Tak pelak lagi tahun
2014 merupakan tahun politik. Untuk keempat kalinya di era reformasi,
Indonesia akan disuguhi oleh hingar-bingar pesta demokrasi memilih anggota
legislatif (aleg), presiden dan wakil presiden baru.
Daftar calon anggota legislatif (caleg) pun sudah ditetapkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan beberapa parpol telah pula mendeklarasikan calon
presidennya (capres). Di tingkat nasional ada 12 parpol nasional yang akan
bertarung. Selain sembilan parpol yang ada di parlemen saat ini, ada juga
dua parpol lama nonparlemen, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Satusatunya parpol baru peserta
pemilu 2014 adalah partai Nasionalis Demokrat (Nasdem).
Golput dan
Delegitimasi Parpol
Seperti pileg dan pilpres lalu, tantangan terbesar pemilu 2014 adalah
kemungkinan meningkatnya angka golput dan menurunnya kepercayaan rakyat
pada parpol. Kasus-kasus korupsi di partai dan parlemen justru makin
membuat gerah dan frustrasi rakyat. Sebab, apalagi yang tersisa ketika
korupsi telah menimpa petinggi lembaga negara, menteri, kepala badan SKK Migas,
ketua MK, dan ketua umum/presiden partai? Pasca-Pemilu 2014 sulit
mengharapkan turunnya praktik korupsi secara signifikan.
Sebab, persoalan utamanya masih tetap sama, yakni mahalnya ongkos politik
(diperkirakan antara 0,5–5 miliar rupiah). Dengan kondisi tersebut, sistem
rekrutmen pencalegan cenderung menomorsatukan modal (gizi) dan kedekatan
ketimbang kualitas, integritas, moral dan pengabdian. Maka, tak
mengherankan bila muncul banyaknya caleg dadakan karena pemilu seolah telah
menjadi semacam perjudian nasib.
Dominasi Parpol
Besar
Lepas dari berbagai macam prediksi hasil survei selama ini, pemilu 2014
tampaknya akan tetap dikuasai tiga parpol nasionalis besar hasil pemilu
2009 yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Hanya peringkatnya saja yang mungkin berubah. PDIP dan
Partai Golkar agaknya yang akan bersaing ketat memperebutkan posisi pertama
dan kedua. Sedangkan Partai Demokrat yang dilanda kasus-kasus korupsi bisa
jadi akan melorot ke posisi ketiga.
Sebagaimana Partai Golkar, pengalaman pemilu selama ini menunjukkan bahwa
umumnya penurunan partai besar tak membuatnya jatuh drastis. Sangat mungkin
pemilu 2014 milik PDIP, menyalip Partai Golkar dan Demokrat. Selain paling
solid dan konsisten sebagai partai oposisi, PDIP juga merupakan satusatunya
partai berkepala banteng yang tersisa. Partai berkepala banteng lainnya,
seperti PNI Marhaenisme dan Partai Banteng Nasional Kerakyatan (PNBK) tak
lagi menjadi peserta pemilu.
Partai Golkar sendiri agaknya akan tetap berada di posisi kedua sebagaimana
pemilu 2009. Salah satu sebabnya adalah karena kurangnya soliditas internal
partai, khususnya, berkenaan dengan proses pencapresan Aburizal Bakrie.
Partai Golkar juga didera oleh larinya sebagian elite dan kadernya yang
mendirikan Partai Nasdem (2011). Bagaimanapun, hal tersebut cukup
mengganggu.
Hidup Mati Parpol
Menengah-Bawah
Pemilu legislatif 2014 kiranya akan menjadi pertaruhan hidup mati,
khususnya, di kalangan partai menengah dan bawah. Kuat dugaan, naiknya
angka parliamentary threshold (PT) dari 2,5% (2009) menjadi 3,5% (2014)
akan mendorong terjadinya penyederhanaan parpol sehingga jumlah parpol yang
berhasil melenggang ke Senayan (parlemen) akan mengalami pengurangan atau
kurang dari sembilan parpol. Tantangan terbesar kiranya akan dialami oleh
parpol “Islam” seperti PKS, PPP, PAN, PKB, dan PBB.
Persaingan sengit akan terjadi di antara mereka dalam memperebutkan kavling
partai Islam yang cenderung mengecil. Dengan redupnya politik aliran, secara
perlahan tapi pasti, suara tradisional partai Islam cenderung terserap ke
parpol nasionalis. Masalahnya, parpol Islam gagal menunjukkan perbedaan
substansialnya dengan parpol nasionalis dan tidak memperlihatkan dirinya
sebagai partai “bersih”. Fakta juga membuktikan bahwa mereka lebih
cenderung berkoalisi dengan partai nasionalis ketimbang dengan sesama
partai Islam.
Meskipun didera kasus korupsi yang menimpa mantan presidennya, Lutfhi Hasan
Ishaq, agaknya PKS masih cukup aman karena berbeda dengan partai Islam
lainnya, ia merupakan partai kader. Persaingan agak seimbang terjadi di
antara PAN, PPP dan PKB. Bukan tak mungkin posisi mereka akan terancam
mengingat selama ini ketiganya cenderung memperlihatkan sikapnya sebagai
anak manis partai pemerintah, Partai Demokrat. Dibandingkan PAN dan PPP,
PKB kiranya yang posisinya paling rentan.
Selain persebaran konstituennya yang tak merata (basis utamanya di Jawa
Timur), PKB juga terganggu karena perseteruannya dengan Yenny Wahid dan
pendukungnya yang keluar dari PKB dan mendirikan Partai Kemakmuran Bangsa
Nusantara (PKBN) pada 2011. Partai Islam yang kemungkinan besar tidak masuk
lagi ke Senayan adalah PBB. Dari beberapa pemilu tampak jelas bahwa basis
massanya sangat kecil dan tidak signifikan. Hal ini sekaligus menunjukkan
lemahnya pengaruh ketokohan Yusril Ihza Mahendra, tokoh utamanya. Di
kalangan partai nasionalis yang paling rentan adalah PKPI.
Selama ini posisinya boleh dibilang sama dengan PBB. Sebagaimana diketahui,
pada pemilu 2009 PKPI tak mampu menembus PT. Selain itu, ada Gerindra,
Hanura, dan Nasdem. Dengan ditopang media besar, Hanura masih harus
berusaha keras untuk mendongkrak suaranya. Kondisi Gerindra agaknya tak
jauh beda. Sementara Nasdem sebagai parpol baru sekalipun memiliki organisasi
yang tampak rapi juga harus berusaha sama kerasnya.
Pentingnya
Kedaulatan Rakyat
Lepas dari analisis di atas, parpol mana pun yang menjadi pemenang pemilu
2014 seharusnya bukan hal yang perlu dirisaukan. Yang terpenting adalah
bahwa parpol pemenang pemilu tersebut idealnya merupakan parpol yang paling
mampu memahami kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu harus menjadi
momentum untuk melakukan koreksi atas penyimpangan dan ketidakadilan atau
ketidakbenaran dalam berpolitik dan bernegara.
Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat harus bisa memberi hukuman (punishment)
pada parpol/caleg yang berkhianat dengan tidak memilihnya dan memberikan
dukungan (reward) pada parpol/caleg yang lebih amanah. Tak peduli parpol
apapun. Hal tersebut penting sebagai pembelajaran. Tetapi, sayangnya
kebanyakan rakyat bukan saja tidak memahami arti kedaulatan rakyat, tetapi
juga bersikap apatis dan permisif pada korupsi. Sikap apatis rakyat
tersebut, misalnya, terlihat dari rendahnya dukungan buruh pada aksi
demonstrasi antikorupsi.
Berbeda dengan demonstrasi UMR, bagi buruh demonstrasi antikorupsi
sepertinya dianggap tak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan mereka.
Padahal, salah satu persoalan utama rendahnya UMR buruh adalah karena
perusahaan harus mengeluarkan dana siluman yang besar. Menurut hasil survei
Bank Dunia (World Bank), biaya siluman mencapai 19–24% dari total biaya
produksi, sementara komponen gaji karyawan hanya 9- 12% dari total biaya
produksi.
Dengan kata lain, bila korupsi dapat ditekan, kenaikan UMR buruh dapat
menjadi sangat signifikan. Berkenaan dengan hal itu, kerja keras jelas
harus dilakukan, baik oleh KPU, Bawaslu, DKPP, pemerintah, ormas,
tokoh-tokoh informal, LSM maupun intelektual dan media massa dalam mendidik
rakyat untuk menjadi pemilih yang cerdas dan tak mudah tergoda oleh politik
uang. Lebih-lebih para pemilih pemula. Jargon “ambil uangnya, jangan pilih
orangnya” harus dihindari karena hanya akan menumbuhsuburkan praktik
korupsi.
Jargon tersebut hendaknya diubah menjadi, “jangan ambil uangnya, jangan
pula pilih orangnya”. Sebagai pilar penting demokrasi, Pemilu 2014 akan
menentukan masa depan Indonesia lima tahun ke depan. Pemilu harus
menjadikan rakyat berdaulat, tercerahkan dan terdidik secara politik.
Pemilu juga harus menjawab tuntutan rakyat dan mampu menghadirkan perubahan
nyata. Karena itu, sudah saatnya rakyat menggunakan hak politiknya untuk
memilih pemimpin yang tepat, jujur dan amanah demi kemajuan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar