Kamis, 19 Desember 2013

Kekuasaan Masih Membelenggu

Kekuasaan Masih Membelenggu
Yovita Arika  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  19 Desember 2013

  

BEREDARNYA rekaman suara Bupati Boyolali Seno Samodro saat peringatan ulang tahun Korps Pegawai Republik Indonesia di Pendopo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada 4 Desember lalu membuat kita tercengang. Di tengah banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi akibat penyalahgunaan kekuasaan, Seno secara terbuka menjanjikan pemberian kredit sepeda motor, mobil, dan rumah bagi pegawai negeri sipil dengan dana dari hibah hasil efisiensi APBD 2014.

Dalam rekaman itu, Seno mengatakan, APBD Boyolali 2014 dapat dilakukan efisiensi sebesar Rp 4,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar untuk hibah Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang dapat dimanfaatkan oleh kepala seksi, staf, dan kepala desa untuk fasilitas kredit.

Masih dalam rekaman itu, Seno mengatakan, ”Tetapi, kembali lagi, kutunggu bulan April, kan, begitu. Ada apa bulan April? Saya ulang tahun. Nanti, saya umumkan pas ulang tahun,” (Kompas, 13/12).

Seno memang berulang tahun pada bulan April, tepatnya 25 April, sebagaimana tertulis pada situs www.boyolalikab.go.id. Namun, bulan April itu juga adalah bulan saat pemilu legislatif digelar.

Karena itu, meskipun Seno menampik apa yang disampaikannya tersebut merupakan upaya menggunakan kekuasaannya untuk memolitisasi PNS menjelang Pemilu 2014, sulit untuk mengatakan bahwa upaya itu tidak ada jika mengacu pada isi rekaman tersebut.

Kecurigaan itu wajar mengingat banyak terungkap kasus korupsi akibat penyalahgunaan keuangan daerah. Di DI Yogyakarta, misalnya, mantan Bupati Bantul Idham Samawi pada Juli lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Komisi Olahraga Nasional Indonesia untuk kesebelasan Persatuan Sepak Bola Indonesia pada 2011. Dana itu dari APBD dan APBD Perubahan Kabupaten Bantul sebesar Rp 12,5 miliar.

Di Jawa Tengah, mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri. Di Jawa Timur, belum lama ini mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana jasa pungut pajak daerah tahun 2007 sebesar Rp 720 juta untuk anggota DPRD Kota Surabaya.

Selasa (17/12) lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka pemberian berkaitan dengan sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Banten, yang juga melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Pimpinan KPK juga telah menyepakati menetapkan Atut sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten meski surat perintah penyidikannya belum diterbitkan.

Kemudian di Jawa Barat, sesudah penyimpangan dana bantuan sosial Kota Bandung periode 2009-2010 yang melibatkan mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada diungkap, kini muncul dugaan penyimpangan dana hibah Pemkot Bandung tahun 2012 sebesar Rp 40 miliar.

Hingga November 2013, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 310 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Ditambah kasus Atut, maka kini ada 311 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Jumlah itu belum termasuk pejabat daerah, anggota DPRD, dan juga rekanan di daerah yang juga banyak terjerat kasus korupsi. Di Papua Barat, misalnya, sebanyak 44 anggota DPR setempat terseret kasus dugaan korupsi pinjaman dana sebesar Rp 22 miliar bersama Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Marthen Luther Rumadas dan mantan Direktur Utama PT Papua Doberi Mandiri (PT Padoman) Mamad Suhadi.

Politik uang

Mengacu data Kementerian Dalam Negeri, korupsi di daerah semakin marak sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2005. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah memang tingginya biaya politik selama pilkada berlangsung.

Calon kepala daerah membutuhkan dana yang tidak sedikit, Rp 5 miliar-Rp 100 miliar, untuk dapat terpilih, terutama untuk kampanye karena popularitas masih menjadi penentu. Ketika kapasitas calon kepala daerah tidak menonjol, maka yang kemudian dilakukan adalah menaikkan citra diri dan ”membeli” suara rakyat demi mendapatkan jabatan dan kekuasaan.

Politik uang memang mendominasi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan ini terjadi sejak awal proses pencalonan. Setelah terpilih pun, kepala daerah masih membutuhkan dana, untuk mempertahankan konstituennya apalagi jika masih ingin mencalonkan diri lagi, dan terutama untuk mempertahankan dukungan dari legislatif.

Akhirnya, politik uang pun tak pernah berhenti dilakukan oleh mereka yang memburu jabatan dan kekuasaan. Disadari atau tidak, mereka ini telah masuk dalam jerat korupsi. Pengungkapan kasus korupsi di daerah satu per satu pun seolah tidak berefek jera.

Dengan alasan itu, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pemilihan bupati/ wali kota dikembalikan ke DPRD untuk meminimalkan praktik korupsi di daerah. Sebuah kemunduran sebenarnya dalam proses demokrasi. Tentu pula upaya itu tidak akan berhasil jika tipe kepemimpinan para calon kepala daerah/kepala daerah bukan kepemimpinan yang muncul karena visi dan dedikasinya terhadap rakyat.

Demikian juga, jika kepemimpinan calon kepala daerah/kepala daerah adalah karena kemampuannya mencitrakan diri dan ”menyuap” rakyat demi jabatan dan kekuasaan, maka merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pun tak akan efektif menutup peluang kepala daerah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, keluarga, dan kroni nya.

Dengan logika seperti itu, kunci ada pada rakyat untuk memilih pemimpinnya, kepada siapa kekuasaan itu akan diberikan. Rakyat harus berkehendak kuat untuk dipimpin oleh orang yang mau dan bisa memimpin, bukan orang yang ingin berkuasa.

Rakyat harus memberi jalan dan kesempatan kepada mereka yang mempunyai visi dan dedikasi terhadap rakyat agar mempunyai kesempatan menjadi pemimpin. Mereka inilah yang diharapkan dapat memutus mata rantai korupsi di daerah yang semakin kronis ini.

Faktor penting yang juga harus dilakukan rakyat adalah fungsi kontrol. Sebab, sebagaimana dikatakan peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, dalam sebuah seminar di Jakarta pertengahan tahun ini, korupsi di daerah terjadi karena akuntabilitas publik yang masih minim di level daerah menyebabkan kontrol publik lemah, bahkan tidak ada sama sekali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar