Minggu, 08 Desember 2013

Kemudahan Berusaha dan Paket Kebijakan

Kemudahan Berusaha dan Paket Kebijakan
Robert Endi Jaweng  ;   Direktur Eksekutif KPPOD Jakarta
MEDIA INDONESIA,  07 Desember 2013

  

KALAU kita jujur mencermati kondisi faktual, tuntutan untuk mempermudah proses berbisnis di negeri ini jelas tak ada urusannya dengan soal liberalisasi investasi. Tapi, memang suatu keniscayaan wajar untuk kita penuhi. Pasalnya, yang terjadi dan sering dihadapi adalah kesulitan, masalah, hingga sumbatan yang diciptakan kita sendiri, terutama para pengelola sektor publik.

Kita kadung lama jadi korban dari pameo birokrasi, “Kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah!“ Jadi, wajar dan wajib hukumnya kalau kita menuntut suatu restorasi, perbaikan dari birokrasi abnormal menjadi normal, dari proses yang sulit menjadi mudah dalam aktivitas usaha. Lantaran kita masih saja terjebak dalam `kesulitan berusaha' yang diciptakan pemerintah, tak mengherankan kalau peringkat kemudahan berbisnis negeri ini selalu dinilai buruk. Belum lama ini, misalnya, International Finance Corporation (IFC) kembali mengumumkan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) di 189 negara. Indonesia berada pada papan bawah dan bahkan melorot, turun empat poin ke peringkat 120 dari sebelumnya 116. Kita jauh di bawah Singapura (1), Malaysia (6), Thailand (18), dan hanya lebih tinggi daripada Kamboja (137), Laos (159), dan Timor Leste (172).

Bersamaan momentumnya dan sebagai respons atas masalah yang ada, Wapres Boediono mengumumkan paket kebijakan kemudahan berusaha.
Dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah merilis 17 rencana aksi yang selama ini menjadi sumber kesulitan baik ketika memulai usaha (starting a business) maupun operasional (pengembangan usaha) saat mengurus peralihan properti, akses kredit, dll. Meski terlambat, paket ini tetap perlu disambut, dengan menelisik titik kritis penerapannya dan mendiskusikan saran perbaikan.

Pilihan prioritas

Tantangannya, seperti biasa, terletak pada efektivitas implementasi dan monitoring evaluasi. Kita bisa bagus membuat kebijakan, apalagi jika skalanya paket (yang tentu lebih komprehensif dan terintegrasi antarelemen isu). Namun, uji sukses suatu kebijakan adalah eksekusi. Untuk itu, soal strategi menjadi amat penting, terutama perihal prioritas yang menjadi show case sekaligus titik leverasi. Semua elemen dalam paket tersebut tentu sama penting. Namun, kerangka waktu yang terbatas dan bobot masalah menuntut suatu prioritas dalam strategi implementasi.

Dalam konteks pilihan prioritas, kita perlu memfokuskan perhatian pada elemen memulai usaha. Pertama, dalam upaya perbaikan citra global, kinerja indeks `memulai usaha' memiliki prestise tersendiri dalam komposisi indeks `kemudahan berusaha'. Capaian bagus dalam elemen memulai usaha ini dianggap punya nilai lebih. Kedua, kemudahan memulai usaha itu sendiri berarti mudah dalam fase awal berusaha. Di situ terbentuk kesan pertama, sekaligus menjadi arena yang rentan. Bagi skala UKM, tantangan serius acap datang di awal, saat membuka usaha.

Ketiga, dalam konteks desentralisasi di Indonesia, memulai usaha jelas paling kompleks lantaran melibatkan peran pusat dan daerah. Bahkan, melibatkan profesional swasta seperti notaris, pengacara, biro jasa, dll. Di sini ada proses relatif rumit ihwal legalisasi badan usaha dan formalisasinya agar bisa mulai berusaha secara sah. Keempat, bukti menunjukan bawah fase ini selalu menjadi eksperimen pemerintah selama 4 tahun terakhir, namun target pokok yang ditetapkan juga selalu gagal tercapai.

Dari isi paket kebijakan tadi, upaya mempermudah fase memulai usaha ini berupa; pertama, penyederhaaan proses pen daftaran tenaga kerja (7 hari) dan kepesertaan Jamsostek (7 hari) menjadi 1 hari simultan. Untuk itu, tindak lanjut pada tataran instrumentasi kebijakan adalah menyusun peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) terkait.

Kedua, penyusunan permendag percepatan penerbitan SIUP dan TDP (15 hari) menjadi 3 hari secara simultan. Ketiga, penerbitan perda PTSP di DKI Jakarta sebagai basis legal pelimpahan kewenangan dari gubernur kepada Kepala PTSP. Keempat, revisi UU PT guna meniadakan persyaratan modal dasar dalam pendirian badan usaha.

Dalam skala lebih kecil, sebenarnya bukan kali ini saja pemerintah membuat rencana perbaikan kemudahan berusaha. Tahun 2009, misalnya, empat menteri dan Kepala BKPM membuat keputusan bersama (SKB) dengan target ambisius; memangkas lama waktu untuk memulai usaha menjadi hanya 17 hari. Segala proses terkait pendirian PT ditargetkan selesai 8 hari, penerbitan NPWP dan NPPKP di Ditjen Pajak 1 hari, penerbitan SIUP dan TDP 3 hari, pendaftaran tenaga kerja dan kepesertaan Jamsostek 5 hari.

Hasilnya? Jauh panggang dari api. Tahun 2013, lama waktu memulai usaha di negeri ini ternyata meningkat dari sebelumnya 47 hari menjadi 48 hari. Adapun prosedur bertambah dari 9 menjadi 10 prosedur untuk seseorang bisa mulai membuka usaha.

Raihan ini sekaligus berarti bahwa target RKP 2012 yang menetapkan proses memulai usaha di 2013 selama 20 hari tidak tercapai. Dibandingkan tahun lalu di mana peringkat kemudahan starting a business kita berada pada posisi 171, pada tahun ini malah turun ke peringkat 175.

Di mana letak masalahnya? Dari pengalaman/keterlibatan saya dalam melaksanakan studi doing business di negeri ini, terlihat sejumlah masalah tata kelola kebijakan. Hal ini sekaligus menjadi simpul sumbatan yang harus dituntaskan dalam pelaksanaan paket kebijakan terbaru. paket kebijakan terbaru.

Pertama, kebijakan multisektor seperti ini menuntut otoritas kontrol yang kuat. Nasib SKB menunjukkan ketika yang bersepakat adalah pejabat selevel (menteri) tidak ada otoritas superior yang mengawasi kecuali bersandar pada komitmen mereka. Di negeri ini, komitmen untuk berkoordinasi itu sesuatu yang muskil. Maka, Wapres tak bi sa hanya mengumumkan dan me masang target, tapi berdasar lapor an kemajuan yang dibuat UKP4, juga memaksa para pihak yang berjalan lamban dan mengenakan sanksi tegas (termasuk diumumkan ke media).

Kedua, menimbang bahwa target realisasi 17 rencana aksi itu adalah Februari 2014, penyusunan kerangka legal (PP, permen) mesti berjalan paralel dengan persiapan operasional. Jika alur sekuensial yang dipakai, dengan siklusnya dimulai dari arah kebijakan dan diikuti implementasi, hingga tenggat, semuanya bisa sulit terwujud. Instrumen kebijakannya sendiri mungkin juga belum rampung.

Bahkan, hemat saya, beberapa rencana aksi tak perlu selalu dimulai dari pintu kebijakan lantaran selama ini sudah ada regulasinya. Hal itu, misalnya, terlihat pada urusan SIUP dan TDP berdasar Permendag No 36/M-Dag/ Per/9/2007 dan No 37/M-Dag/Per/9/2007. Isunya sekarang, bagaimana strategi implementasi kedua regulasi yang mewajibkan pengurusan SIUP/TDP paling lama 3 hari itu bisa terwujud, bukan 15 hari seperti pratiknya sekarang?

Ketiga, kinerja propinsi DKI Jakarta menjadi batu uji. Hari ini, pengurusan SIUP/TDP di Ibu Kota ini masih berlangsung 15 hari kerja. Salah satu sebabnya adalah konstruksi birokrasi perizinan yang lebih menyerupai model satu atap (PTSA) ketimbang satu pintu (PTSP). Raihan rencana aksi mungkin hanya terlihat pada poin 3 perihal penerbit an Perda PTSP, tapi butuh kerja keras agar bisa memproses pengurusan SIUP/TDP dalam tempo 3 hari.

Situasi itu menuntut koor dinasi erat antara pusat dan Pemerintah Provinsi Jakarta. Level koordinasi bahkan dimulai dari dorongan agar lekas menuntaskan pembahasan Ranperda PTSP yang kini berada di Baleg-DPRD. Komitmen politik gubernur/wagub terlihat kuat. Namun, proses yang lebih sulit masih harus ditempuh untuk memperoleh dukungan dinas-dinas sektoral dan para politikus di Kebon Sirih (DPRD).

Selanjutnya, agenda yang tak ka lah peliknya, level persiapan dan implementasi membutuhkan fasilitasi dan asistensi intensif sejak tahap peralihan urusan perizinan hingga business process-nya di institusi baru (PTSP). Daya tampung dan daya kelola institusi tersebut bisa terjamin jika didukung upaya penguatan kapasitas kelembagaan dan perubahan budaya pelayanan di kalangan birokrat terkait.

Semua hal itu menunjukan bahwa paket kebijakan adalah satu hal, tetapi realisasinya bisa menjadi hal lain atau hal lanjutan yang jauh lebih krusial. Reformasi birokrasi dan sektor publik secara umum maupun strategi implementasi dan pengawasan adalah kata kunci. Dalam konteks kemudahan berusaha, salah satu faktor penentu di dalamnya adalah kekuatan otoritas wapres untuk memastikan semua pihak bergerak dalam langgam selaras. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar