Bung Karno memiliki
adagium moral-psikologis yang bersifat idiomatik: baik buruknya masyarakat
bergantung pada perempuan. Bila perempuan di dalam masyarakat baik, pasti
baiklah masyarakatnya. Bila sebaliknya, perempuan buruk, pasti buruk pula
masyarakatnya.
Perempuan dianggap begitu menentukan karena sebagai ”ratu” rumah tangga,
perempuan sangat berkuasa terhadap anak-anak dan remaja yang sedang mencari
nilai-nilai dalam hidup. Dalam masa ”pancaroba” yang penuh gejolak, suatu
masa ”krisis”, anak-anak dan remaja mencari ”role model”, teladan utama,
untuk menjadi pegangan hidup. Bila mereka melewati masa itu dengan selamat,
niscaya selamatlah kehidupan mereka selanjutnya.
Begitulah ”dalil” psikologi buat anak-anak remaja yang sedang ”memberontak”
kemapanan nilai-nilai dan tatanan hidup yang mereka rasakan sebagai tatanan
yang baik buat orangtua, tetapitidakcocokbuat generasi mereka. Anak-anak
itu ”bertanya” dengan sikap kritis. Bahkan tak jarang dengan kemarahan yang
meledak-ledak. Rumah tangga, keluarga, dan sekolah menjadi sasaran
”pemberontakan” itu. Masyarakat merupakan panggung utama, tempat mereka
memamerkan pemberontakan tadi.
Perempuan, ibu, dan ”ratu rumah tangga” tadi tampil untuk memberikan
jawaban. Mereka yang dianggap mampu meredakan gejolak kaum muda. Tidak
mengherankan bila posisi perempuan mampu melahirkan adagium
moral-psikologis tadi. *** Sekarang orang sudah lupa pada adagium itu.
Semua yang berbau Bung Karno, nama beliau, karisma beliau, kekayaan
metafora politik beliau, yang hebat dan mencerdaskan, dan memberi
rangsangan kreatif bagi bangsanya, dihapus bersih. Sisanya ”dipendem jero”
oleh Pak Harto.
Masa Bung Karno disebut Orde Lama dan masa beliau disebut Orde Baru. Ada
jarak zaman yang sekaligus menjadi jarak psikologi politik. Ketika zaman
Orde Baru berkuasa, lahirlah idiom-idiom teknis: stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi, pembangunan, penghayatan dan pengamalan Pancasila,
stabilitas…, pertumbuhan…., terus menerus, dan kita bosan. Semua itu baik
bagi pemerintah dan bagi Pak Harto dan kawankawannya.
Tapi, membosankan bagi jiwa-jiwa yang sedang tumbuh dan kritis bertanya
tentang kiblat hidup, nilai-nilai, dan orientasi baru yang memperkaya
wawasan dan cita rasa yang bersifat antikemapanan. Sejarah, bagi banyak
kalangan, diyakini dan dipuja sebagai cara mencatat kenangan dan mekanisme
atau strategi ”melawan lupa”. Tidak. Bukan itu. Sejarah juga cara yang
anggun, tapi licik untuk melupakan secara sah apa yang ingin dilupakan.
Melupakan sejarah melalui sejarah dilakukan Orde Baru.
Di sini nyata bagi kita, sejarah menjadi cermin ketidakadilan politik dan
ilmu pengetahuan. Terutama sejarah itu sendiri. Pak Harto, yang merasa
kalah sorot dengan Bung Karno, sibuk melawan Bung Karno yang sudah tidak
ada itu. Dalam perkara ini beliau secara pribadi sebagai pemimpin sangat
menentukan. Tokoh-tokoh Orde Baru lainnya yang banyak jumlahnya itu
hanyalah bayangan pribadi dan ambisi politik beliau. Pemimpin cukup satu.
Pemimpin yang menentukan segalanya.
Gagasan celaka ini berkembang sampai hari ini. Indeks yang disusun
berdasarkan suatu hasil penelitian ilmiah yang cermat dan hati-hati
merumuskan fakta lapangan, menemukan fenomena itu sebagai kejutan, tapi
juga kekecewaan. Disebut kejutan karena sebenarnya itu tak diharapkan.
Menjadi kekecewaan karena sebenarnya di alam ”terbuka” dan ”demokratis” ini
seharusnya yang tampil itu fenomena lain sesuai harapan demokrasi dan
aspirasi politik kita bersama.
Organisasi bernama ”Kemitraan” untuk ”Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan”
yang mendambakan lahir suatu ”good governance” melakukan penelitian dengan
”research question” seperti apa potret tata pemerintahan kita. Metodenya
menarik. Kekuatan-kekuatan dalam pemerintahan di daerah, ”civil society”,
media, dunia bisnis, dan semua diajak berkumpul untuk mendiskusikan
berbagai aspek dalam pemerintahan. Mulai dari sistem penganggaran,
penyusunan program/ proyek, pelaksanaan, dan potret pencapaian dan hasilnya
dilaporkan secara terbuka, apa adanya.
Apakah sistempenganggaranterbuka, apakahnilaisetiap proyek, subproyek, unsur-unsur
proyek, sampaikeihwalkecil, nilai rupiahnya tercantum secara terbuka?
Apakah pelaksanaannya secara terbuka pula sehingga kita bisa tahu di mana
kecocokan rencana dan pelaksanaan, di mana penyimpangan antara rencana dan
pelaksanaannya. Dunia bisnis yang selalu menjadi partner pemerintah diminta
bicara apa yang dianggap ideal dan tingkah laku birokratik seperti apa yang
menurut mereka transparan dan memenuhi harapan dunia bisnis dan masyarakat
luas pada umumnya.
Wakil-wakil organisasi dan pribadi-pribadi dalam ”civil society” juga
diminta bicara. Begitu juga wakil-wakil media. Istimewanya, media juga
meliput apa yang terjadi kelak dan melaporkan kepada publik secara luas di
mana kesesuaian dan di mana penyimpangan terjadi. Selain diskusi terbuka itu,
diadakan juga penelitian lapangan. Para peneliti berusaha meminjam dokumen
mereka. Tapi, pemda-pemda kita umumnya tertutup. Dokumen dianggap rahasia.
Ini cara mereka menutup diri agar tak dikontrol. Ini cara menyembunyikan
korupsi.
Ada pemda-pemda yang terbuka dan menerima dengan baik permintaan wawancara,
diskusi, dan meminjam dokumen. Bagi mereka, terbuka bukan berarti terancam.
Para peneliti itu memang hanya meneliti secara ilmiah dengan etika ilmu dan
politik yang mereka junjung tinggi. Hasildiskusidanpenelitianlapangan itu
diolah dengan cermat dan hati-hati. Kemudian tampillah profil tata
pemerintahan pemda-pemda kita. Profil itu disusun berdasarkan ranking. Ada
pemda, yang dulu ranking satu, kini ranking bawah, dan mereka marah melihat
potret diri yang buram itu.
Pemda-pemda yang ranking-nya anjlok, merosot drastis, tidak bisa menerima
hasil penelitian itu. Adagium politik di zaman Pak Harto dan sikap politik
beliau pribadi kini tampil lagi: pemimpin itu penentu segalanya. Sukses dan
gagal pemerintahan bergantung pemimpin. Segala hal di tangan pemimpin.
Citra pemerintahan daerah mentereng, ditentukan sang pemimpin. Pemerintah
daerah memperoleh ”award” karena prestasi yang mencolok di bidang
”governance”, karena sosok pribadi dan popularitas pemimpinnya. Ini
berbahaya sekali.
Tiap kali pemimpin daerah pergi atau habis masa jabatannya prestasi daerah
itu merosot. Hilangnya pemimpin berarti lenyapnya tata
pemerintahanyangterbuka, rapi, partisipatif, dan berprestasi. Kita memuja
tokoh, mengandalkan orang, sosok pribadi, dan segenap kompetensinya yang
tak menjadi ”institutional memory” karena bangsa kita tak memikirkan
pembangunan institusi. Apa yang pribadi bisa hilang dan dibawa pergi?
Silakan saja. Birokrasi tak memperoleh warisan sang pemimpin? Itu bukan
masalah.
”Kemitraan” melalui ”governane index”-nya mengajak kita melembagakan
kebaikan dan kompetensi pribadi yang hebathebat tadi menjadi ”cultural
legacy” dalam masyarakat untuk memperkuat birokrasi. Dengan begitu, bukan
sosok pribadi yang menentukan. Pribadibolehpergi, tetapi birokrasi yang
”well-functioning” harus tetap tinggal. Institusi lebih penting dari
pribadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar