KALAU kita jujur mencermati kondisi
faktual, tuntutan untuk mempermudah proses berbisnis di negeri ini jelas
tak ada urusannya dengan soal liberalisasi investasi. Tapi, memang suatu
keniscayaan wajar untuk kita penuhi. Pasalnya, yang terjadi dan sering
dihadapi adalah kesulitan, masalah, hingga sumbatan yang diciptakan kita
sendiri, terutama para pengelola sektor publik.
Kita kadung lama jadi korban
dari pameo birokrasi, “Kalau bisa
dipersulit, kenapa mesti dipermudah!“ Jadi, wajar dan wajib hukumnya
kalau kita menuntut suatu restorasi, perbaikan dari birokrasi abnormal
menjadi normal, dari proses yang sulit menjadi mudah dalam aktivitas usaha.
Lantaran kita masih saja terjebak dalam `kesulitan berusaha' yang
diciptakan pemerintah, tak mengherankan kalau peringkat kemudahan berbisnis
negeri ini selalu dinilai buruk. Belum lama ini, misalnya, International Finance Corporation (IFC) kembali mengumumkan peringkat
kemudahan berusaha (ease of doing
business) di 189 negara. Indonesia berada pada papan bawah dan bahkan
melorot, turun empat poin ke peringkat 120 dari sebelumnya 116. Kita jauh
di bawah Singapura (1), Malaysia (6), Thailand (18), dan hanya lebih tinggi
daripada Kamboja (137), Laos (159), dan Timor Leste (172).
Bersamaan momentumnya dan
sebagai respons atas masalah yang ada, Wapres Boediono mengumumkan paket
kebijakan kemudahan berusaha.
Dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah merilis 17
rencana aksi yang selama ini menjadi sumber kesulitan baik ketika memulai
usaha (starting a business)
maupun operasional (pengembangan usaha) saat mengurus peralihan properti,
akses kredit, dll. Meski terlambat, paket ini tetap perlu disambut, dengan
menelisik titik kritis penerapannya dan mendiskusikan saran perbaikan.
Pilihan prioritas
Tantangannya, seperti biasa, terletak
pada efektivitas implementasi dan monitoring evaluasi. Kita bisa bagus
membuat kebijakan, apalagi jika skalanya paket (yang tentu lebih
komprehensif dan terintegrasi antarelemen isu). Namun, uji sukses suatu
kebijakan adalah eksekusi. Untuk itu, soal strategi menjadi amat penting,
terutama perihal prioritas yang menjadi show case sekaligus titik leverasi.
Semua elemen dalam paket tersebut tentu sama penting. Namun, kerangka waktu
yang terbatas dan bobot masalah menuntut suatu prioritas dalam strategi
implementasi.
Dalam konteks pilihan prioritas,
kita perlu memfokuskan perhatian pada elemen memulai usaha. Pertama, dalam
upaya perbaikan citra global, kinerja indeks `memulai usaha' memiliki
prestise tersendiri dalam komposisi indeks `kemudahan berusaha'. Capaian
bagus dalam elemen memulai usaha ini dianggap punya nilai lebih. Kedua,
kemudahan memulai usaha itu sendiri berarti mudah dalam fase awal berusaha.
Di situ terbentuk kesan pertama, sekaligus menjadi arena yang rentan. Bagi
skala UKM, tantangan serius acap datang di awal, saat membuka usaha.
Ketiga, dalam konteks
desentralisasi di Indonesia, memulai usaha jelas paling kompleks lantaran
melibatkan peran pusat dan daerah. Bahkan, melibatkan profesional swasta
seperti notaris, pengacara, biro jasa, dll. Di sini ada proses relatif
rumit ihwal legalisasi badan usaha dan formalisasinya agar bisa mulai
berusaha secara sah. Keempat, bukti menunjukan bawah fase ini selalu
menjadi eksperimen pemerintah selama 4 tahun terakhir, namun target pokok
yang ditetapkan juga selalu gagal tercapai.
Dari isi paket kebijakan tadi,
upaya mempermudah fase memulai usaha ini berupa; pertama, penyederhaaan
proses pen daftaran tenaga kerja (7 hari) dan kepesertaan Jamsostek (7
hari) menjadi 1 hari simultan. Untuk itu, tindak lanjut pada tataran
instrumentasi kebijakan adalah menyusun peraturan pemerintah (PP) dan
peraturan presiden (perpres) terkait.
Kedua, penyusunan permendag percepatan penerbitan SIUP dan TDP (15 hari)
menjadi 3 hari secara simultan. Ketiga, penerbitan perda PTSP di DKI
Jakarta sebagai basis legal pelimpahan kewenangan dari gubernur kepada
Kepala PTSP. Keempat, revisi UU PT guna meniadakan persyaratan modal dasar
dalam pendirian badan usaha.
Dalam skala lebih kecil,
sebenarnya bukan kali ini saja pemerintah membuat rencana perbaikan
kemudahan berusaha. Tahun 2009, misalnya, empat menteri dan Kepala BKPM
membuat keputusan bersama (SKB) dengan target ambisius; memangkas lama
waktu untuk memulai usaha menjadi hanya 17 hari. Segala proses terkait
pendirian PT ditargetkan selesai 8 hari, penerbitan NPWP dan NPPKP di
Ditjen Pajak 1 hari, penerbitan SIUP dan TDP 3 hari, pendaftaran tenaga
kerja dan kepesertaan Jamsostek 5 hari.
Hasilnya? Jauh panggang dari
api. Tahun 2013, lama waktu memulai usaha di negeri ini ternyata meningkat
dari sebelumnya 47 hari menjadi 48 hari. Adapun prosedur bertambah dari 9
menjadi 10 prosedur untuk seseorang bisa mulai membuka usaha.
Raihan ini sekaligus berarti
bahwa target RKP 2012 yang menetapkan proses memulai usaha di 2013 selama
20 hari tidak tercapai. Dibandingkan tahun lalu di mana peringkat kemudahan
starting a business kita berada pada posisi 171, pada tahun ini malah turun
ke peringkat 175.
Di mana letak masalahnya? Dari
pengalaman/keterlibatan saya dalam melaksanakan studi doing business di
negeri ini, terlihat sejumlah masalah tata kelola kebijakan. Hal ini
sekaligus menjadi simpul sumbatan yang harus dituntaskan dalam pelaksanaan paket
kebijakan terbaru. paket kebijakan terbaru.
Pertama, kebijakan multisektor
seperti ini menuntut otoritas kontrol yang kuat. Nasib SKB menunjukkan
ketika yang bersepakat adalah pejabat selevel (menteri) tidak ada otoritas
superior yang mengawasi kecuali bersandar pada komitmen mereka. Di negeri
ini, komitmen untuk berkoordinasi itu sesuatu yang muskil. Maka, Wapres tak
bi sa hanya mengumumkan dan me masang target, tapi berdasar lapor an
kemajuan yang dibuat UKP4, juga memaksa para pihak yang berjalan lamban dan
mengenakan sanksi tegas (termasuk diumumkan ke media).
Kedua, menimbang bahwa target
realisasi 17 rencana aksi itu adalah Februari 2014, penyusunan kerangka
legal (PP, permen) mesti berjalan paralel dengan persiapan operasional. Jika
alur sekuensial yang dipakai, dengan siklusnya dimulai dari arah kebijakan
dan diikuti implementasi, hingga tenggat, semuanya bisa sulit terwujud. Instrumen
kebijakannya sendiri mungkin juga belum rampung.
Bahkan, hemat saya, beberapa
rencana aksi tak perlu selalu dimulai dari pintu kebijakan lantaran selama
ini sudah ada regulasinya. Hal itu, misalnya, terlihat pada urusan SIUP dan
TDP berdasar Permendag No 36/M-Dag/ Per/9/2007 dan No 37/M-Dag/Per/9/2007. Isunya
sekarang, bagaimana strategi implementasi kedua regulasi yang mewajibkan
pengurusan SIUP/TDP paling lama 3 hari itu bisa terwujud, bukan 15 hari seperti
pratiknya sekarang?
Ketiga, kinerja propinsi DKI
Jakarta menjadi batu uji. Hari ini, pengurusan SIUP/TDP di Ibu Kota ini
masih berlangsung 15 hari kerja. Salah satu sebabnya adalah konstruksi
birokrasi perizinan yang lebih menyerupai model satu atap (PTSA) ketimbang
satu pintu (PTSP). Raihan rencana aksi mungkin hanya terlihat pada poin 3
perihal penerbit an Perda PTSP, tapi butuh kerja keras agar bisa memproses
pengurusan SIUP/TDP dalam tempo 3 hari.
Situasi itu menuntut koor dinasi
erat antara pusat dan Pemerintah Provinsi Jakarta. Level koordinasi bahkan
dimulai dari dorongan agar lekas menuntaskan pembahasan Ranperda PTSP yang
kini berada di Baleg-DPRD. Komitmen politik gubernur/wagub terlihat kuat. Namun,
proses yang lebih sulit masih harus ditempuh untuk memperoleh dukungan
dinas-dinas sektoral dan para politikus di Kebon Sirih (DPRD).
Selanjutnya, agenda yang tak ka
lah peliknya, level persiapan dan implementasi membutuhkan fasilitasi dan
asistensi intensif sejak tahap peralihan urusan perizinan hingga business process-nya di institusi
baru (PTSP). Daya tampung dan daya kelola institusi tersebut bisa terjamin
jika didukung upaya penguatan kapasitas kelembagaan dan perubahan budaya
pelayanan di kalangan birokrat terkait.
Semua hal itu menunjukan bahwa
paket kebijakan adalah satu hal, tetapi realisasinya bisa menjadi hal lain
atau hal lanjutan yang jauh lebih krusial. Reformasi birokrasi dan sektor
publik secara umum maupun strategi implementasi dan pengawasan adalah kata
kunci. Dalam konteks kemudahan berusaha, salah satu faktor penentu di
dalamnya adalah kekuatan otoritas wapres untuk memastikan semua pihak
bergerak dalam langgam selaras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar