Kamis, 19 Desember 2013

Pemimpin Karismatik

Pemimpin Karismatik
Erich Hansnata  ;    Kandidat PhD dari University of Canberra
KOMPAS,  18 Desember 2013

  

”The truth is that the people create the conditions for the leader, not the other way around.”

BEGITULAH Paul Coates menulis di majalah Time setelah kemenangan historis Barack Obama pada 2008. Intinya bukan Obama yang menjadi faktor utama kemenang- an, melainkan masyarakat sebagai arsitek perubahan tersebut.
Bligh dan Kohles (2009) dalam Jurnal The Leadership Quarterly  menyebutkan, masyarakatlah yang menciptakan pemimpin karismatik di tengah krisis kepercayaan.

Hal ini ditambah empat faktor pendukung, yaitu keuntungan demografi di mana pemilih muda aktif berperan, sokongan dana, peran media, dan perbaikan sistem registrasi pemilih.

Konteks yang sama dapat kita rasakan menjelang Pemilihan Umum 2014. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah gara-gara berbagai penyalahgunaan membuat masyarakat kehilangan harapan pada titik paling rendah.
Muncullah pemimpin seperti Joko Widodo (Jokowi) yang menurut Bligh dan Kohles adalah pemimpin karismatik bentukan masyarakat.

Karismatik bukan dalam arti gagah atau orasinya menghipnotis massa, melainkan karismatik dalam arti yang dideskripsikan Max Webber: kekuatan personal yang muncul akibat interaksi langsung antara pemimpin dan pengikutnya.

Profil Jokowi sebenarnya tidak sehebat para calon potensial lainnya. Di almamaternya Universitas Gadjah Mada (UGM), ia bukanlah mahasiswa cemerlang. Akan tetapi, justru kerja nyata, kesederhanaan sikap dan bahasa membuat ia seperti personifikasi kebanyakan orang. Jokowi menghadirkan akal sehat bagaimana pemimpin seharusnya berbuat.

Sebenarnya banyak calon pemimpin berpotensi memiliki spirit melayani bahkan dengan kualifikasi cemerlang di atas Jokowi, tetapi variabel kesempatan dan waktu membuat pemimpin seperti ini belum muncul.

Calon lain bisa saja memiliki kesempatan maju seperti dalam konvensi salah satu partai, tetapi keberpihakan sejarah belum tentu ada.

Jokowi memang belum menyatakan diri untuk maju sebagai kandidat presiden, tetapi ia harus menyadari bahwa bukan hanya faktor kesempatan yang ia miliki, melainkan juga faktor momentum di mana sejarah sedang berada di belakangnya.

Peran pemilih

Apa yang dilakukan Jokowi sebenarnya bukan luar biasa di negara maju yang proses demokratisasi dan pemerintahannya kredibel dan akuntabel. Namun, menjadi luar biasa di tengah hampir punahnya kehadiran negara dalam masyarakat.

Jika Jokowi maju dalam pemilihan Presiden, harus disadari sejak awal bahwa ini bukan hanya momentum keunggulan popularitas dan kesempatan kembali menjadi penguasa bagi partai pengusungnya.

Ini bukan hanya soal Jokowi! Ini momentum di mana kita ingin terlibat dalam sejarah perubahan.

Sebuah sejarah pembalikan nalar, di mana akal sehat kembali menjadi yang terdepan dan menghadirkan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel.
Kunci perubahan ada pada pemilih muda (young voters) dan Indonesia mempunyai keuntungan demografi tersebut.

Kita masih ingat terpilihnya Kevin Rudd di Australia pada 2007 dengan slogan ”ActNow” ketika mengalahkan John Howard dan tentu saja Barack Obama dengan slogan ”Change we can believe in” pada 2008.

Keduanya mengusung semangat pemilih muda. Semangat perubahan terhadap sistem yang stagnan, penuh retorika tanpa aksi, dan tidak responsif terhadap isu-isu dasar pelayanan publik.

Jutaan pemilih muda ini bukan hanya merangkai jaringan interaktif melalui sosial media, tetapi menjadi pionir kampanye yang penuh energi dan menginspirasi pemilih lain.

Sensus Penduduk 2010 secara kasar menunjukkan ada hampir 82 juta pemilih muda rentang usia 15-35 tahun, jumlah yang berpotensi untuk melakukan perubahan.

Majunya Jokowi dengan dukungan pemilih muda dapat dipandang sebagai momentum untuk Pemilu 2014 yang bersih dan transparan.

Kenyataannya, dua kali pemilihan presiden langsung tidak pernah membuat kita naik kelas. Data donatur tidak pernah transparan, logika pengeluaran dan pemasukan dana kampanye selalu tidak rasional.

Kampanye Obama 2008 merupakan modul yang mudah dicontek. Selain diaudit langsung oleh kantor akuntan ternama, semua jaringan kampanye mempunyai satu pintu untuk donasi.

Penyumbang finansial dan nonfinansial terdata rapi dalam sistem yang dapat diakses publik, termasuk laporan pengeluaran kampanye dari iklan, atribut, penyewaan konsultan dan kegiatanpolling, hingga gaji tim kampanye.

Obama juga menolak sumbangan dana kampanye dari pemerintah. Gerakan ini terbukti melahirkan efek bola salju di mana mayoritas donatur adalah penyumbang di bawah 200 dollar AS.

Peran media

Pemberitaan Jokowi sebenarnya adalah cerminan masyarakat terhadap sebuah harapan.

Harus disadari hal ini belum menyentuh inti dari peran media dalam politik. Merujuk studi Mondak (1995) di American Journal of Political Science  tentang peran media terhadap kesadaran politik, pemberitaan intensif terhadap suatu entitas politik belum tentu memperbaiki pengetahuan politik (political knowledge) publik, tetapi baru sebatas meningkatkan diskusi politik (political discussion).

Dalam konteks Pemilu 2014, media dapat berperan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjadi pemilih aktif dan terlibat dalam perubahan dibanding menjadi golput. Kita tidak ingin tren kemerosotan partisipasi pemilih kembali terjadi tahun depan.

Media juga dapat berperan dalam terus memantau proses registrasi pemilih. Kemenangan Obama 2008, misalnya, didukung oleh registrasi pemilih yang baik terutama di kantong-kantong marjinal seperti para pemilih Hispanik dan imigran Asia.

Lahirnya tokoh yang populer jelas bukan sebagai kultus, tetapi merupakan representasi untuk sebuah perubahan yang didesain masyarakat sendiri. Kita berharap Pemilu 2014 menjadi wahana pendewasaan pemilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar