BEREDARNYA rekaman suara
Bupati Boyolali Seno Samodro saat peringatan ulang tahun Korps Pegawai
Republik Indonesia di Pendopo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada 4
Desember lalu membuat kita tercengang. Di tengah banyaknya kepala daerah
yang terjerat kasus korupsi akibat penyalahgunaan kekuasaan, Seno secara
terbuka menjanjikan pemberian kredit sepeda motor, mobil, dan rumah bagi
pegawai negeri sipil dengan dana dari hibah hasil efisiensi APBD 2014.
Dalam rekaman itu, Seno
mengatakan, APBD Boyolali 2014 dapat dilakukan efisiensi sebesar Rp 4,5
miliar. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar untuk hibah Korps Pegawai Republik
Indonesia (Korpri) yang dapat dimanfaatkan oleh kepala seksi, staf, dan
kepala desa untuk fasilitas kredit.
Masih dalam rekaman itu, Seno
mengatakan, ”Tetapi, kembali lagi, kutunggu bulan April, kan, begitu. Ada
apa bulan April? Saya ulang tahun. Nanti, saya umumkan pas ulang tahun,”
(Kompas, 13/12).
Seno memang berulang tahun pada
bulan April, tepatnya 25 April, sebagaimana tertulis pada situs
www.boyolalikab.go.id. Namun, bulan April itu juga adalah bulan saat pemilu
legislatif digelar.
Karena itu, meskipun Seno
menampik apa yang disampaikannya tersebut merupakan upaya menggunakan
kekuasaannya untuk memolitisasi PNS menjelang Pemilu 2014, sulit untuk
mengatakan bahwa upaya itu tidak ada jika mengacu pada isi rekaman
tersebut.
Kecurigaan itu wajar mengingat
banyak terungkap kasus korupsi akibat penyalahgunaan keuangan daerah. Di DI
Yogyakarta, misalnya, mantan Bupati Bantul Idham Samawi pada Juli lalu
ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Komisi
Olahraga Nasional Indonesia untuk kesebelasan Persatuan Sepak Bola
Indonesia pada 2011. Dana itu dari APBD dan APBD Perubahan Kabupaten Bantul
sebesar Rp 12,5 miliar.
Di Jawa Tengah, mantan Bupati
Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih ditetapkan sebagai tersangka kasus
dugaan korupsi dana perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri. Di Jawa Timur,
belum lama ini mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi dana jasa pungut pajak daerah tahun 2007
sebesar Rp 720 juta untuk anggota DPRD Kota Surabaya.
Selasa (17/12) lalu, Komisi
Pemberantasan Korupsi mengumumkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah
sebagai tersangka pemberian berkaitan dengan sengketa pilkada Kabupaten
Lebak, Banten, yang juga melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar. Pimpinan KPK juga telah menyepakati menetapkan Atut sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten
meski surat perintah penyidikannya belum diterbitkan.
Kemudian di Jawa Barat, sesudah
penyimpangan dana bantuan sosial Kota Bandung periode 2009-2010 yang
melibatkan mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada diungkap, kini muncul
dugaan penyimpangan dana hibah Pemkot Bandung tahun 2012 sebesar Rp 40
miliar.
Hingga November 2013,
Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 310 kepala daerah terjerat kasus
korupsi sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Ditambah
kasus Atut, maka kini ada 311 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Jumlah itu belum termasuk
pejabat daerah, anggota DPRD, dan juga rekanan di daerah yang juga banyak
terjerat kasus korupsi. Di Papua Barat, misalnya, sebanyak 44 anggota DPR
setempat terseret kasus dugaan korupsi pinjaman dana sebesar Rp 22 miliar
bersama Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Marthen Luther Rumadas dan
mantan Direktur Utama PT Papua Doberi Mandiri (PT Padoman) Mamad Suhadi.
Politik uang
Mengacu data Kementerian Dalam
Negeri, korupsi di daerah semakin marak sejak pemilihan kepala daerah
secara langsung pada tahun 2005. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Djohermansyah Djohan, faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan
para kepala daerah memang tingginya biaya politik selama pilkada berlangsung.
Calon kepala daerah membutuhkan
dana yang tidak sedikit, Rp 5 miliar-Rp 100 miliar, untuk dapat terpilih,
terutama untuk kampanye karena popularitas masih menjadi penentu. Ketika
kapasitas calon kepala daerah tidak menonjol, maka yang kemudian dilakukan
adalah menaikkan citra diri dan ”membeli” suara rakyat demi mendapatkan
jabatan dan kekuasaan.
Politik uang memang mendominasi
dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan ini terjadi sejak awal
proses pencalonan. Setelah terpilih pun, kepala daerah masih membutuhkan
dana, untuk mempertahankan konstituennya apalagi jika masih ingin
mencalonkan diri lagi, dan terutama untuk mempertahankan dukungan dari
legislatif.
Akhirnya, politik uang pun tak
pernah berhenti dilakukan oleh mereka yang memburu jabatan dan kekuasaan.
Disadari atau tidak, mereka ini telah masuk dalam jerat korupsi.
Pengungkapan kasus korupsi di daerah satu per satu pun seolah tidak berefek
jera.
Dengan alasan itu, Kementerian
Dalam Negeri mengusulkan pemilihan bupati/ wali kota dikembalikan ke DPRD
untuk meminimalkan praktik korupsi di daerah. Sebuah kemunduran sebenarnya
dalam proses demokrasi. Tentu pula upaya itu tidak akan berhasil jika tipe
kepemimpinan para calon kepala daerah/kepala daerah bukan kepemimpinan yang
muncul karena visi dan dedikasinya terhadap rakyat.
Demikian juga, jika kepemimpinan
calon kepala daerah/kepala daerah adalah karena kemampuannya mencitrakan
diri dan ”menyuap” rakyat demi jabatan dan kekuasaan, maka merevisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pun tak akan
efektif menutup peluang kepala daerah menyalahgunakan kekuasaannya untuk
kepentingan diri, keluarga, dan kroni nya.
Dengan logika seperti itu, kunci
ada pada rakyat untuk memilih pemimpinnya, kepada siapa kekuasaan itu akan
diberikan. Rakyat harus berkehendak kuat untuk dipimpin oleh orang yang mau
dan bisa memimpin, bukan orang yang ingin berkuasa.
Rakyat harus memberi jalan dan
kesempatan kepada mereka yang mempunyai visi dan dedikasi terhadap rakyat
agar mempunyai kesempatan menjadi pemimpin. Mereka inilah yang diharapkan
dapat memutus mata rantai korupsi di daerah yang semakin kronis ini.
Faktor penting yang juga harus
dilakukan rakyat adalah fungsi kontrol. Sebab, sebagaimana dikatakan
peneliti Indonesia Corruption Watch,
Donal Fariz, dalam sebuah seminar di Jakarta pertengahan tahun ini, korupsi
di daerah terjadi karena akuntabilitas publik yang masih minim di level
daerah menyebabkan kontrol publik lemah, bahkan tidak ada sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar