Rabu, 18 Desember 2013

Pemimpin yang Menentukan

Pemimpin yang Menentukan
M Sobary  ;    Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, 
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  17 Desember 2013

  

Bung Karno memiliki adagium moral-psikologis yang bersifat idiomatik: baik buruknya masyarakat bergantung pada perempuan. Bila perempuan di dalam masyarakat baik, pasti baiklah masyarakatnya. Bila sebaliknya, perempuan buruk, pasti buruk pula masyarakatnya. 

Perempuan dianggap begitu menentukan karena sebagai ”ratu” rumah tangga, perempuan sangat berkuasa terhadap anak-anak dan remaja yang sedang mencari nilai-nilai dalam hidup. Dalam masa ”pancaroba” yang penuh gejolak, suatu masa ”krisis”, anak-anak dan remaja mencari ”role model”, teladan utama, untuk menjadi pegangan hidup. Bila mereka melewati masa itu dengan selamat, niscaya selamatlah kehidupan mereka selanjutnya. 

Begitulah ”dalil” psikologi buat anak-anak remaja yang sedang ”memberontak” kemapanan nilai-nilai dan tatanan hidup yang mereka rasakan sebagai tatanan yang baik buat orangtua, tetapitidakcocokbuat generasi mereka. Anak-anak itu ”bertanya” dengan sikap kritis. Bahkan tak jarang dengan kemarahan yang meledak-ledak. Rumah tangga, keluarga, dan sekolah menjadi sasaran ”pemberontakan” itu. Masyarakat merupakan panggung utama, tempat mereka memamerkan pemberontakan tadi. 

Perempuan, ibu, dan ”ratu rumah tangga” tadi tampil untuk memberikan jawaban. Mereka yang dianggap mampu meredakan gejolak kaum muda. Tidak mengherankan bila posisi perempuan mampu melahirkan adagium moral-psikologis tadi. *** Sekarang orang sudah lupa pada adagium itu. Semua yang berbau Bung Karno, nama beliau, karisma beliau, kekayaan metafora politik beliau, yang hebat dan mencerdaskan, dan memberi rangsangan kreatif bagi bangsanya, dihapus bersih. Sisanya ”dipendem jero” oleh Pak Harto. 

Masa Bung Karno disebut Orde Lama dan masa beliau disebut Orde Baru. Ada jarak zaman yang sekaligus menjadi jarak psikologi politik. Ketika zaman Orde Baru berkuasa, lahirlah idiom-idiom teknis: stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, pembangunan, penghayatan dan pengamalan Pancasila, stabilitas…, pertumbuhan…., terus menerus, dan kita bosan. Semua itu baik bagi pemerintah dan bagi Pak Harto dan kawankawannya. 

Tapi, membosankan bagi jiwa-jiwa yang sedang tumbuh dan kritis bertanya tentang kiblat hidup, nilai-nilai, dan orientasi baru yang memperkaya wawasan dan cita rasa yang bersifat antikemapanan. Sejarah, bagi banyak kalangan, diyakini dan dipuja sebagai cara mencatat kenangan dan mekanisme atau strategi ”melawan lupa”. Tidak. Bukan itu. Sejarah juga cara yang anggun, tapi licik untuk melupakan secara sah apa yang ingin dilupakan. Melupakan sejarah melalui sejarah dilakukan Orde Baru. 

Di sini nyata bagi kita, sejarah menjadi cermin ketidakadilan politik dan ilmu pengetahuan. Terutama sejarah itu sendiri. Pak Harto, yang merasa kalah sorot dengan Bung Karno, sibuk melawan Bung Karno yang sudah tidak ada itu. Dalam perkara ini beliau secara pribadi sebagai pemimpin sangat menentukan. Tokoh-tokoh Orde Baru lainnya yang banyak jumlahnya itu hanyalah bayangan pribadi dan ambisi politik beliau. Pemimpin cukup satu. Pemimpin yang menentukan segalanya. 

Gagasan celaka ini berkembang sampai hari ini. Indeks yang disusun berdasarkan suatu hasil penelitian ilmiah yang cermat dan hati-hati merumuskan fakta lapangan, menemukan fenomena itu sebagai kejutan, tapi juga kekecewaan. Disebut kejutan karena sebenarnya itu tak diharapkan. Menjadi kekecewaan karena sebenarnya di alam ”terbuka” dan ”demokratis” ini seharusnya yang tampil itu fenomena lain sesuai harapan demokrasi dan aspirasi politik kita bersama. 

Organisasi bernama ”Kemitraan” untuk ”Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan” yang mendambakan lahir suatu ”good governance” melakukan penelitian dengan ”research question” seperti apa potret tata pemerintahan kita. Metodenya menarik. Kekuatan-kekuatan dalam pemerintahan di daerah, ”civil society”, media, dunia bisnis, dan semua diajak berkumpul untuk mendiskusikan berbagai aspek dalam pemerintahan. Mulai dari sistem penganggaran, penyusunan program/ proyek, pelaksanaan, dan potret pencapaian dan hasilnya dilaporkan secara terbuka, apa adanya. 

Apakah sistempenganggaranterbuka, apakahnilaisetiap proyek, subproyek, unsur-unsur proyek, sampaikeihwalkecil, nilai rupiahnya tercantum secara terbuka? Apakah pelaksanaannya secara terbuka pula sehingga kita bisa tahu di mana kecocokan rencana dan pelaksanaan, di mana penyimpangan antara rencana dan pelaksanaannya. Dunia bisnis yang selalu menjadi partner pemerintah diminta bicara apa yang dianggap ideal dan tingkah laku birokratik seperti apa yang menurut mereka transparan dan memenuhi harapan dunia bisnis dan masyarakat luas pada umumnya. 

Wakil-wakil organisasi dan pribadi-pribadi dalam ”civil society” juga diminta bicara. Begitu juga wakil-wakil media. Istimewanya, media juga meliput apa yang terjadi kelak dan melaporkan kepada publik secara luas di mana kesesuaian dan di mana penyimpangan terjadi. Selain diskusi terbuka itu, diadakan juga penelitian lapangan. Para peneliti berusaha meminjam dokumen mereka. Tapi, pemda-pemda kita umumnya tertutup. Dokumen dianggap rahasia. Ini cara mereka menutup diri agar tak dikontrol. Ini cara menyembunyikan korupsi. 

Ada pemda-pemda yang terbuka dan menerima dengan baik permintaan wawancara, diskusi, dan meminjam dokumen. Bagi mereka, terbuka bukan berarti terancam. Para peneliti itu memang hanya meneliti secara ilmiah dengan etika ilmu dan politik yang mereka junjung tinggi. Hasildiskusidanpenelitianlapangan itu diolah dengan cermat dan hati-hati. Kemudian tampillah profil tata pemerintahan pemda-pemda kita. Profil itu disusun berdasarkan ranking. Ada pemda, yang dulu ranking satu, kini ranking bawah, dan mereka marah melihat potret diri yang buram itu. 

Pemda-pemda yang ranking-nya anjlok, merosot drastis, tidak bisa menerima hasil penelitian itu. Adagium politik di zaman Pak Harto dan sikap politik beliau pribadi kini tampil lagi: pemimpin itu penentu segalanya. Sukses dan gagal pemerintahan bergantung pemimpin. Segala hal di tangan pemimpin. Citra pemerintahan daerah mentereng, ditentukan sang pemimpin. Pemerintah daerah memperoleh ”award” karena prestasi yang mencolok di bidang ”governance”, karena sosok pribadi dan popularitas pemimpinnya. Ini berbahaya sekali. 

Tiap kali pemimpin daerah pergi atau habis masa jabatannya prestasi daerah itu merosot. Hilangnya pemimpin berarti lenyapnya tata pemerintahanyangterbuka, rapi, partisipatif, dan berprestasi. Kita memuja tokoh, mengandalkan orang, sosok pribadi, dan segenap kompetensinya yang tak menjadi ”institutional memory” karena bangsa kita tak memikirkan pembangunan institusi. Apa yang pribadi bisa hilang dan dibawa pergi? Silakan saja. Birokrasi tak memperoleh warisan sang pemimpin? Itu bukan masalah. 

”Kemitraan” melalui ”governane index”-nya mengajak kita melembagakan kebaikan dan kompetensi pribadi yang hebathebat tadi menjadi ”cultural legacy” dalam masyarakat untuk memperkuat birokrasi. Dengan begitu, bukan sosok pribadi yang menentukan. Pribadibolehpergi, tetapi birokrasi yang ”well-functioning” harus tetap tinggal. Institusi lebih penting dari pribadi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar