INDONESIA direncanakan hendak
meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Secara substansial, pengendalian tembakau tentu patut
didukung, terlebih bila pengaruh tembakau dapat membahayakan generasi muda
Indonesia. Namun, apakah Indonesia perlu untuk meratifikasi FCTC?
Pengambil kebijakan di Republik
ini patut memahami bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara
tertentu kerap dijadikan instrumen yang menggantikan kolonialisme. Bukan
lagi rahasia bahwa melalui perjanjian internasional suatu negara dapat
mengendalikan negara lain. Bahkan lebih jauh lagi dapat melakukan
intervensi kedaulatan hukum.
Pascaturut sertanya suatu negara
ikut dalam suatu perjanjian internasional, adalah kewajiban negara tersebut
untuk menerjemahkan norma yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam
hukum nasional. Adalah sangat berbahaya, bila perjanjian internasional
dirancang oleh negara-negara tertentu dengan tujuan agar negara lain yang
menjadi peserta akan mengikuti norma yang dianut dari negara tersebut.
Banyak pengalaman
Indonesia memiliki banyak
pengalaman terkait dengan hal itu. Undang-undang (UU) di bidang Hak atas
Kekayaan Intelektual (Haki) diamendemen bukan karena kesadaran masyarakat
Indonesia meningkat sangat tajam, melainkan likk karena ada kewajiban dalam
perjanjian Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO) untuk menyesuaikan. Padahal
ketentuan Haki yang terdapat dalam WTO dibuat berdasarkan sistem hukum dan
praktik dari negaranegara maju.
Bahkan negara maju dalam
merancang ketentuan tentang Haki dalam WTO Agreement memiliki ke pen tingan
agar kekayaan intelektual para pelaku usahanya dilindungi dan agar tidak
mudah dibajak oleh berbagai pihak di negara berkembang.
Pengalaman di bidang Haki ini
bukannya tidak mungkin berlaku juga di FCTC. Tentu saja harus diselidiki
secara serius negara mana yang memulai dan merancang FCTC. Apakah negara
tersebut memiliki kepentingan? Kalau memiliki kepentingan, harus dicari apa
yang dimiliki oleh negara tersebut?
Apakah agar masyarakat terhindar dari
bahaya tembakau? Atau agar industri dalam negerinya tidak terganggu
mengingat persaingan dari negara penghasil tembakau seperti Indonesia?
Di sinilah pentingnya untuk
pemerintah secara cermat memahami keberadaan FCTC. Jangan sampai kedaulatan
negara dikompromi dengan kepentingan negara lain.
Adopsi
Bila pemerintah menganggap ada
ketentuan-ketentuan yang baik dan bagus dari FCTC untuk diterapkan di
Indone sia, mengapa Indonesia tidak mengadopsi ketentuan tersebut dalam
hukum nasional? Adopsi ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke
dalam hukum nasional berbeda dengan ratifikasi.
Ratifikasi berarti Indonesia
harus menerjemahkan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional, dan
bersedia untuk diintervensi melalui mekanisme yang diatur dalam perjanjian
internasional tersebut.
Adopsi ketentuan dalam perjanjian
internasional akan lebih baik mengingat tahapan untuk menjalankan ketentuan
akan bergantung pada kemampuan dari pemerintah. Tidak demi kian dengan
ratifikasi karena Indonesia akan dituntut dari waktu ke waktu untuk memei
nuhi kewajibannya dalam perjanjian internasional.
Belum lagi Indonesia memiiliki
kelemahan dalam menerjemahkan ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam
hukum nasional. UN Convention on Anti
Corruption yang telah diratifikasi Indonesia sejak 2006 hingga saat ini
belum diterjemahkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Menerjemahkan ternyata
bukan perkara mudah bagi Indonesia.
Saat ini, banyak perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, tetapi belum ada
penerjemahan dalam hukum nasional. Oleh karenanya, apakah Indonesia perlu
meratifikasi FCTC? Tidakkah sebaiknya Indonesia mengadopsi
ketentuan-ketentuan yang baik bagi Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar