”The truth is that the people
create the conditions for the leader, not the other way around.”
BEGITULAH Paul Coates menulis di
majalah Time setelah kemenangan historis Barack Obama pada 2008. Intinya
bukan Obama yang menjadi faktor utama kemenang- an, melainkan masyarakat
sebagai arsitek perubahan tersebut.
Bligh dan Kohles (2009) dalam Jurnal
The Leadership Quarterly menyebutkan, masyarakatlah yang menciptakan
pemimpin karismatik di tengah krisis kepercayaan.
Hal ini ditambah empat faktor
pendukung, yaitu keuntungan demografi di mana pemilih muda aktif berperan,
sokongan dana, peran media, dan perbaikan sistem registrasi pemilih.
Konteks yang sama dapat kita
rasakan menjelang Pemilihan Umum 2014. Krisis kepercayaan terhadap
pemerintah gara-gara berbagai penyalahgunaan membuat masyarakat kehilangan
harapan pada titik paling rendah.
Muncullah pemimpin seperti Joko
Widodo (Jokowi) yang menurut Bligh dan Kohles adalah pemimpin karismatik
bentukan masyarakat.
Karismatik bukan dalam arti
gagah atau orasinya menghipnotis massa, melainkan karismatik dalam arti
yang dideskripsikan Max Webber: kekuatan personal yang muncul akibat
interaksi langsung antara pemimpin dan pengikutnya.
Profil Jokowi sebenarnya tidak
sehebat para calon potensial lainnya. Di almamaternya Universitas Gadjah
Mada (UGM), ia bukanlah mahasiswa cemerlang. Akan tetapi, justru kerja
nyata, kesederhanaan sikap dan bahasa membuat ia seperti personifikasi
kebanyakan orang. Jokowi menghadirkan akal sehat bagaimana pemimpin
seharusnya berbuat.
Sebenarnya banyak calon pemimpin
berpotensi memiliki spirit melayani bahkan dengan kualifikasi cemerlang di
atas Jokowi, tetapi variabel kesempatan dan waktu membuat pemimpin seperti
ini belum muncul.
Calon lain bisa saja memiliki
kesempatan maju seperti dalam konvensi salah satu partai, tetapi
keberpihakan sejarah belum tentu ada.
Jokowi memang belum menyatakan
diri untuk maju sebagai kandidat presiden, tetapi ia harus menyadari bahwa
bukan hanya faktor kesempatan yang ia miliki, melainkan juga faktor
momentum di mana sejarah sedang berada di belakangnya.
Peran pemilih
Apa yang dilakukan Jokowi
sebenarnya bukan luar biasa di negara maju yang proses demokratisasi dan
pemerintahannya kredibel dan akuntabel. Namun, menjadi luar biasa di tengah
hampir punahnya kehadiran negara dalam masyarakat.
Jika Jokowi maju dalam pemilihan
Presiden, harus disadari sejak awal bahwa ini bukan hanya momentum
keunggulan popularitas dan kesempatan kembali menjadi penguasa bagi partai
pengusungnya.
Ini bukan hanya soal Jokowi! Ini
momentum di mana kita ingin terlibat dalam sejarah perubahan.
Sebuah sejarah pembalikan nalar,
di mana akal sehat kembali menjadi yang terdepan dan menghadirkan
pemerintahan yang kredibel dan akuntabel.
Kunci perubahan ada pada pemilih
muda (young voters) dan Indonesia
mempunyai keuntungan demografi tersebut.
Kita masih ingat terpilihnya
Kevin Rudd di Australia pada 2007 dengan slogan ”ActNow” ketika
mengalahkan John Howard dan tentu saja Barack Obama dengan slogan ”Change we can believe in” pada
2008.
Keduanya mengusung semangat
pemilih muda. Semangat perubahan terhadap sistem yang stagnan, penuh
retorika tanpa aksi, dan tidak responsif terhadap isu-isu dasar pelayanan
publik.
Jutaan pemilih muda ini bukan
hanya merangkai jaringan interaktif melalui sosial media, tetapi menjadi
pionir kampanye yang penuh energi dan menginspirasi pemilih lain.
Sensus Penduduk 2010 secara
kasar menunjukkan ada hampir 82 juta pemilih muda rentang usia 15-35 tahun,
jumlah yang berpotensi untuk melakukan perubahan.
Majunya Jokowi dengan dukungan
pemilih muda dapat dipandang sebagai momentum untuk Pemilu 2014 yang bersih
dan transparan.
Kenyataannya, dua kali pemilihan
presiden langsung tidak pernah membuat kita naik kelas. Data donatur tidak
pernah transparan, logika pengeluaran dan pemasukan dana kampanye selalu
tidak rasional.
Kampanye Obama 2008 merupakan
modul yang mudah dicontek. Selain diaudit langsung oleh kantor akuntan
ternama, semua jaringan kampanye mempunyai satu pintu untuk donasi.
Penyumbang finansial dan
nonfinansial terdata rapi dalam sistem yang dapat diakses publik, termasuk
laporan pengeluaran kampanye dari iklan, atribut, penyewaan konsultan dan
kegiatanpolling, hingga gaji tim kampanye.
Obama juga menolak sumbangan
dana kampanye dari pemerintah. Gerakan ini terbukti melahirkan efek bola
salju di mana mayoritas donatur adalah penyumbang di bawah 200 dollar AS.
Peran media
Pemberitaan Jokowi sebenarnya
adalah cerminan masyarakat terhadap sebuah harapan.
Harus disadari hal ini belum
menyentuh inti dari peran media dalam politik. Merujuk studi Mondak (1995)
di American Journal of Political
Science tentang peran media terhadap kesadaran politik,
pemberitaan intensif terhadap suatu entitas politik belum tentu memperbaiki
pengetahuan politik (political
knowledge) publik, tetapi baru sebatas meningkatkan diskusi politik (political discussion).
Dalam konteks Pemilu 2014, media
dapat berperan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjadi pemilih
aktif dan terlibat dalam perubahan dibanding menjadi golput. Kita tidak
ingin tren kemerosotan partisipasi pemilih kembali terjadi tahun depan.
Media juga dapat berperan dalam
terus memantau proses registrasi pemilih. Kemenangan Obama 2008, misalnya,
didukung oleh registrasi pemilih yang baik terutama di kantong-kantong
marjinal seperti para pemilih Hispanik dan imigran Asia.
Lahirnya tokoh yang populer
jelas bukan sebagai kultus, tetapi merupakan representasi untuk sebuah
perubahan yang didesain masyarakat sendiri. Kita berharap Pemilu 2014
menjadi wahana pendewasaan pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar