Memutus Mata
Rantai Ospek Kejam
Muhammad Safrodin ; Pemerhati Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2013
FIKRI Dolasmantya Surya, 20,
mahasiswa baru jurusan Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang,
tak seharusnya tewas jika ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) kejam
bisa dihindari. Kasus Fikri sekaligus menambah panjang daftar ospek berujung
maut yang meski sudah dikhawatirkan pemerintah, faktanya tetap terjadi. Kita
tak lagi tepat mengatakan bahwa kita kecolongan. Pasalnya, kasus ospek kejam
sudah menjadi perhatian serius sejak lebih dari 40 tahun silam. Kenapa ekses
ospek sampai sekarang sulit dihilangkan?
Menurut kabar yang beredar, Fikri
dan teman-temannya menerima perlakuan keji dari para seniornya. Kegiatan
bertema Kemah Bakti Desa di Pantai Goa Cina, Dusun Rowotratih, Desa Sitiarjo,
Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, 12 Oktober 2013 lalu menjadi
ajang perploncoan hingga akhirnya Fikri menghembuskan napas terakhirnya.
Sejumlah pihak sudah dimintai keterangan di kepolisian karena kasus tersebut
sudah masuk ke ranah pidana.
Hanya berganti kulit
Ospek beraroma plonco, menurut
beberapa literatur, bermula dari Universitas Cambridge, Inggris. Mahasiswa yang
rata-rata berasal dari keluarga bangsawan merasa jemawa sehingga sulit
diatur. Universitas kemudian mengadakan kegiatan plonco yang dimaksudkan
untuk menertibkan dan mendisiplinkan para calon mahasiswa. Tradisi itu kemudian
menyebar ke seluruh universitas di Eropa hingga akhirnya masuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, tradisi plonco
tidak berasal dari ruang hampa. Ospek, entah apa lagi namanya, tidak datang
tiba-tiba alias simsalabim. Dikabarkan, tradisi plonco sudah masuk ke Indonesia sekitar 1950-an. Dalam
versi lain disebutkan, ospek merupakan metamorfosis nama dari proses
penerimaan mahasiswa baru yang awalnya beristilah ontgroening. Istilah
Belanda ini berarti ‘hijau’. Artinya, mahasiswa baru masih hijau, harus
dididik dan ‘dicuci otak’.
Ontgroening tak lepas dari pendirian
perguruan tinggi pertama di Indonesia oleh Belanda, Techniche Hooge School Bandung atau ITB, pada Juli 1920. Dari
kampus itulah konsep perploncoan diperkenalkan pada setiap hajatan penerimaan
mahasiswa baru. Setelah Indonesia merdeka, tradisi itu tidak hilang, tetapi
hanya berganti nama menjadi masa prabakti mahasiswa jadi masa prabakti mahasiswa
(mapram). Masa mapram menjadi masa kelam yang tak terlupakan seumur hidup
para mahasiswa kala itu. Soalnya, mapram identik dengan kekerasan, misalnya
digunduli, disiram lilin, lari tengah malam, dan semacamnya.
Kegiatan mapram pun tak lepas dari
kritik. Mapram yang penuh nuansa militer dianggap tak sejalan dengan dunia
pendidikan yang lebih menekankan keluhuran budi dan akal pikir.
Berbagai kalangan meminta agar mapram dihapus. Hingga akhirnya, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri Saleh mengeluarkan SK No 43 Tahun 1971 yang
melarang kegiatan mapram. Tak tanggung-tanggung, sejumlah 23 instansi
dilibatkan, termasuk Bappenas kala itu.
Mapram kemudian berganti kulit
menjadi POS (pekan orientasi studi). Nama boleh berganti, tapi tradisi plonco
tak kunjung sirna. Lalu muncullah OS (orientasi studi), dan terakhir muncul
ospek yang digagas pada 1990 sampai sekarang. Ospek sebetulnya dinyatakan
‘tamat’ setelah keluar SK Dirjen Dikti No 38/Dikti/2000 yang menghapus ospek
dan menyerahkan prosesi pengenalan kehidupan kampus itu pada kampus yang
bersangkutan, sekaligus memberi warning
agar lebih menekankan pada kegiatan akademis, bukan anarkistis.
Ospek pun kini berubah menjadi
aneka istilah, bergantung pada institusi/kampus yang menjadi pencetusnya. Akan
tetapi, isinya relatif masih sama. Secara legal formal, ospek (kejam)
seharusnya sudah tak boleh terjadi. Namun, fakta di lapangan berkata lain.
Ospek dengan kekerasan fisik masih mudah dijumpai dalam gelaran penerimaan
mahasiswa baru. Saat muncul korban tewas seperti Fikri, publik lalu reaktif.
Mahasiswa
labil
Ekses ospek yang terus berulang
memang miris. Ekses tersebut muncul, salah satunya, karena masih banyaknya
mahasiswa labil yang terlibat di kepanitiaan ospek. Mahasiswa labil penulis
pakai sebagai istilah untuk menyebut mahasiswa yang belum matang dalam
berpikir dan cenderung berkepribadian ganda.
Misalnya, di satu sisi para
mahasiswa kerap menyerukan antimiliterisme, karena bagi mereka militer hanya
pas diterapkan di medan perang. Di sisi lain, para mahasiswa juga melakukan
ospek militeristis kepada para juniornya. Sungguh dua watak yang saling
berseberangan.
Mahasiswa labil umumnya masih suka
dengan istilah ‘balas dendam’. Karena merasa sudah diperlakukan tidak senonoh
saat ospek, mereka pun menuntaskan dendamnya pada adik kelas, pihak tak
berdosa. Seharusnya, kalau dendam dibolehkan pun, lebih tepat dialamatkan
kepada kakak kelas yang sudah membuat mereka menderita. Namun, mereka memilih
melampiaskannya kepada adik kelas, lalu adik kelasnya nanti juga membalas
dendam kepada adik kelas pula. Begitu seterusnya sehingga lingkaran setan
ospek kejam terus berlanjut.
Mahasiswa labil lihai membuat
bumbu sehingga ospek terkesan sedap dan dibutuhkan, misalnya untuk memupuk
persaudaraan, mengenalkan program studi tertentu, hingga menanamkan mental
tertentu. Namun kenyataannya, antara kegiatan yang dijalankan dan tujuan
moral yang diraih tidak sinkron.
Bagaimana tidak? Peserta ospek
kerap diminta membawa atribut-atribut aneh yang terkadang sulit diterima akal
sehat. Selain pemborosan dan membuang-buang waktu, kegiatan tersebut
melenceng sangat jauh dari nilai yang ingin disosialisasikan. Belum lagi
hukuman yang diterapkan bagi peserta yang melanggar, sering tidak manusiawi
dan sangat mungkin meninggalkan trauma psikologis berkepanjangan.
Edward Thorndike, seorang ahli
psikologi perkembangan, mengemukakan bahwa hukuman tidak efektif untuk
meniadakan suatu perilaku tertentu.
Begitu juga dalam ospek, hukuman tidak lantas membuat orang yang dihukum
menghilangkan perilaku buruknya di kemudian hari. Padahal, dalam banyak
kasus, saat dihukum inilah peserta mendapat perlakuan keji dan sangat mungkin
melanggar norma susila. Jika tak ikut ospek, peserta diancam tidak bisa
mengikuti perkuliahan. Peserta menghadapi dilema, antara ikut ospek tapi
menderita, atau menolak dengan konsekuensi gagal kuliah.
Mahasiswa labil kurang paham bahwa
menanamkan mental tertentu bukan pekerjaan gampang, apalagi bisa ditempuh
dalam hitungan hari. Perlu usaha keras, berkesinambungan, dengan durasi waktu
yang tak terbatas. Penanaman nilai yang singkat, apalagi dalam kondisi
tertekan sebagaimana dalam ospek, tidak akan efektif.
Mahasiswa labil yang jadi panitia
tidak paham bahwa dana untuk ospek berasal dari para peserta juga. Maka salah
besar jika dana itu dipakai untuk kegiatan yang tak mendidik. Dosa besar jika
uang itu dipakai untuk melancarkan tradisi yang hanya menyakiti peserta
ospek.
Ospek edukatif
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No 30/1990 tentang Pendidikan
Tinggi tidak disebutkan wajibnya perguruan tinggi/ institusi pendidikan
mengadakan ospek. Pasalnya, memang ospek sejak awal tidak menjadi bagian dari
isu strategis yang terkait langsung dengan proses pendidikan.
Hanya, ospek sudah menjadi tradisi
akademis--meski yang terjadi tidak selalu akademis-sejak puluhan tahun silam.
Ospek menjadi menu wajib bagi mahasiswa yang baru kali pertama menginjakkan
kaki di kampus. Ospek, sesuai dengan penamaannya, haruslah berisi sosialisasi
seputar kampus seperti program studi yang sedang diambil, seperti apa
peraturan kampus diterapkan, bagaimana kegiatan kemahasiswaan berlangsung,
siapa yang menjabat rektor dan ketua jurusan, dan sebagainya.
Untuk memutus mata rantai
kekerasan ospek, tampaknya tidak cukup jika hanya mengandalkan surat edaran
dari Mendikbud tentang pelarangan tindakan kekerasan saat ospek. Mendikbud
sendiri tak bosan-bosan memberi anjuran ke sekolah-sekolah atau kampus untuk
tak menyalahgunakan ospek sebagai plonco. Namun, nyatanya jauh panggang dari
api. Anarkisme tetap terjadi.
Agar ospek tidak berujung menjadi
orientasi penyiksaan, ada tiga alternatif solusi yang bisa ditempuh. Pertama,
dalam jangka pendek menindak tegas semua pihak yang terlibat ospek
anarkistis. Sanksi pidana harus dijatuhkan jika suatu kegiatan sudah melewati
batas kewajaran. Pendekatan hukum wajib dilakukan. Hal itu diperlukan untuk
membuat jera sekaligus rasa takut agar institusi lain tak coba-coba melakukan
plonco.
Kedua, pihak kampus tidak boleh
lepas tangan, yang menyerahkan konsep ataupun pelaksanaan ospek kepada para
mahasiswa. Kampus harus mengawasi dan ikut terlibat dari awal sampai akhir.
Kalau perlu, pihak kampus turut mengemukakan ide kreatif seperti apa ospek
seharusnya digelar. Ketiga, kalau kampus merasa kesulitan menemukan ide
kreatif, dan di saat bersamaan belum percaya 100% untuk memasrahkan kegiatan
ospek kepada para mahasiswanya, bisa memanfaatkan jasa swasta. Misalnya
bekerja sama dengan lembaga pengembangan sumber daya manusia yang sudah
pengalaman dalam hal character building.
Sebenarnya tak sulit mencari
kegiatan edukatif yang sekaligus bisa dijadikan sarana memecah kebekuan
antara mahasiswa baru dan lama. Misalnya dengan outbond, bakti sosial, bersih-bersih kampus, kampanye bersama
antinarkoba, berkunjung ke permukiman kumuh, membuat proyek ringan terkait
kemanusiaan, serta pesantren kilat. Kita berharap pihak kampus tak lagi
pasrah total menyerahkan kepanitiaan ospek kepada para mahasiswa labil
sehingga kasus Fikri tak terulang lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar