Ketika bulan purnama
hadir, dulu warga kampung saya tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Mereka menyambut sinar terang dengan bercengkerama di halaman rumah tanpa
pagar. Sementara itu, anak-anak memanjakan diri dengan aneka permainan,
dari hanya berlarian, petak umpet, hingga gobak sodor. Yang menarik, jika
bulan gerhana, mereka membangunkan pohon agar tak tertidur dan mengusir sang
raksasa agar memuntahkan bulan. Namun pemandangan seperti ini hadir ketika
kampung belum dialiri listrik dan disihir televisi. Sekarang kebiasaan yang
dimaksud musnah.
Orang
tua lebih khusyuk di depan televisi. Anak-anak juga membetot acara sinetron
yang tak cocok untuk usia mereka. Malangnya, tradisi kesenian lokal turut
tergerus oleh hiburan dari televisi. Dulu, saya masih sempat menikmati
sosio-drama lokal Albadar Mahajaya, di mana orang-orang kampung berjumpa di
pasar tempat pergelaran dilangsungkan. Dengan mengangkat cerita para nabi
atau kerajaan zaman dulu, drama ini mendekatkan orang ramai satu sama
lain secara langsung. Betapa rumah telah menjadi penjara, bukan?
Tak
hanya kesenian yang bersifat hiburan, malah yang bersifat religius pun
turut hilang. Misalnya, saman tak lagi dirayakan di kampung. Tarian yang
diikuti pujian kepada Tuhan ini merupakan laku yang dijalani untuk
mendekatkan penampil dengan kekuasaan ilahi. Diiringi dengan zikir, mereka
bergerak turun-naik dengan saling menggenggam tangan. Malah, samrah atau
kasidahan, yang dulu pernah ditekuni ibu saya, sekarang tak lagi terdengar
didendangkan. Remaja perempuan lebih menyukai lagu pop dibanding merawat
tradisi seraya bernyanyi dan memainkan alat musik sendiri, betapa pun
sederhananya.
Di
tengah deru kebudayaan yang tak melibatkan masyarakat, kita pun mesti
memikirkan kembali bagaimana tradisi dan permainan tradisional itu tak
pupus ditelan serbuan hiburan dari media dan barang pabrikan. Anak-anak
bergegas ke toko penyewaan PlayStation untuk memuaskan hasrat bermain,
bukan jenis permainan yang memupuk kebersamaan dan memancing imajinasi,
seperti sepak bola dan perang-perangan. Jika dulu saya dan kawan-kawan
hanya bermodalkan bola plastik dan lapangan voli, sekarang anak-anak itu
berkutat di lantai, menggerakkan tangan untuk bermain bola tanpa harus
berkeringat. Malangnya, mereka mesti merogoh kocek untuk memuaskan
keinginan itu.
Tak
hanya itu, kreativitas anak dan remaja sekarang makin tergerus karena
mereka tak lagi membuat mainannya sendiri, berbeda dengan dulu, ketika
anak-anak sebayanya menjadikan kotak rokok sebagai mobil-mobilan dan
menjadikan sandal bekas yang telah dipotong bundar untuk rodanya. Tak hanya
itu, kami memanfaatkan kali kecil untuk arena bermain adu "karapan
sapi", yang sekarang sama sekali tak berbekas. Celakanya lagi,
anak-anak telah dicekoki makanan kecil yang berbungkus plastik dan tidak
sehat karena kadar garamnya tinggi. Kami dulu menikmati makanan kecil dari
pohon yang banyak tumbuh di sawah atau dekat sungai. Tak jarang dengan uang
saku yang tak banyak, kami membeli makanan tradisional, seperti klepon dan
gulali, di mana sang penjual memakai daun pisang, bukan plastik.
Tetapi,
apakah kita harus kembali ke masa lalu agar anak-anak itu kembali kreatif
dan haus uang untuk memenuhi kebutuhannya? Tentu, tidak. Kreativitas itu
adalah daya anak untuk menghasilkan barang atau sesuatu yang membuat mereka
tidak pasif dan manja. Karena itu, semua pihak senantiasa mendorong
anak-anak itu untuk menghargai lingkungan dengan tidak membuang begitu saja
bungkus plastik dari kudapan yang dibeli di toko. Penanaman kesadaran ini
tentu akan berbuah kebiasaan. Dan kelak kita tidak akan menghasilkan
generasi yang suka berbelanja dan membuang sampah sembarangan.
Agar
bulan itu kembali terang, kita tidak berarti harus mengganti lampu neon
dengan petromaks, tapi membuka kembali silaturahmi antartetangga. Agar
bulan itu kembali hadir, permainan tradisional harus dihidupkan kembali
supaya anak-anak itu tak selalu membeli sesuatu untuk mendapatkan
keriangan. Ketika iklan begitu mempengaruhi orang ramai, sinyalemen Neil
Postman, pedagog, dalam Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-nilai Sekolah
(2003), bahwa tuhan konsumerisme telah membetot perhatian khalayak luas,
terbukti. Jika digeser pada kredo agama, sejatinya banyak orang yang yang
masih belum menegaskan Allah sebagai tuhan. Bukankah ini merupakan bentuk
kemusyrikan?
Tak
ayal, ketika kita berharap pada sekolah untuk menanamkan nilai-nilai
kritisisme terhadap diri dan lingkungannya, teknologi telah
menggantikannya. Malangnya, banyak sekolah di sini minim fasilitas olahraga
sebagai tempat anak-anak bermain. Gajet telah menyeret pemelajar ke dunia
maya. Dunia sosial mereka dilipat ke dalam perhubungan yang tak nyata dan
relasi yang menyuburkan konsumerisme. Bayangkan, sebuah keluarga dalam
ruang tunggu sama-sama berdiam diri karena masing-masing mengasyiki media
sosial, tetapi pada waktu yang sama mengabaikan kebersamaan. Yang dekat
menjauh dan yang jauh mendekat.
Selagi
ruang publik kita terbatas dan anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu
dengan permainan yang terbatas, tertutup dan berbayar, mereka akan menjadi
anak-anak yang melek teknologi, tapi hanya sebagai pengguna. Ketertutupan
permainan sepak bola dalam Play Station, misalnya, pada hakikatnya makin
mengasingkan anak-anak dari realitas sosial mereka. Alih-alih mengajarkan
kerja sama, mereka belajar membesarkan egoisme mereka sendiri karena
kendali permainan sepenuhnya pada kemampuan dirinya sendiri, kecerdasan
kinestetik.
Karena
itu, semua pihak harus memastikan bahwa ruang publik, seperti taman,
fasilitas olahraga, dan ruang pertemuan bersama, harus diwujudkan. Pada
waktu yang sama, fasilitas umum yang telah ada harus dimanfaatkan untuk
menarik anak-anak bermain di dalamnya. Bagaimanapun, orang tua bertanggung
jawab untuk memberikan contoh dengan turut memajukan intensitas hubungan
warga dalam komunitas. Bayangkan! Tak hanya di kota, sekarang orang kampung
juga telah membuat rumah besar berpagar yang di dalamnya dilengkapi alat-alat
teknologi. Kalau tidak diretas dengan kegiatan bersama, teknologi itu tidak
akan menjadi berkah, tapi mengundang kutukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar