Sabtu, 07 Desember 2013

Pilkada DPRD Sarat Transaksi

Pilkada DPRD Sarat Transaksi
Iwan Fauzi  ;   Mahasiswa Program Doktoral UI, Mantan Anggota DPRD Jawa Barat
KORAN JAKARTA,  07 Desember 2013

  

Belakangan, Kemendagri begitu bersemangat menyuarakan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) lewat DPRD di berbagai media. Dapat dimaklumi, hasrat besar pilkada lewat DPRD sebelumnya memang telah berulang kali dilontarkan "bos besar" pengurus birokrasi pemerintahan, Mendagri Gamawan Fauzi. 

Secara tidak langsung, "bawahan" Mendagri terpanggil ikut mendorong gagasan tersebut benar-benar terealisasi. 

Agar nalar gagasan tersebut diterima, dikampanyekan beberapa data dan asumsi argumentatif guna melemahkan pilkada langsung selama satu dasawarsa ini. Dari tahun 2005, terjadi lebih dari 850 kasus sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitus (MK). Selain itu, pilkada langsung dianggap mahal, banyak menelan korban jiwa, politik uang, dan sebagainya. 

Jika menggunakan analisis strengths, weaknesses, opportunities, dan threats model Albert Humphrey (1926–2005) dari Stanford Research Institute, sudut pandang Kemendagri terlalu sempit karena menilai dari segi weaknesses (kelemahan) belaka. Artinya, Kemendagri ingin meruntuhkan proses demokrasi pilkada yang diterapkan dengan advokasi yang lazim digunakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Timbul kesan pilkada langsung "tidak menguntungkan" Kemendagri, dan seolah-olah Mendagri hanya tukang lantik kepala daerah. Agar Kemendagri punya daya cengkeram kekuasaan di daerah (provinsi/kabupaten/kota), jalan mulus harus lewat pilkada DPRD. Iktikad tersembunyi Kemendagri tampaknya mulai mencuat.

Jika diingat masa lalu, betapa hebatnya kekuasaan desentralisasi pemerintah daerah dengan perangkat Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999. Ketika UU tersebut dilaksanakan, terdengar banyak pejabat di Kemendagri guncang karena kehilangan kekuasaan untuk mengontrol daerah, terutama soal APBD. Karena "kering-"nya kekuasaan pusat, bukan rahasia umum, banyak pejabat Kemendagri di Jakarta ingin mutasi ke daerah. 

Tak berlangsung lama, rupanya desentralisasi melahirkan banyak dinamika korupsi APBD. Akhirnya UU Otonomi Daerah bermetamorforsis dengan variabel peraturan pemerintah (PP) menjurus pengikisan desentralisasi yang kini perlahan menjadi resentralisasi. Salah satu contoh birokrasi sentralistik ialah APBD provinsi yang digodok DPRD selanjutnya mesti diotorisasi Kemendagri. Itulah sebabnya, tatkala APBD/APBD perubahan provinsi akan disahkan, banyak pejabat daerah mondar-mandir ke Kemendagri di Jakarta. 

Transaksi

Sebelum tahun 2005, memang pilkada dilakukan lewat DPRD. Dengan kata lain, calon kepala/wakil kepala daerah hanya boleh dicalonkan partai politik (parpol) dengan tangannya di fraksi DPRD. Selanjutnya, hanya DPRD yang memunyai hak pilih untuk menjagokan kandidat kepala daerah.
Dari pengalaman yang saya alami sebagai pemimpin salah satu fraksi, ternyata pilkada DPRD sarat transaksi. 

Secara kasat mata, sekurangnya terdapat dua jenis transaksi yang mencolok. Pertama, terjadi politik uang (money politics) mahahebat. Memang betul biaya pilkada lewat DPRD relatif murah. Calon kepala daerah hanya memerlukan beberapa kali biaya lobi politik dengan pemimpin parpol dan anggota DPRD. Jika parpol yang mengusungnya memiliki lebih dari setengah jumlah anggota DPRD, otomatis terpilih sebagai kepala daerah.

Selain itu, seorang kandidat kepala daerah berkantong tebal, meski diusung parpol kecil, bisa saja berpeluang besar menjadi kepala daerah asal mampu membeli suara. Tak jarang seorang anggota DPRD dihargai puluhan juta hingga miliaran rupiah. Berseliweran juga investor politik membawa fresh money. Bahkan kerap terjadi keretakan politik internal parpol karena anggota fraksinya missing in action, nyeleweng dari instruksi parpolnya lantaran tergiur uang suap. 

Kedua, terjadi transaksi jabatan. Hal ini melibatkan aparat birokrasi dan nonbirokrasi. Aparat pemda sering tergoda dengan jabatan-jabatan strategis, misalnya sekretaris daerah, kepala dinas, kepala biro, dan kepala badan lainnya. Selain itu, ada jabatan nonbirokrasi setingkat kepala BUMD yang kini berubah menjadi perseroan. Lalu tentu saja semua jabatan itu tidak gratis. Mereka bisa dibeli dalam proses pilkada DPRD. 

Keinginan Kemendagri mengembalikan sistem pilkada ke DPRD merupakan langkah mundur. Padahal pilkada langsung merupakan edukasi dan partisipasi politik yang relatif sukar diintervensi atau dipengaruhi pihak lain. Artinya, semangat reformasi diwujudkan tanpa pengkhianatan demokrasi rakyat.

Lantas, apakah pilkada DPRD dapat berkonstribusi bagi perkembangan pemda lebih baik dari pilkada langsung yang dipilih rakyat? Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjamin prediksi salah satu di antara kedua sistem pilkada tersebut lebih baik.

Kejahatan politik harus diminimalkan lewat sistem. Penyuapan sengketa pilkada di MK, misalnya, terjadi bukan karena sistem pilkada yang salah, melainkan aparat penegak hukum yang korup. Begitu pula rentetan peristiwa kecurangan dalam proses pilkada langsung, umumnya karena petugas pemilu tidak mampu menjaga kredibilitas.

Indonesia harus terus mendidik demokrasi kepada rakyat lewat implementasi pemilihan langsung. Ini sebagai edukasi politik rakyat. Sistem demokrasi pemilihan langsung mulai dari kepala desa, wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden telah membuat rakyat melek politik. Mereka telah belajar berdemokrasi dengan baik. Wajar bila masih banyak kekurangan. Ini yang harus terus-menerus diperbaiki dari hari ke hari agar mendekati sempurna. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar