Hari ini, 9
Desember, kita tengah memperingati hari antikorupsi. Boleh jadi, bagi
sebagian orang, peringatan ini tak begitu penting. Namun bagi mereka yang
prihatin melihat meluasnya praktik korupsi, peringatan ini menjadi penting.
Misalnya peringatan ini menjadi momentum untuk
melakukan refleksi agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, dalam konteks yang
lebih mendasar, suasana peringatan ini sekaligus menjadi bukti bahwa nafas
dan denyut melawan korupsi tetap dibangunkan dan dipelihara. Dalam konteks
tersebut, bagi Indonesia, peringatan hari antikorupsi tahun ini menjadi
begitu penting karena salah satu agenda yang menjadi roh era reformasi
harus dievaluasi dan dilihat dengan kritis secara terus-menerus.
Apalagi, sepanjang tahun ini terkuak praktik
korupsi di beberapa institusi negara yang sebetulnya berada dalam posisi
bertanggung jawab untuk menghentikan laju korupsi. Dilihat dari segi indeks
persepsi korupsi, tidak ada kemajuan (stagnan) yang dicapai Indonesia
karena angka tahun ini sama dengan tahun lalu, yaitu dengan skor 32.
Apabila dikaitkan dengan iklim politik yang akan dihadapi pada tahun 2014,
boleh jadi, situasinya tidak akan banyak berubah.
Bahkan, bukan tidak mungkin situasinya akan
menjadi jauh lebih buruk. Salah satu penyebabnya, rangkaian agenda politik
tahun depan sangat potensial mengacaukan ritme pemberantasan korupsi.
Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan: bagaimana menjaga asa melawan
korupsi di tengah iklim politik yang cenderung tidak memihak kepada agenda
pemberantasan korupsi?
Political
Will
Jika ditelusuri jejak upaya melawan praktik
korupsi di negeri ini, sulit dinafikan, periode 1998–2002 dapat dikatakan
periode puncak terciptanya dukungan politik (political will) atas agenda
pemberantasan korupsi. Dalam periode tersebut, MPR pernah mengeluarkan
produk hukum yang secara implisit menyatakan korupsi sebagai “barangharam”.
Tidak cukup dengan produk hukum berupa
ketetapan MPR, pada periode itu pula hadir sebuah undang-undang yang secara
eksplisit menghendaki penyelenggara negara bebas dan bersih dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Bukti paling menonjol kuatnya political willmelawan
korupsi ketika itu, pengesahan Undang- UndangNo 31Tahun1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/ 1999).
Masih merasa kurang dengan substansi yang ada,
dalam tenggat waktu yang relatif singkat, UU No 31/1999 direvisi dengan UU
No 20/ 2002. Lalu, dengan alasan untuk melakukan pemberantasan korupsi
dengan cara-cara luar biasa (extraordinary), undang-undang tersebut
memerintahkan pembentukan sebuah lembaga khusus yang diwadahi oleh
Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK).
Perkembangan tersebut menunjukkan satu hal
penting: dukungan politik menjadi faktor kunci dalam memberantas korupsi.
Bahkan, jamak diketahui, bagi negara-negara yang praktik korupsi sangat
masif, dukungan politik dari lembaga perwakilan menjadi modal utama dalam
memberantas korupsi. Karena itu, sulit dibayangkan, sekiranya tidak ada
produk hukum tersebut, salah satu amanat perubahan politik yang terjadi
pada 1998 tidak mungkin direalisasikan.
Namun demikian, waktu seperti mulai hendak
mengubah segalanya. Dalam beberapa waktu terakhir, dukungan politik untuk
memberantas korupsi mulai meluruh. Upaya pemberantasan korupsi yang
dilakukan KPK dilihat sebagai ancaman serius bagi sebagian penyelenggara
negara. Bukan tidak mungkin, karena pandangan demikian, dalam beberapa
tahun terakhir, KPK seperti mendayung di antara dua karang. Pada salah satu
sisi, KPK harus melakukan pemberantasan korupsi yang semakin masif.
Sementara di sisi lain, lembaga ini harus
tetap bertahan di tengah tekanan politik yang begitu besar. Padahal, Jon ST
Quah dalam bukunya Curbing Corruption
in Asian Countries: An Impossible Dream? (2013), menyatakanbahwa
lemahnya dukungan politik sebagai penyebab korupsi paling penting. Jika
pemimpin politik suatu negara tidak komit, upaya pemberantasan korupsi
sulit mendapatkan hasil.
Bahkan, tambah Quah, sejumlah fakta
menunjukkan, jangankan dukungan politik, sebagian politisi justru berubah
menjadi bandit-bandit ambisius yang secara politik tidak hanya melenggang
dengan harta hasil jarahan, tetapi juga menginvestasikan harta tersebut
demi kekuasaan di masa datang.
Menjaga Asa
Di tengah melemahnya dukungan politik, KPK
tetap menjadi institusi utama desain besar pemberantasan korupsi dalam
menjaga mempertahankan asa melawan korupsi. Bagi sejumlah kalangan yang
concernterhadap agenda pemberantasan korupsi, resistensi besar dan nyaris
tak bertepi, misalnya, dari sejumlah politisi menunjukkan bahwa KPK relatif
berhasil membuktikan tujuan awal pembentukannya.
Paling tidak, sampai saat ini, KPK mampu
menjamah sebagian besar lokus praktik korupsi yang selama ini nyaris tak
tersentuh penegakan hukum secara konvensional. Namun di titik itu, asa
melawan korupsi akan terjaga jika KPK mampu membuktikan menuntaskan semua
skandal yang menjadi perhatian publik saat ini. Misalnya penanganan korupsi
Hambalang, KPK harus mampu membongkar semua jejaring yang terlibat dalam
skandal ini.
Menyimak perkembangan yang terjadi, tidak
terlalu keliru untuk mengatakan bahwa KPK masih belum mampu bergerak dan
menerobos jauh guna menguak semua pelaku yang menikmati uang panas
Hambalang. Bahkan, bukan tidakmungkin,“ pemain” Hambalang memiliki titik
singgung dengan tebaran korupsi lainnya. Selain Hambalang, penyelesaian
Bank Century menjadi semacam faktor kunci lainnya dalam memelihara asa
melawan korupsi.
Sebagai sebuah kejahatan yang terkategori
megaskandal, penyelesaian Century menjadi janji sejarah untuk dituntaskan.
Sekiranya KPK gagal menuntaskan ini, kejahatan serupa sangat mungkin
terjadi di masa-masa mendatang. Sama dengan Hambalang, KPK harus mampu
menjangkau aktor utama di balik skandal bailout Bank Century ini. Karena
itu, jangan biarkan penyelesaian Century menjadi utang sejarah yang tak
pernah bisa terselesaikan.
Bukan hanya KPK, asa pemberantasan korupsi
juga akan kian tumbuh jika semua lembaga yang berada di wilayah penegakan
hukum mampu secara tepat memahami betapa besarnya bahaya korupsi. Untuk
itu, kepolisian dan kejaksaan, harus menunjukkan diri mampu bergerak lebih
cepat dalam memberantas korupsi. Jika selama ini langkah kedua institusi
ini seperti tenggelam oleh KPK, ke depan harus ada komitmen kuat untuk
bergerak melebihi kecepatan saat ini.
Untuk ini, dalam beberapa kasus, Mahkamah
Agung telah mulai membuktikan bahwa penegakan hukum pemberantasan korupsi
harus mampu menjadi kabar pertakut. Beberapa putusan pengadilan yang
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung mendapat tambahan hukuman. Paling tidak,
putusan kasasi Angelina Sondakh memberikan pesan kuat bahwa koruptor tidak
cukup hanya dijatuhkan hukuman badan yang berat, tetapi juga harus
dimiskinkan.
Banyak kalangan percaya, sekiranya semua
penegak hukum hadir dengan komitmen yang sama, laju praktik korupsi pasti
bisa dihentikan. Artinya, asa melawan korupsi tidak boleh berhenti. Selamat hari antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar