Sebuah
seminar diselenggarakan di Hotel Arya Duta, Jumat, 6 Desember lalu, oleh
kantor Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan, ASPUK, Seknas Fitra,
dan LSPP. dengan tema ‘Rakyat Menggugat Integritas”.
Para pembicara, bahkan para bupati yang hadir, tiba-tiba dijadikan pembicara
juga, menyorot banyak persoalan mengenai integritas. Begitu juga pidato
pejabat yang mewakili menteri dalam negeri. Pagi itu, integritas ditinjau
dari sangat banyak segi. Dr Agung Djojosoekarto dari Kemitraan
mengingatkan, kita semua pembayar pajak. Gelandangan pun membayar pajak.
Dari setiap lemper kecil yang disajikan di seminar itu pun sudah dikenai
pajak. Layak rakyat menuntut integritas para pejabat, dan meminta pelayanan
yang baik.
Almukarom, Bang Ridwan Saidi, mengingatkan dua hal penting: Satu, jangan
memilih pemimpin sekedar karena memesona, karena merakyat, karena tampil
sederhana. Rakyat tak boleh terkecoh oleh sikap merakyat. Dua, korupsi di
Bank Century. Bang Ridwan menyebut jelas-jelas—sesuatu yang sudah disebut
banyak kalangan, secara umum, termasuk media—nama Boediono sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab.
Dia juga menyebut bahwa Bank Century tak ada hubungannya dengan Bank
Mutiara. Kita semua ingat, talangan dilakukan dengan menggunakan uang
negara. Jumlahnya, aduhai besarnya: Rp6,7 triliun rupiah. Tapi Menteri
Keuangan Sri Mulyani mengaku yang dia keluarkan hanya Rp625 miliar. Kita
semua masih ingat, kabarnya uang itu buat menyelamatkan negara dari krisis
sistemik, yang lebih serius dari krisis 1997.
Wakil Presiden Boediono selalu mengatakan ini di mana pun dan diulang-ulang
terus, meskipun makin kecil jumlah orang yang percaya pada alasan itu. Kita
sudah tahu, uang itu sulit diharapkan kembali. Dalam seminar dua hari lalu
itu, ada yang tampak menarik: korupsi itu disorot kembali dengan perspektif
integritas, yang dinanti-nantikan dengan penuh kesabaran oleh rakyat, tapi
integritas itu begitu mencemaskan. Kita dibuat seperti menunggu godot.
Dalam terminologi dunia sastra pedalangan, kita menunggu tenggelamnya perahu
gabus, dan munculnya kembali batu hitam ke permukaan air. Kita menunggu dan
menunggu. Kita, kalangan civil
society, jelas tak sekadar menunggu. Berbagai cara kita tempuh. Banyak
organisasi civil society bergabung
dalam gagasan, dalam program, untuk membikin pemerintahan menjadi lebih
demokratis. Banyak cara kita tempuh untuk menjauhkan pemerintah dan
masyarakat agar tak terjangkit korupsi.
KPK diperkuat. KPU didukung untuk menjadi lebih otonom. Begitu juga
berbagai lembaga lain, yang mengawal, dengan penuh tanggung jawab, jalannya
pemerintahan. Namun, birokrasi pemerintahan sudah terbiasa dengan cara
hidup mereka sendiri. Mereka sudah memiliki suatu tradisi mapan, kukuh, dan
tak tergoyahkan. Selebihnya, di sana sudah dilembagakan, menyimpang tidak kelihatan
menyimpang.
Penggelapan uang rakyat dibuat seolah bukan penggelapan. Pengawalan civil society terengah-engah. Jago
menggelapkan uang rakyat tak bisa dihentikan begitu saja. Penggelapan,
penyimpangan, dan usaha memperkaya diri dan kawankawannya, tetap berjalan
dengan baik. Ada bahkan pejabat yang melibatkan keluarganya tanpa rasa
malu. Ada pejabat muda yang mengajak istrinya terlibat korup tanpa
mengalami konflik nilai.
Berpeci, berjubah, bicara lembut, sesopan rohaniwan, tapi tak mengalami
benturan nilai apa pun, dan tak mengalami suatu ironi ketika korupsi.
Ketika yang bersangkutan ditangkap, para sahabat, kawankawan, senior dan
junior, mengunjunginya, memperkuat jiwanya.
Kawan yang lain didatangi, dan kemudian ganti mendatanginya, untuk memperkuat
jiwanya. Apa yang diperkuat? Menggelapkan uang negara itu tak perlu
disesali? Menjadi kaya raya selama menjabat tak perlu malu, meskipun dia
datang dari latar belakang keluarga miskin? Kita kehilangan kemampuan untuk
merasa malu.
Moderator yang lebih suka berbicara tentang dirinya sendiri, dan
menghabiskan waktu untuk membuat lelucon yang tak relevan dengan tema
seminar, memberi saya waktu tiga menit untuk berbicara. Bagi saya,
integritas itu barang yang tak ada di sekitar kita. Dia ada di dalam alam
mistis, yaitu di dalam kesadaran dongeng-dongeng, dalam aspirasi
kultural,yang bersifat ideologis.
Tapi pelanpelan kita mengapitalisasikannya dengan baik, untuk dihadirkan di
dalam kehidupan sehari- hari di dalam masyarakat, di dalam dunia bisnis, di
dalam organisasi keagamaan dan komunitas rohaniah lainnya. Juga— dan ini
yang lebih utama—di dalam tata pemerintahan. Kita berbagi aspirasi agar
para pejabat menyerap makna integritas itu bukan hanya ketika di kantor,
sebagai pejabat, melainkan juga ketika menjadi dirinya sendiri.
Pada saat diangkat, pejabat harus menandatangani apa yang disebut “pakta
integritas”. Di mana saja pejabat melakukannya. Lalu kita merasa bahwa
integritas itu ada. Lalu kita menuntut perwujudannya dalam hidup. Kita
menuntut pelaksanaannya. Ini yang salah. Mereka “disuruh”, “dipaksa”
menandatangani pakta integritas karena integritas itu tidak ada. Jadi
jangan dituntut dulu. Kita sedang menyemai benihnya. Benih itu belum
tumbuh. Jadi tak bisa dituntut. Banyak tokoh menipu kita.
Tampilan pribadinya sok baik. Integritas moral-politik pribadinya sok
bersih. Tapi integritas moral-politiknya secara sosial sangat buruk. Citra
pribadi yang baik itu belum tentu baik. Citra sosialnya yang buruk, dan
compang-camping? Itu jelas keburukan. Buat apa memberinya “trust” untuk
menjadi pemimpin? Integritas apa yang diharapkan dari orang jenis ini?
Pejabat diundang seminar tidak hadir. Ini tanda integritas sosial buruk.
Dia tidak siap berhadapan dengan publik. Yang bisa hadir? Rata-rata
pidato—menceramahi hadirin—lalu amblas. Dia lupa, hadirin tak butuh
ceramahnya. Dia yang harus mendengar ceramah orang lain. Dia yang harus
belajar mendengar suara rakyat. Ini keharusan politik, dan bukan main-main.
Kecenderungan pejabat, sejak zaman dulu, habis pidato pergi. Seolah hanya
dia yang sibuk. Tapi kesibukan itu mana hasilnya? Apa yang melegakan
masyarakat? Untuk sekadar sibuk, manusia tak perlu menjadi pejabat negara.
Layak kita bertanya: di mana integritas moral-politik mereka? Tampil sopan,
lemah lembut, berpeci, berjubah, bukan tanda integritas. Sudah terbukti,
ternyata semua itu tanda keterampilan mengelabui mata publik. serigala,
anjing hutan, celeng, badak, macam tutul, singa, semua berselimut bulu
domba. Semua merampas hak kita untuk sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar