Belakangan, Kemendagri begitu bersemangat menyuarakan
pemilihan umum kepala daerah (pilkada) lewat DPRD di berbagai media. Dapat
dimaklumi, hasrat besar pilkada lewat DPRD sebelumnya memang telah berulang
kali dilontarkan "bos besar" pengurus birokrasi pemerintahan,
Mendagri Gamawan Fauzi.
Secara tidak langsung, "bawahan"
Mendagri terpanggil ikut mendorong gagasan tersebut benar-benar
terealisasi.
Agar nalar gagasan tersebut diterima,
dikampanyekan beberapa data dan asumsi argumentatif guna melemahkan pilkada
langsung selama satu dasawarsa ini. Dari tahun 2005, terjadi lebih dari 850
kasus sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitus (MK). Selain itu, pilkada
langsung dianggap mahal, banyak menelan korban jiwa, politik uang, dan
sebagainya.
Jika menggunakan analisis strengths,
weaknesses, opportunities, dan threats model Albert Humphrey (1926–2005)
dari Stanford Research Institute, sudut pandang Kemendagri terlalu sempit
karena menilai dari segi weaknesses (kelemahan) belaka. Artinya, Kemendagri
ingin meruntuhkan proses demokrasi pilkada yang diterapkan dengan advokasi
yang lazim digunakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Timbul kesan pilkada langsung "tidak
menguntungkan" Kemendagri, dan seolah-olah Mendagri hanya tukang
lantik kepala daerah. Agar Kemendagri punya daya cengkeram kekuasaan di
daerah (provinsi/kabupaten/kota), jalan mulus harus lewat pilkada DPRD.
Iktikad tersembunyi Kemendagri tampaknya mulai mencuat.
Jika diingat masa lalu, betapa hebatnya
kekuasaan desentralisasi pemerintah daerah dengan perangkat Undang-Undang
Otonomi Daerah Tahun 1999. Ketika UU tersebut dilaksanakan, terdengar
banyak pejabat di Kemendagri guncang karena kehilangan kekuasaan untuk
mengontrol daerah, terutama soal APBD. Karena "kering-"nya
kekuasaan pusat, bukan rahasia umum, banyak pejabat Kemendagri di Jakarta
ingin mutasi ke daerah.
Tak berlangsung lama, rupanya desentralisasi
melahirkan banyak dinamika korupsi APBD. Akhirnya UU Otonomi Daerah
bermetamorforsis dengan variabel peraturan pemerintah (PP) menjurus
pengikisan desentralisasi yang kini perlahan menjadi resentralisasi. Salah
satu contoh birokrasi sentralistik ialah APBD provinsi yang digodok DPRD
selanjutnya mesti diotorisasi Kemendagri. Itulah sebabnya, tatkala
APBD/APBD perubahan provinsi akan disahkan, banyak pejabat daerah
mondar-mandir ke Kemendagri di Jakarta.
Transaksi
Sebelum tahun 2005, memang pilkada dilakukan
lewat DPRD. Dengan kata lain, calon kepala/wakil kepala daerah hanya boleh
dicalonkan partai politik (parpol) dengan tangannya di fraksi DPRD.
Selanjutnya, hanya DPRD yang memunyai hak pilih untuk menjagokan kandidat
kepala daerah.
Dari pengalaman yang saya alami sebagai
pemimpin salah satu fraksi, ternyata pilkada DPRD sarat transaksi.
Secara kasat mata, sekurangnya terdapat dua
jenis transaksi yang mencolok. Pertama, terjadi politik uang (money politics) mahahebat. Memang
betul biaya pilkada lewat DPRD relatif murah. Calon kepala daerah hanya
memerlukan beberapa kali biaya lobi politik dengan pemimpin parpol dan
anggota DPRD. Jika parpol yang mengusungnya memiliki lebih dari setengah
jumlah anggota DPRD, otomatis terpilih sebagai kepala daerah.
Selain itu, seorang kandidat kepala daerah
berkantong tebal, meski diusung parpol kecil, bisa saja berpeluang besar
menjadi kepala daerah asal mampu membeli suara. Tak jarang seorang anggota
DPRD dihargai puluhan juta hingga miliaran rupiah. Berseliweran juga
investor politik membawa fresh money. Bahkan kerap terjadi keretakan
politik internal parpol karena anggota fraksinya missing in action,
nyeleweng dari instruksi parpolnya lantaran tergiur uang suap.
Kedua, terjadi transaksi jabatan. Hal ini
melibatkan aparat birokrasi dan nonbirokrasi. Aparat pemda sering tergoda
dengan jabatan-jabatan strategis, misalnya sekretaris daerah, kepala dinas,
kepala biro, dan kepala badan lainnya. Selain itu, ada jabatan nonbirokrasi
setingkat kepala BUMD yang kini berubah menjadi perseroan. Lalu tentu saja
semua jabatan itu tidak gratis. Mereka bisa dibeli dalam proses pilkada
DPRD.
Keinginan Kemendagri mengembalikan sistem
pilkada ke DPRD merupakan langkah mundur. Padahal pilkada langsung
merupakan edukasi dan partisipasi politik yang relatif sukar diintervensi
atau dipengaruhi pihak lain. Artinya, semangat reformasi diwujudkan tanpa
pengkhianatan demokrasi rakyat.
Lantas, apakah pilkada DPRD dapat
berkonstribusi bagi perkembangan pemda lebih baik dari pilkada langsung
yang dipilih rakyat? Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjamin
prediksi salah satu di antara kedua sistem pilkada tersebut lebih baik.
Kejahatan politik harus diminimalkan lewat
sistem. Penyuapan sengketa pilkada di MK, misalnya, terjadi bukan karena
sistem pilkada yang salah, melainkan aparat penegak hukum yang korup.
Begitu pula rentetan peristiwa kecurangan dalam proses pilkada langsung,
umumnya karena petugas pemilu tidak mampu menjaga kredibilitas.
Indonesia harus terus mendidik demokrasi
kepada rakyat lewat implementasi pemilihan langsung. Ini sebagai edukasi
politik rakyat. Sistem demokrasi pemilihan langsung mulai dari kepala desa,
wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden telah membuat rakyat melek
politik. Mereka telah belajar berdemokrasi dengan baik. Wajar bila masih
banyak kekurangan. Ini yang harus terus-menerus diperbaiki dari hari ke
hari agar mendekati sempurna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar