Memerintah
dari Penjara
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2013
BELUM
usai pergunjingan sekitar penetapan Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka,
Jumat (20/12), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan orang nomor satu
Provinsi Banten itu. Bagi sebagian pihak, bila dibandingkan dengan sejumlah
skandal korupsi lain yang ditangani lembaga extraordinary tersebut, penahanan Atut terbilang cepat.
Karenanya, muncul berbagai tafsir dan spekulasi di balik penahanan sang
gubernur. Barangkali, di antara spekulasi yang paling sulit
dipertanggungjawabkan: tuduhan bahwa KPK memolitisasi proses hukum.
Secara hukum, begitu seseorang
diberi status hukum baru sebagai tersangka, penyidik hukum memiliki
alasan-alasan subjektif untuk melakukan penahanan. Misalnya, penyidik
berargumentasi bahwa penahanan dilakukan untuk mempermudah penyidikan. Atau,
penyidik khawatir si tersangka akan melarikan diri. Bahkan, dengan kekuasaan
yang dimiliki Atut sebagai gubernur, secara subjektif penyidik dapat
melakukan penahanan karena kekhawatiran tersangka akan menghilangkan barang
bukti dan berpotensi memengaruhi para saksi.
Dengan alasan-alasan subjektif
yang dimiliki penyidik tersebut, tuduhan bahwa KPK memolitisasi proses hukum
sulit dipertanggungjawabkan. Bahkan, dalam batas penalaran yang wajar, justru
mereka yang menuduh tersebut dapat dinilai berupaya membawa proses hukum ke
wilayah politik. Sejauh ini, sejumlah bentangan empiris menunjukkan bahwa
berbagai tuduhan politisasi yang dialamatkan ke KPK tidak terbukti. Buktinya,
kasus-kasus yang dituduh dipolitisasi tidak pernah ditolak pengadilan.
Karenanya, persoalan lain yang
jauh lebih relevan dibahas di sekitar penahanan Atut ialah bagaimana dengan
posisinya sebagai gubernur. Fakta yang sesungguhnya mengusik banyak pihak,
sekalipun telah ditahan, Atut tidak kehilangan kewenangan untuk menjalankan
pemerintahan.
Artinya, secara hukum, Atut masih memegang kendali penyelenggaraan
pemerintahan meski sedang berada dalam penjara. Dalam konteks yang lebih
luas, pengalaman serupa tidak hanya terjadi dalam penahanan Atut. Kejadian
ini hanya pengulangan dari pengalaman serupa yang pernah menimpa banyak
kepala daerah.
Dengan kondisi begitu, dalam batas
penalaran yang wajar, kepala daerah yang sedang ditahan hampir dapat
dipastikan tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik dan
efektif. Bahkan, dengan mengambil contoh kasus Banten, dengan status
tersangka dan belum ditahan, Atut pun tidak mampu lagi menyelenggarakan
pemerintahan. Buktinya, meskipun belum ditahan, Atut beberapa kali gagal
melaksanakan kewenangannya melantik wali kota Tangerang.
Dorongan
bagi penyidik
Kemungkinan terganggunya
penyelenggaraan pemerintahan menjadi salah satu alasan utama desakan agar
kepala daerah yang menjadi tersangka dan/atau ditahan untuk menanggalkan
posisi politik yang dimilikinya. Tidak hanya itu, hal tersebut juga untuk
memberi kesempatan agar kepala daerah yang menjadi tersangka untuk
konsentrasi menghadapi proses hukum. Kedua alasan itu mendorong berbagai
kalangan agar kepala daerah setelah mendapat status hukum tersebut
diberhentikan sementara atau diberhentikan dari jabatannya.
Sekiranya diletakkan dalam konteks
yang lebih luas, desakan agar kepala daerah yang berstatus tersangka (apalagi
diikuti dengan penahanan) untuk meninggalkan posisi politik yang dimilikinya
juga didasarkan pada alasan lain, yaitu kemungkinan yang bersangkutan
menggunakan posisi politiknya guna memengaruhi proses hukum. Merujuk pada
kasus Atut, Gubernur Banten itu sulit memengaruhi KPK. Namun dalam konteks
penegakan hukum, Atut sangat mungkin meng gunakan posisi politiknya untuk
memengaruhi para saksi.
Namun, terlepas dari per debatan
sekitar kemungkinan menggunakan posisi politik itu, desakan agar diber
hentikan sementara atau diberhentikan dari jabatan sulit dilakukan selama
kepala daerah masih dalam status hukum tersangka. Dalam hal ini, Undang-Undang
No mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan
bahwa kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui
usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan. Begitu juga, tindakan yang sama dapat pula dilakukan
presiden bila kepala daerah didakwa melakukan tindak pidana korupsi,
terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
secara hukum, posisi seperti yang dialami Atut tidak mungkin untuk memenuhi
desakan memberhentikan sementara atau menonaktifkan mereka yang masih
berstatus tersangka. Karena itu, pemberhentian sementara baru bisa dilakukan
setelah status kepala daerah ditingkatkan dari tersangka menjadi terdakwa.
Peningkatan status tersebut ditandai dengan pelimpahan perkara ke pengadilan.
Sebelum sampai ke tahap itu, desakan untuk memberhentikan sementara lebih
tepat dimaknai sebagai dorongan agar penyidik bekerja optimal hingga sebuah
perkara dilimpahkan lebih cepat. Bahkan, sekiranya proses hukum yang dijalani
kepala daerah digunakan sebagai basis argumentasi telah terjadi krisis
kepercayaan publik yang luas pun tidak bisa digunakan sebagai alasan
memberhentikan sementara kepala daerah.
Begitu pula dengan pemberhentian
secara permanen, kepala daerah diberhentikan oleh presiden tanpa melalui usul
DPRD bila terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijs de). Oleh karena itu, desakan memberhentikan kepala dae
rah yang masih berstatus ter sangka secara permanen jauh lebih tidak mungkin
dipenuhi. Bahkan, dalam kasus tindak pidana makar sekalipun, kepala daerah tidak
mungkin diberhentikan secara permanen kepala daerah sebelum adanya putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Mengundurkan
diri
Jika melihat ketentuan mengenai
kemungkinan memberhentikan sementara dan memberhentikan secara permanen tersebut,
yang paling mungkin di lakukan ialah mendorong kepala daerah untuk mengundurkan
diri. Dorongan tersebut seperti menjadi sebuah keniscayaan bila kepala daerah
yang menjadi tersangka juga ditahan penyidik. Jika tidak, kepala daerah tidak
mungkin melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana termaktub dalam Pasal
25 UU No 32/2004. Misalnya, dengan ditahan, sulit bagi kepala daerah memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD.
Banyak kalangan menilai, sekiranya
kepala daerah yang berada dalam status tersangka dan ditahan penyidik tidak
hendak mengundurkan diri, hampir dapat dipastikan semua tugas dan wewenang
dalam Pasal 25 UU No 32/2004 tersebut akan terbengkalai. Artinya, bila
diletakkan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, pilihan untuk
melimpahkan kewenangan kepada wakil kepala daerah pun tidak cukup untuk
menjaga keterpenuhan tugas dan wewenang seorang kepala daerah. Kalau
diletakkan dalam konsep pelimpahan wewenang, semuanya akan sangat bergantung
pada kerelaan kepala daerah yang melimpahkan.
Bila melihat pusaran kekuasaan di
sekitar Atut selama ini, bisa saja terjadi pelimpahan kewenangan kepada wakil
gubernur. Namun, tidak ada jaminan sama sekali bahwa Atut akan melimpahkan
semua wewenang yang dimiliki gubernur. Sekiranya tidak semua wewenang
dilimpahkan, dalam praktiknya, sangat mungkin terjadi pembelahan kewenangan
yang dipegang wakil gubernur. Bahkan, dalam skala yang lebih luas, pelimpahan
seperti itu sangat mungkin menghadirkan matahari kembar di Provinsi Banten.
Artinya, pelimpahan wewenang demikian akan menghadirkan simalakama baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, penerima wewenang sulit
keluar dari bayang-bayang orang yang melimpahkan wewenang. Situasinya bisa menjadi
lebih rumit bagi wakil gubernur karena Atut memiliki posisi politik yang jauh
lebih kuat di Provinsi Banten.
Dalam soal ini, barangkali Atut
bisa belajar banyak dari langkah yang pernah dilakukan mantan Menteri Pemuda
dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng. Jamak diketahui, Andi memilih langkah
yang sangat elegan begitu ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus
Hambalang. Jika dibandingkan dengan kasus Atut, Andi memilih mengundurkan
diri jauh sebelum yang bersangkutan ditahan KPK. Selain bisa lebih fokus
menghadapi proses hukum, langkah tersebut mampu menghindarkan kementerian
yang dipimpinnya dari dilema dipimpin oleh orang yang berada dalam status
hukum sebagai tersangka.
Kasus yang dihadapi Atut dan
sejumlah kepala daerah yang mengalami nasib serupa memberi pelajaran penting
bagi kita, terutama dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi yang
dilakukan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Berdasarkan ketentuan
UU No 32/2004, kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian
di tahan penyidik sulit didesak mengundurkan diri. Karena itu, revisi
terhadap ketentuan yang ada menjadi langkah mendesak untuk diakukan. Dalam
hal ini, jika kepala daerah ditetapkan se bagai tersangka dan diikuti
penahanan oleh penyidik, penahanan tersebut sekaligus menjadi alasan untuk
memberhentikan sementara.
Pengaturan tersebut menjadi kebutuhan
mendesak karena sulit mengharap munculnya kesadaran dari kepala daerah untuk
mengundurkan diri begitu menjadi tersangka yang diikuti penahanan. Apalagi,
sudah menjadi rahasia umum, banyak kepala daerah hadir dengan ongkos politik
yang sangat besar.
Dengan ongkos politik demikian, mengundurkan diri jelas
menjadi pilihan yang harus dihindari. Karena itu, sekiranya tidak ditentukan
secara eksplisit dalam revisi UU No 32/2004, akan banyak kepala daerah yang
menyelenggarakan pemerintahan dari penjara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar