dan skala prioritas
pekerjaan, revisi UUA terpaksa ditunda pada periode berikutnya. Hak
inisiatif merevisi UUA ini sesuatu yang seriuskah atau hanya sebagai
kelanjutan wacana saja. Mari kita tunggu realisasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar