Kamis, 19 Desember 2013

Harga Ketulusan

Harga Ketulusan
Bagja Hidayat  ;    Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  19 Desember 2013

  

Memberantas korupsi bisa dimulai dengan larangan memberi dan menerima tip. Seorang penjamu tamu di Hotel Akasaka, di jantung Tokyo, menolak menerima selembar yen setelah mengantar koper ke kamar saya. Dengan sopan, layaknya seorang Shogun, ia meminta saya memeriksa buku aturan hotel tua itu. Pasal terakhir berisi larangan kepada tamu memberi tip kepada petugas hotel. Bagi yang melanggar akan dikenai denda berupa tarif kamar naik 10 persen dari harga semestinya. Dan petugas yang menerima akan dikenai sanksi seperti yang sudah diatur dalam hukum perusahaan. 

Korupsi terjadi karena ada pemberi dan penerima. Jepang telah mencegahnya dari hal sepele, tapi penting. Dan yang sepele itu memang inti persoalan korupsi dewasa ini. Menurut seorang pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Jepang yang saya tanya soal itu, para perumus larangan korupsi di negeri itu tak ingin tip menjadi budaya. 

"Yang saya tangkap dari larangan itu, kami tak ingin ketulusan dihargai dengan materi," begitu katanya. "Sebab, materialisme itu pangkal segala keserakahan." Seorang teman mendapatkan ketulusan itu dari seorang perempuan Jepang di Kyoto. Dompetnya jatuh entah di mana, dan ia baru sadar setelah sampai di apartemennya. Di tengah kebingungan setelah bertanya ke sana-kemari, terutama petugas trem dan stasiun yang baru saja ia lalui, seorang perempuan menelepon ke kamarnya. Perempuan itu menerangkan bahwa ia menemukan dompet berisi kartu nama yang ada nomor telepon apartemen itu. 

Dengan girang tak terkira, teman yang sedang kuliah di Ritsumeikan itu berterima kasih atas kebaikan perempuan ini. Keduanya membuat janji bertemu di dekat sebuah mal yang terkenal di Ibu kota Jepang lama itu. Dan dompet itu masih utuh hingga lembar-lembar kertas yang tak penting. Seperti umumnya orang Indonesia, teman ini mencabut semua lembar yen yang ada di dompetnya dan hendak diberikan kepada perempuan yang ia taksir berusia 45 tahunan itu. Namun perempuan itu menolak. 

Menurut dia, agak aneh bahwa di Indonesia ketulusan membantu dihargai dengan uang. Setelah termangu, teman saya ini mengangguk berkali-kali mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke masjid di lantai dasar sebuah toko kelontong dan menyumbangkan semua yen di dompetnya ke sana. 

Saya teringat kembali omongan pejabat di Kementerian Luar Negeri. Kelancungan para koruptor tanpa rasa malu mencuri kekayaan yang bukan haknya mungkin memang bersumber dari sifat serakah karena lingkungan yang membudayakan materi sebagai alat tukar niat baik dan ketulusan. Kita tak menyadari bahwa hal-hal sepele seperti itu bisa menjadi persoalan serius dalam membentuk pola pikir, tradisi, dan pada akhirnya menciptakan norma baik dan buruk. 

Pejabat Jepang itu menjelaskan lebih ilmiah bahwa tip membuat penghasilan petugas hotel itu tak tercatat, karena itu luput dari aturan pajak. Di Jepang, pajak adalah instrumen mengatur hajat hidup orang banyak. Ekonomi bawah tanah dalam tip membuat penerimanya menikmati rezeki yang bukan haknya. Sebab, hak dalam kekayaan terikat kewajiban kepada negara berupa pajak. Tip berada di luar penghasilan resmi. 

Semangat melarang tip adalah memberi pemahaman: upah di luar gaji dalam pekerjaan bukan rezeki yang mesti diterima. Di Jepang, pola pikir dan tradisi ini dituangkan melalui hukum positif yang dijalankan dengan takzim oleh penduduknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar