WTO dan Pangan
Lokal
Posman Sibuea ;
Guru Besar Tetap di Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pendiri dan Direktur
Center for National Food Security Research (Tenfoser); Ketua Persatuan Ahli
Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara
|
KORAN
SINDO, 14 Desember 2013
Konferensi Tingkat
Menteri ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Bali yang dihadiri 159
negara anggota yang berakhir Sabtu (7/12) menelurkan hasil cukup
menggembirakan.
Pertemuan ini menyepakati Paket Bali yang
salah satu proposal di dalamnya adalah terkait masalah stok pangan. Sesuai
ketentuan masalah pertanian yang diatur WTO, negara berkembang hanya boleh
memberi subsidi maksimal 10 persen dari produksi nasional untuk keperluan
stok ketahanan pangan. India yang sebelumnya menolak negosiasi terhadap
proposal mengenai cadangan pangan mencapai kesepakatan dengan negara
adikuasa Amerika Serikat.
Terkait ketahanan pangan anggota WTO
disepakati bahwa dalam empat tahun ke depan harus sudah ada solusi permanen
tentang stok pangan untuk negara berkembang. Selama belum tercapai solusi
permanen, negara berkembang boleh melakukan penumpukan stok pangan untuk
ketahanan pangan negaranya.
Pertanyaannya, apa relevansi kesepakatan Paket
Bali ini dengan kedaulatan pangan yang hendak kita bangun seperti tertuang
dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan? Jawaban pertanyaan ini
sesungguhnya ada pada tema yang diangkat pada perayaan Hari Pangan 2013,
yakni “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Ketika ketersediaan dan cadangan pangan tak
lagi mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat seiring pertumbuhan
jumlah penduduk, cadangan pangan bisa diinisiasi dengan pembangunan
ketahanan pangan yang berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal. Penguatan
ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal di tengah kian terbukanya pasar
bebas, Indonesia mengadapi persoalan yang sangat serius.
Urusan pertanian dan pangan yang seharusnya
mendapat kontrol negara secara penuh kini diserahkan kepada mekanisme dan
kebuasan pasar. Tak pelak lagi, ketahanan pangan kita akan semakin rapuh
karena dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal.
Ketahanan pangan nasional kian rentan terhadap
gejolak harga pangan dunia yang kian mahal. Saat ini saja kebutuhan pangan
nasional 70 persen bergantung dari impor dengan jumlah rupiah yang
dibelanjakan setiap tahun Rp125 triliun.
Tumbuh
Alamiah
Penilaian masyarakat kebanyakan terhadap
perjalanan panjang pembangunan ketahanan pangan di negeri agraris ini pada
umumnya disebut tumbuh alamiah di tengah menumpuknya berbagai kendala dan
masalah yang menghadang sektor pertanian.
Hambatan yang bisa diinventarisasi antara lain
adalah minimnya akses permodalan, jaminan harga dan pasar, penguasaan
teknologi dan inovasi yang masih rendah, serta rendahnya mutu sumber daya
manusia. Di samping itu, para pelaku UMKM bidang pangan acap menghadapi
kendala birokrasi yang rumit soal perizinan, regulasi yang seringkali
berubah-ubah, dan ekonomi biaya tinggi karena korupsi birokrat.
Masalah baru akan segera menghadang ketika
percepatan konektivitas yang disepekati pada APEC 2013 diwujudkan.
Masalahnya kian komplek karena konektivitas akan lebih mempermudah produk
pangan dari negera-negara lain masuk ke pasar lokal. Patut diberi catatan,
sebelum perhelatan WTO 2013, pasar domestik sudah dibanjiri berbagai macam
produk pangan asing.
Mulai dari makanan olahan, buahbuahan dan
produk pertanian lainnya berupa kedelai, beras, daging, bawang dan
lain-lain. Selama ini UMKM pangan lokal dibiarkan bersaing—untuktidak
mengatakan ditelantarkan— dengan koleganya yang berasaldari sejumlahnegara
maju tanpa proteksi dan dukungan modal, teknologi dan SDM memadai.
Bayangkan sebuah UMKM pangan lokal di Medan
misalnya yang dibebani berbagai masalah harus bersaing dengan UMKM sejenis
dari negara maju yang menikmati berbagai fasilitas dari pemerintahnya mulai
dari permodalan, sarana dan prasarana pendukung, pelatihan teknologi dan
inovasi, dan informasi pasar terkini.
Untuk itu, terkait isu konektivitas, persoalan
fundamental seperti permodalan, infrastruktur, inovasi dan akses pasar
menjadi sangat strategis untuk dijembatani dalam memajukan UMKM. Mendorong
pengembangan UMKM bidang bisnis pangan lokal agar mutu produknya lebih baik
harus ditransformasikan bagi penguatan kedaulatan pangan dan kemajuan
ekonomi nasional.
Potensi dan peluang pengembangannya sangat
besar karena tersedia bahan baku yang melimpah dan perubahan tatanan
ekonomi dunia memberi ruang meningkatkan ekspor produk pangan olahan.
Agribisnis
Pangan
Sektor ekonomi yang sangat
strategisuntukIndonesiasaat ini terkait pengembangan UMKM pasca WTO 2013
adalah agribisnis pangan. Pengelolan agribisnis yang baik akan menetaskan
UMKM di bidang pangan yang berdaya saing tinggi dan diharapkan dapat
berimbas positif kepada penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan
berdaulat seperti roh dan jiwa UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Pemerintah patut lebih sungguh-sungguh
melakukan penyebaran teknologi tepat guna untuk mendorong inovasi terkait
pangan, khususnya menuju pengembangan pangan berbasis sumberdaya lokal yang
berkelanjutan. Peningkatan efisiensi produksi dan optimalisasi biaya
investasi merupakan inisiatif yang perlu terus didorong untuk memperkuat
agribisnis pangan mulai dari hulu (on
farm) hingga ke hilir (off farm)
yang mengolah hasil pertanian menjadi produk turunan pangan baru.
Ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat
konfigurasinya masih membutuhkan penguatan dari polical will pemerintah menjadi pekerjaan rumah yang belum
selesai di sektor pertanian. Tugas ini sangat strategis bagi pemerintahan
baru hasil Pemilu 2014 di tengah ancaman krisis pangan yang menghadang
Indonesia belakangan ini.
Keberhasilannya memberi keleluasaan kepada
negara untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak
atas pangan bagi rakyatnya dan juga memberikan hak bagi warganya untuk
menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Pemanfaatan pangan berbasis sumberdaya lokal sebagai amunisi kedaulatan
pangan dapat menekan ketergantungan pada pangan impor.
Berbagai jenis pangan impor—baik legal maupun
ilegal—yang jumlahnya terus meningkat akhirakhir ini memberi dampak negatif
pada neraca perdagangan Indonesia, yang pada gilirannya mengatrol angka
inflasi yang merugikan rakyat kecil. Bagi Indonesia yang dikenal dan dipuja
sebagai negara agraris karena memiliki lahan pertanian subur dan luas patut
memetik pelajaran penting dari penyelenggaraan konferensi WTO di Bali.
Kesiapan di dalam negeri sendiri adalah
langkah strategis untuk pencapaian target kedaulatan pangan yang
menyejahterakan petani. Membumikan percepatan konektivitas (keterhubungan)
fisik negeri kepulauan ini dapat mendorong peningkatan daya saing produk
pangan berbasis sumberdaya lokal di pasar global.
Keberhasilan ini memberi out come untuk mempersempit
ketimpangan kesejahteraan antara warga perkotaan dan perdesaan yang
bermuara pada pembangunan pertanian yang kian menarik minat kawula muda.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar