Perundungan
dalam Pendidikan Kita
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2013
PERUNDUNGAN atau bullying atau kekerasan dalam dunia
pendidikan merupakan fenomena dan fakta yang tidak dapat dihindari. Jika
diselisik dari mana tradisi kekerasan hadir di lembaga pendidikan, hampir
pasti kita semua sepakat bahwa lingkungan masyarakat ikut menyumbang
terjadinya kekerasan di dunia pendidikan. Karena itu, adagium yang mengatakan
as is the school so is the society
pada saat yang sama juga berlaku sebaliknya, yaitu as is the society so is the school. Dalam konteks dunia
pendidikan kita, hampir tak jelas mana penyumbang kekerasan lebih besar
terhadap praktik kekerasan para siswa dan mahasiswa, sekolah atau masyarakat.
Meskipun demikian, rasanya tak
elok jika di lembaga pendidikan berlaku praktik kekerasan yang melampaui
batas, apalagi menyebabkan hilangnya nyawa siswa ataupun mahasiswa. Jelas ada
budaya tak sehat yang melingkupi lembaga-lembaga pendidikan kita jika praktik
kekerasan terus berlangsung. Karena itu menurut hemat saya, perlu diciptakan
imaji sosial bahwa sekolah dan atau lembaga pendidikan ialah democratic counter public spheres,
tempat para murid belajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam
kehidupan sekaligus sebagai tempat belajar berdemokrasi, belajar menghargai,
dan menghormati sesama manusia.
Artinya, baik sekolah maupun
perguruan tinggi tidak lagi melulu mempelajari konten-konten yang pada
kenyataannya jauh panggang dari api. Yang dibutuhkan murid (dan masyarakat)
sebaliknya ialah kegiatan belajar mengajar, yang di sana mereka belajar
memahami, mengkritisi, dan mencari solusi atas masalah dan kebutuhan
keseharian.
Kesadaran
kolektif
Tak sedikit guru dan dosen yang
memahami proses belajar secara sepihak dan tak memiliki kemampuan dalam
melihat keterkaitan antara satu mata pelajaran dan lainnya. Belum lagi
kemampuan untuk mengondisikan materi ajar dengan situasi dan kondisi
sosial-budaya yang terjadi, baik di dalam maupun di luar sekolah dan kampus.
Kelemahan cara pandang inilah yang kemudian menyebabkan banyak sekali guru
dan dosen menjadi sangat individualistis serta tak memiliki kepekaan dalam
merancang rencana pembelajaran secara kolektif.
Efek dari pandangan itu,
dalam jangka panjang, yakni sekolah dan kampus hanya dipandang sebagai tempat
bekerja, bukan tempat untuk tumbuh dan belajar bersama.
Secara konseptual, belajar
membutuhkan semangat kolektif, terutama untuk menumbuhkan motivasi bersama.
Dalam banyak studi tentang psikologi pendidikan, motivasi belajar paling
efektif sesungguhnya lebih banyak datang dari luar, terutama dari keteladanan
para guru, dan keteladanan secara kolektif akan lebih efektif untuk
menumbuhkan budaya belajar yang lebih sehat karena setiap individu di dalam
sekolah harus memiliki kesadaran yang sama tentang makna learning system yang
integral dengan kondisi lingkungan. Selain kesadaran kolektif, usaha
membentuk learning system juga
harus menghindarkan perasaan acuh-tak acuh komunitas sekolah terhadap apa
yang menjadi kebijakan sekolah.
Pada tahap selanjutnya, sekolah
juga harus memiliki komitmen tertulis tentang hubungan budaya sekolah dengan learning system yang ingin ditegakkan.
Inilah kemudian mengapa sekolah membutuhkan sejenis statuta yang dibuat
berasarkan mekanisme manajemen konflik berbasis sekolah atau kampus (MKBS-K).
Sebagai tempat siswa, guru, dan anggota lainnya bertemu, berkomunikasi, dan
berinteraksi dalam kehidupan sosial dan budaya, sekolah jelas harus memiliki
mekanisme internal yang serius untuk menangani isu-isu konflik yang
menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia pendidikan. Konflik tidak dapat
dihindarkan sehingga harus dikelola agar keadaan menjadi lebih baik.
Kita menyaksikan bahwa pendidikan
selama ini didesain hanya untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan di
bidang akademik sehingga segala persoalan di luar akademik tidak menjadi
bagian dari evaluasi. Dua komponen penting kurikulum lainnya-–social and life skills-–yang
seharusnya diterapkan kepada anak didik menjadi terabaikan. Willam De Jong
(2006) dari Harvard School of Public
Health mengatakan, “The best
school-based violence prevention programs seek to do more than reach the individual
child. They instead try to change the total school environment, to create a
safe community that lives by a credo of non-violence”.
Dengan praktik tak ada kekerasan
di lembaga pendidikan, kredo tentang asas nirkekerasan merupakan disiplin
serius yang ingin ditegakkan setiap orang yang terlibat di dunia pendidikan,
mengingat konflik dan pertentangan pendapat merupakan hal alami dan tak bisa
dihindari oleh setiap manusia.
Peristiwa kekerasan yang terjadi
di kampus ITN Malang, misalnya, membuat kita seolah tak percaya mengapa
kekerasan seolah menjadi kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang tetap saja masuk agenda belajar para
siswa. Dalam konteks itu, salah satu yang harus kita evaluasi selain posisi
budaya nirkekerasan ialah peranan pengembangan kurikulum (curriculum development).
Kesepakatan tentang penanganan
konflik dan kekerasan di lembaga pendidikan bukan hanya penting untuk
dimasukkan ke struktur kurikulum secara formal, tetapi juga bisa diskemakan
dalam statuta yang mengatur segala urusan konflik secara jelas berdasarkan
struktur lembaga pendidikan masing-masing.
Membangun komitmen pendidikan
damai, dengan demikian, menjadi kata kunci yang harus dilakukan seluruh
pemangku kepentingan pendidikan dalam rangka merancang bangunan resolusi konflik
yang memadai di lingkungan pendidikan, agar anak-anak kita terhindar dari
semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari seperti yang kita lihat
hari-hari terakhir ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar