Selasa, 10 Desember 2013

Rakyat Menggugat Integritas

Rakyat Menggugat Integritas
M Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  09 Desember 2013
  

Sebuah seminar diselenggarakan di Hotel Arya Duta, Jumat, 6 Desember lalu, oleh kantor Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan, ASPUK, Seknas Fitra, dan LSPP. dengan tema ‘Rakyat Menggugat Integritas”. 

Para pembicara, bahkan para bupati yang hadir, tiba-tiba dijadikan pembicara juga, menyorot banyak persoalan mengenai integritas. Begitu juga pidato pejabat yang mewakili menteri dalam negeri. Pagi itu, integritas ditinjau dari sangat banyak segi. Dr Agung Djojosoekarto dari Kemitraan mengingatkan, kita semua pembayar pajak. Gelandangan pun membayar pajak. Dari setiap lemper kecil yang disajikan di seminar itu pun sudah dikenai pajak. Layak rakyat menuntut integritas para pejabat, dan meminta pelayanan yang baik. 

Almukarom, Bang Ridwan Saidi, mengingatkan dua hal penting: Satu, jangan memilih pemimpin sekedar karena memesona, karena merakyat, karena tampil sederhana. Rakyat tak boleh terkecoh oleh sikap merakyat. Dua, korupsi di Bank Century. Bang Ridwan menyebut jelas-jelas—sesuatu yang sudah disebut banyak kalangan, secara umum, termasuk media—nama Boediono sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. 

Dia juga menyebut bahwa Bank Century tak ada hubungannya dengan Bank Mutiara. Kita semua ingat, talangan dilakukan dengan menggunakan uang negara. Jumlahnya, aduhai besarnya: Rp6,7 triliun rupiah. Tapi Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku yang dia keluarkan hanya Rp625 miliar. Kita semua masih ingat, kabarnya uang itu buat menyelamatkan negara dari krisis sistemik, yang lebih serius dari krisis 1997. 

Wakil Presiden Boediono selalu mengatakan ini di mana pun dan diulang-ulang terus, meskipun makin kecil jumlah orang yang percaya pada alasan itu. Kita sudah tahu, uang itu sulit diharapkan kembali. Dalam seminar dua hari lalu itu, ada yang tampak menarik: korupsi itu disorot kembali dengan perspektif integritas, yang dinanti-nantikan dengan penuh kesabaran oleh rakyat, tapi integritas itu begitu mencemaskan. Kita dibuat seperti menunggu godot. 

Dalam terminologi dunia sastra pedalangan, kita menunggu tenggelamnya perahu gabus, dan munculnya kembali batu hitam ke permukaan air. Kita menunggu dan menunggu. Kita, kalangan civil society, jelas tak sekadar menunggu. Berbagai cara kita tempuh. Banyak organisasi civil society bergabung dalam gagasan, dalam program, untuk membikin pemerintahan menjadi lebih demokratis. Banyak cara kita tempuh untuk menjauhkan pemerintah dan masyarakat agar tak terjangkit korupsi. 

KPK diperkuat. KPU didukung untuk menjadi lebih otonom. Begitu juga berbagai lembaga lain, yang mengawal, dengan penuh tanggung jawab, jalannya pemerintahan. Namun, birokrasi pemerintahan sudah terbiasa dengan cara hidup mereka sendiri. Mereka sudah memiliki suatu tradisi mapan, kukuh, dan tak tergoyahkan. Selebihnya, di sana sudah dilembagakan, menyimpang tidak kelihatan menyimpang. 

Penggelapan uang rakyat dibuat seolah bukan penggelapan. Pengawalan civil society terengah-engah. Jago menggelapkan uang rakyat tak bisa dihentikan begitu saja. Penggelapan, penyimpangan, dan usaha memperkaya diri dan kawankawannya, tetap berjalan dengan baik. Ada bahkan pejabat yang melibatkan keluarganya tanpa rasa malu. Ada pejabat muda yang mengajak istrinya terlibat korup tanpa mengalami konflik nilai. 

Berpeci, berjubah, bicara lembut, sesopan rohaniwan, tapi tak mengalami benturan nilai apa pun, dan tak mengalami suatu ironi ketika korupsi. Ketika yang bersangkutan ditangkap, para sahabat, kawankawan, senior dan junior, mengunjunginya, memperkuat jiwanya. 

Kawan yang lain didatangi, dan kemudian ganti mendatanginya, untuk memperkuat jiwanya. Apa yang diperkuat? Menggelapkan uang negara itu tak perlu disesali? Menjadi kaya raya selama menjabat tak perlu malu, meskipun dia datang dari latar belakang keluarga miskin? Kita kehilangan kemampuan untuk merasa malu.

Moderator yang lebih suka berbicara tentang dirinya sendiri, dan menghabiskan waktu untuk membuat lelucon yang tak relevan dengan tema seminar, memberi saya waktu tiga menit untuk berbicara. Bagi saya, integritas itu barang yang tak ada di sekitar kita. Dia ada di dalam alam mistis, yaitu di dalam kesadaran dongeng-dongeng, dalam aspirasi kultural,yang bersifat ideologis. 

Tapi pelanpelan kita mengapitalisasikannya dengan baik, untuk dihadirkan di dalam kehidupan sehari- hari di dalam masyarakat, di dalam dunia bisnis, di dalam organisasi keagamaan dan komunitas rohaniah lainnya. Juga— dan ini yang lebih utama—di dalam tata pemerintahan. Kita berbagi aspirasi agar para pejabat menyerap makna integritas itu bukan hanya ketika di kantor, sebagai pejabat, melainkan juga ketika menjadi dirinya sendiri. 

Pada saat diangkat, pejabat harus menandatangani apa yang disebut “pakta integritas”. Di mana saja pejabat melakukannya. Lalu kita merasa bahwa integritas itu ada. Lalu kita menuntut perwujudannya dalam hidup. Kita menuntut pelaksanaannya. Ini yang salah. Mereka “disuruh”, “dipaksa” menandatangani pakta integritas karena integritas itu tidak ada. Jadi jangan dituntut dulu. Kita sedang menyemai benihnya. Benih itu belum tumbuh. Jadi tak bisa dituntut. Banyak tokoh menipu kita. 

Tampilan pribadinya sok baik. Integritas moral-politik pribadinya sok bersih. Tapi integritas moral-politiknya secara sosial sangat buruk. Citra pribadi yang baik itu belum tentu baik. Citra sosialnya yang buruk, dan compang-camping? Itu jelas keburukan. Buat apa memberinya “trust” untuk menjadi pemimpin? Integritas apa yang diharapkan dari orang jenis ini? Pejabat diundang seminar tidak hadir. Ini tanda integritas sosial buruk. 

Dia tidak siap berhadapan dengan publik. Yang bisa hadir? Rata-rata pidato—menceramahi hadirin—lalu amblas. Dia lupa, hadirin tak butuh ceramahnya. Dia yang harus mendengar ceramah orang lain. Dia yang harus belajar mendengar suara rakyat. Ini keharusan politik, dan bukan main-main. Kecenderungan pejabat, sejak zaman dulu, habis pidato pergi. Seolah hanya dia yang sibuk. Tapi kesibukan itu mana hasilnya? Apa yang melegakan masyarakat? Untuk sekadar sibuk, manusia tak perlu menjadi pejabat negara. 

Layak kita bertanya: di mana integritas moral-politik mereka? Tampil sopan, lemah lembut, berpeci, berjubah, bukan tanda integritas. Sudah terbukti, ternyata semua itu tanda keterampilan mengelabui mata publik. serigala, anjing hutan, celeng, badak, macam tutul, singa, semua berselimut bulu domba. Semua merampas hak kita untuk sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar