MELIHAT Papua dari kacamata
film Denias, seperti melihat Jakarta dari jendela Starbucks. Fakta tentang
Jakarta yang indah itu ada, tetapi dari jendela Starbucks, persoalan akut
Jakarta, seperti kemiskinan hingga kelompok marjinal dijadikan sebagai
korban, tak tertangkap. Demikian pula yang terjadi di Papua.
Keindahan alam Papua dalam film
itu adalah fakta yang sesungguhnya ada.
Namun, realitas sesungguhnya
masyarakat Papua tidaklah seindah alamnya. Dalam film itu, memang
ditampilkan sedikit persoalan yang dihadapi Papua saat ini, terutama dalam
bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Juga digambarkan sedikit
tentang kegiatan militer dan operasi tambang di wilayah timur Indonesia
tersebut.
Film produksi Alenia Pictures
itu menampilkan wajah asli Papua, tetapi belum sepenuhnya menunjukkan
paradoks yang dialami warganya. Dalam buku bertajuk Kekayaan, Agama,
dan Kekuasaan, Identitas dan Konflik di Indonesia Timur (Kanisius,
1998), persoalan di Papua bukan hanya lingkungan, konflik tanah, dan
keamanan. Industrialisasi yang terwakili PT Freeport Indonesia mengambil
banyak pengorbanan penduduk asli.
Theo Van den Broek, mantan
Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, dalam buku
itu mengungkapkan, ekspansi kapital, kultural, dan politik yang datang dari
luar Papua berimbas terhadap marjinalisasi orang asli Papua. Marjinalisasi
itu antara lain bersumber pada perebutan sumber dan peluang ekonomi di
perkotaan yang jumlahnya terbatas.
Persaingan yang demikian ketat,
dalam kajian Theo, dimenangi pendatang karena mereka dibekali pendidikan,
keterampilan, dan jaringan untuk mampu bersaing. Kondisi itu diperkuat
dengan komposisi penduduk di pusat ekonomi Papua. Jayapura, Merauke,
Sorong, Manokwari, Timika, Nabire, bahkan Wamena didominasi pendatang.
Mereka tak hanya menguasai sebagian besar kegiatan ekonomi, tetapi juga
jaringan politik lokal.
Dalam kajiannya, pegiat hak
asasi manusia di Papua, John Jonga, terungkap, di perkotaan, pendatang
mendapat akses dan keuntungan ekonomis lebih banyak atas pembangunan
infrastruktur. Itu memunculkan fenomenaelite capture. Marjinalisasi orang
asli Papua dalam ekonomi dan sosial terjadi karena keuntungan pembangunan
ditangkap dan dikuasai pendatang.
Meskipun ada kebijakan pemberian
dana Rp 100 juta per kampung dari Pemerintah Provinsi Papua melalui program
Respek dan Rp 1 miliar dari bupati, pelayanan pendidikan dan kesehatan di
pelosok kabupaten tetap tertinggal. Kondisi tersebut menjadi potret umum di
Papua.
Hal itu ditunjukkan dari posisi
indeks pembangunan manusia di Papua yang hingga saat ini masih menempati posisi
terendah dari 34 provinsi di Indonesia. Sebagai wilayah yang memiliki
kekayaan alam yang luar biasa, seperti mineral, minyak, dan hutan, orang
asli Papua tetap hidup dalam ketertinggalan. Kondisi itu diperparah dengan
industrialisasi di Papua yang ekstraktif. Puluhan perusahaan asing dan
nasional yang beroperasi di Papua dan Papua Barat sebagian besar hanya
mengambil material dasar. Besarnya arus migrasi yang merangsek ke semua
sektor dan ketergantungan terhadap pasokan dari daerah lain di Indonesia membuat
kejanggalan tersebut menjadi masuk akal.
Wakil Ketua DPR Papua Yunus
Wonda menambahkan, maraknya korupsi membuat paradoks di Papua menjadi-jadi.
Hal itu sedikit menjelaskan, mengapa meskipun pemimpin Papua saat ini
adalah orang asli Papua, kondisi wilayah itu tidak banyak berubah. Bahkan,
beberapa wilayah pemekaran justru menjadi wilayah termiskin dan terlilit
persoalan politik, seperti Kabupaten Puncak.
Tidak dapat dihindari, hal itu
membuat bayangan imajinatif tentang Papua selama ini, seperti keterbelakangan,
tak aman, dan sulit maju, seolah menjadi benar. Argumentasi sejarah yang
menempatkan Papua sebagai tempat pembuangan sejak era Pemerintah Kolonial
Belanda pun lestari hingga kini.
Lebih memprihatinkan, hal itu diperparah
dengan relasi vertikal antara Jakarta dan Papua yang hingga saat ini tidak
pernah nyaman. Persoalan sejarah, politik, isu keamanan, dan hak asasi
manusia yang berpangkal dari ketidaksalingpercayaan antara Jakarta dan
Papua tak kunjung dituntaskan, bahkan terus memicu meluasnya konflik dan
jatuhya korban.
Sebagian aktivis politik di
Papua lalu mengapitalisasi hal itu menjadi isu kriminalisasi atas gerakan
politik Papua dan menguatkan isu referendum. Saat Undang-Undang (UU) Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua digugat, sebab
belum bisa menjawab persoalan itu, pemerintah justru menawarkan alternatif
baru rancangan UU otonomi khusus plus atau Pemerintahan Papua.
Tentu saja rakyat kembali
menolaknya, apalagi minim aspirasi orang Papua. Sikap pemerintah yang seolah
tak mau tahu tentang persoalan dasar mereka membuat kesenjangan antara yang
dipikirkan Jakarta dan yang dimaui Papua terus berkembang. Kondisi itu
membuat konflik di Papua apa pun basis soalnya, entah sejarah, politik,
atau sosial dan ekonomi, tak berkesudahan dan menjadi siklus.
Sayang, gagasan demokratis yang
diajukan pemikir Papua dan sejumlah kalangan di Jakarta, yaitu dialog
antara masyarakat Papua dan pemerintah kurang ditanggapi positif dari
Jakarta. Lahirnya rancangan UU otonomi khusus plus menandai sikap itu.
Padahal perwakilan rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua sepakat untuk
menerima dialog sebagai sarana mencari solusi atas berbagai persoalan dasar
Papua.
Peneliti senior dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan S Widjojo, menuturkan, jika dialog
digelar, siklus konflik dapat dipotong dan stigma separatisme tidak relevan
lagi. Dialog akan mengubah bangunan pemahaman tentang Papua yang selama ini
dilihat rawan konflik. Jika menilik konsensus pendiri republik, sebagaimana
dikemukakan Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry
Priyono, Indonesia dibentuk berdasarkan prinsip yang bersifat civic. Civic berasal
dari kata Latin civis, berarti warga negara. Dasarcivic berarti
keanggotaan dalam negara-bangsa Indonesia bukan pada identitas suku, ras
agama, atau gaya hidup, dan pemilikan uang atau harta, tetapi didasarkan
pada identitas orang sebagai warga negara.
Dalam kerangka itu, tawaran
dialog yang diajukan Jaringan Damai Papua menjadi kontekstual dan relevan.
Hanya, gagasan itu belum sepenuhnya menjadi pilihan Pemerintah Indonesia.
Menurut dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura
Neles Tebay, masih ada kecurigaan, dialog menjadi ruang bagi Papua untuk
meminta merdeka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar