Walaupun kecewa terhadap balasan surat Tony
Abbott, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan setidaknya Tony Abbott
telah menyampaikan pengertian yang dianggap penting dan mendasar bagi masa
depan hubungan Indonesia-Australia untuk membangun politik bertetangga yang
lebih bermartabat.
Sebagai
negara yang kerap merasa terasing bahkan terancam di tengah-tengah
komunitas Asia, Australia membutuhkan sebanyak mungkin aliran informasi
"ekstrateritorial" yang digali dan digarap dari berbagai sumber
baik formal maupun nonformal, online ataupun offline, yang kerap melanggar
kode etik hubungan internasional.
Khusus
menghadapi Indonesia, Australia sangat berkepentingan untuk memperoleh
aliran informasi yang terkait dengan potensi ancaman atas ketahanan
nasional, termasuk ancaman teroris dan manusia perahu. Namun, menjelang
2020, berkembang satu potensi ancaman lain yang dipandang sangat strategis
bagi Australia, yaitu terkait dengan ketahanan energi dan transaksi energi,
khususnya migas.
Seperti
dimaklumi, dalam waktu yang tidak terlalu lama Australia siap menjadi
sentrum penghasil dan pengekspor gas bumi yang penting di Asia-Pasifik.
Australia kini memiliki cadangan gas nomor 12 terbesar di dunia, yaitu 110
triliun kaki kubik dan akan terus bertambah dengan penemuan beberapa
cekungan migas baru. Bahkan Australia kini sudah menjadi negara pengekspor
gas keempat terbesar di dunia serta berkemas menjadi salah satu sentrum gas
dunia karena Australia tengah mempersiapkan pembangunan tujuh kilang LNG
baru dengan biaya US$ 200 miliar.
Di
sisi lain Amerika Serikat, melalui revolusi shale gas, berhasil mengangkat
cadangan gas AS menjadi kelima terbesar di dunia sekitar 348 triliun kaki
kubik dan siap mengalahkan Rusia. Namun rencana ekspor gas AS masih
tertahan berbagai kendala domestik, di antaranya kebangkitan ekonomi AS
yang membutuhkan volume gas dengan harga relatif murah, pembangunan
infrastruktur, terutama kilang LNG, serta menghadapi kendala sosial terkait
dengan isu lingkungan.
Suka
tidak suka, AS dan Australia selepas 2020 siap menjadi poros gas bumi yang
penting di dunia. Sebagai pemasok energi, AS dan Australia memiliki
beberapa kepentingan "ekstrateritorial". Pertama, pasar gas di
Asia-Pasifik dengan kebutuhan yang terus berkembang. Kedua, keamanan jalur
perdagangan laut yang menghubungkan AS dan Australia menuju negara-negara
calon pembeli yang dikenal sebagai pasar tradisional Indonesia, utamanya
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Guna memudahkan akses ekspor LNG ke Asia
Timur, selepas 2014, AS bersama Kanada berencana memperlebar Terusan Panama.
Dari
sisi geo-politik, AS dan Australia mempunyai kepentingan bersama untuk
mengamankan jalur perdagangan Laut Cina Selatan hingga Laut Cina Timur yang
menjadi salah satu sumber kerawanan terbesar menghadapi Cina yang
berkali-kali mengklaim sebagian kawasan tersebut sebagai wilayah kedaulatan
Cina. Namun, di sisi lain, selepas 2020 Cina sebagai pengguna energi
terbesar di dunia juga memiliki potensi menjadi sentrum gas yang baru
karena diduga memiliki cadangan shale gas 19 persen dari cadangan gas dunia
(Ernst & Young) yang belum dikembangkan.
Terancam
faktor geografis dan geopolitik, AS dan Australia cenderung berkolaborasi
membentuk poros geo-energi dengan ambisi merebut pasar gas di Asia-Pasifik
dan bersaing dengan poros lain, yaitu Rusia, yang siap bergabung dengan
Cina untuk menguasai pasar Eropa yang sebagian dialirkan melalui darat.
Setelah
2020 akan terbentuk keseimbangan global yang baru akibat bergesernya peta
geo-energi dunia. Ketatnya persaingan energi menyebabkan semakin maraknya
perang spionase dan anti-spionase yang melibatkan hampir seluruh negara
yang berkepentingan, termasuk operasi penyadapan di Indonesia.
Dari
tujuh selat yang strategis di dunia, empat berada di wilayah Indonesia,
sehingga menempatkan perairan wilayah Nusantara menjadi sangat rawan
terhadap ancaman spionase dan penyadapan. Di kawasan Asia Tenggara,
Indonesia menjadi mata rantai maritim terpenting bagi ekspor gas Australia
menuju negara-negara pembeli, sehingga wajar Australia berkolaborasi dengan
AS dan sekutu-sekutu lainnya, seperti Singapura, untuk bersama-sama
mengawal keamanan regional, termasuk memata-matai wilayah Indonesia yang
luas melalui pertukaran informasi, termasuk data kebumian.
Indonesia
tersandera oleh dua poros adidaya, AS-Australia dan Cina-Rusia, yang
masing-masing mempunyai negara "penggembira" di Asia Tenggara.
Mengantisipasi rencana peningkatan kekuatan militer Amerika Serikat di
kawasan Asia-Pasifik, khususnya di Australia dan Singapura, sudah
sewajarnya Indonesia meningkatkan kewaspadaan nasional, memperkuat
kemampuan intelijen dan kontra-spionase (di antaranya melalui Lembaga Sandi
Negara), termasuk cyber defense,
serta mengawal pasar tradisional LNG Indonesia di kawasan Asia Timur.
Ancaman nyata bagi Indonesia adalah perang harga gas yang menyebabkan
rontoknya devisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar