Minggu, 08 Desember 2013

Rantai Fantasi Mandela

Rantai Fantasi Mandela
Raymond Kaya  ;   Wartawan SCTV
TEMPO.CO,  07 Desember 2013

  

Nelson Mandela meninggal pada usia 95 tahun. Ia meninggalkan sebuah jejak penting bagi komunikasi politik di Afrika Selatan. Mendekam hampir 30 tahun di penjara akibat kekejaman rezim Apartheid, yang membedakan warna kulit pada era modern, tidak membuat Mandela menyimpan dendam terhadap warga kulit putih. Ia bahkan meminta mereka hidup berdampingan. Setelah keluar dari penjara pada Februari 1990, Mandela, melalui partainya, African National Congress (ANC), memenangi pemilihan umum langsung pertama bagi semua warga Afrika Selatan pada 1994.

Bagi Mandela, hal tersulit adalah meminta warga kulit hitam Afrika tidak memusuhi warga kulit putih, yang selama berabad-abad menjadikan mereka warga kelas dua di tanah kelahiran mereka sendiri. Mereka yang lahir sebelum era 1990-an akan terbiasa dengan tulisan "white only", baik di tempat perhentian bus, toilet umum, maupun pantai-pantai indah di Cape Town. Penduduk Afrika Selatan yang mayoritas berkulit hitam harus menuruti tuan-tuan tanah warga kulit putih yang banyak berasal dari Belanda dan Inggris. Tercatat, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Afrika Selatan merupakan satu-satunya negara yang menerapkan perbedaan ras, yang menyebabkan negara ini dikecam dan dikucilkan dari pergaulan internasional. Hal ini berubah drastis setelah runtuhnya era Perang Dingin pada 1988. Jualan rezim Pretoria bahwa Mandela adalah pendukung komunis sudah tidak laku. 

Perdamaian

Ada sebuah fantasi baru yang terjadi saat Mandela kembali ke pangkuan rakyat Afrika Selatan, yaitu perdamaian. Tak mudah bagi Mandela meyakinkan sebagian besar rakyat Afrika Selatan untuk memberi maaf kepada orang kulit putih, yang selama ini melakukan diskriminasi. Bahkan, sebagian berharap inilah saatnya menuntaskan dendam yang lama terpendam. Namun Mandela paham bahwa rezim Apartheid menggunakan Mongosuthu Buthelezi untuk mendirikan Partai Inkatha guna memecah-belah rakyat Afrika Selatan. Buthelezi, yang berasal dari suku Zulu, adalah mantan Ketua Pemuda ANC pimpinan Mandela, seorang bangsawan dari suku Thembu. Mandela memilih jalan rekonsiliasi untuk mencegah terjadinya perang saudara di Afrika Selatan.
Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebuah Komisi yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah pada era Apartheid. Setiap orang yang merasa telah menjadi korban kekerasan dipersilakan menghadap dan mengadu ke Komisi ini. Para pelanggar kekerasan juga dapat memberi kesaksian dan memohon amnesti atas tuntutan yang diajukan. Sesi dengar pendapat (hearing) dimuat dalam berita-berita nasional dan internasional. Banyak sesi yang disiarkan lewat stasiun televisi nasional. 

Komisi ini merupakan komponen penting dari transisi menuju demokrasi yang penuh dan bebas di Afrika Selatan. Meski terdapat sejumlah kekurangan, pada umumnya Komisi yang dipimpin oleh Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu ini dianggap sangat berhasil. Sejumlah film dibuat berdasarkan kisah-kisah nyata dari komisi ini. 

Salah satu film yang terkenal saat itu adalah Forgiveness (2004) yang disutradarai oleh Ian Gabriel. Film ini menampilkan Andre Vosloo, seorang mantan polisi yang memohon pengampunan dari keluarga aktivis yang dibunuhnya selama rezim Apartheid. Catatan lain mengenai hal ini terdapat dalam buku biografi berjudul Playing the Enemy : Nelson Mandela and The Game that Made a Nation karya John Carlin. Buku ini mengisahkan sebuah pertandingan bersejarah dalam kejuaraan dunia rugby pada 1995 yang berlangsung di Afrika Selatan. Mandela, dengan upaya yang sungguh-sungguh, menyatukan dukungan masyarakat Afrika Selatan-terutama masyarakat kulit hitam-untuk mendukung Springboks, tim rugby Afrika Selatan yang didominasi orang kulit putih. Kisah ini kemudian dijadikan film berjudul Invictus, dengan aktor peraih Oscar, Morgan Freeman, sebagai Nelson Mandela. 

Dalam teori konvergensi simbolik yang diperkenalkan Ernest Borman, simbol perdamaian dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan kisah-kisah yang benar terjadi menjadi sebuah rantai fantasi. Dalam kasus di Afrika Selatan ini, tema fantasi yang "dijual" adalah "konsep perdamaian" yang kemudian diceritakan, dianalogikan, dipidatokan, dinarasikan pada karakter-karakter orang-orang yang menyukai perdamaian. Tokoh-tokoh seperti Mandela, Desmond Tutu, Oliver Tambo, bahkan Presiden Afrika Selatan pada waktu itu, F.W. De Klerk, muncul sebagai "tokoh fantasi" yang secara positif menggemakan perdamaian. Kita bisa belajar dari tema fantasi seorang Mandela: perdamaian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar