Senin, 02 Desember 2013

Pemahaman Risiko Medis Penegak Hukum

Pemahaman Risiko Medis Penegak Hukum
Eka J Wahjoepramono  ;   Doktor Hukum Kedokteran UPH,
Dekan FK Universitas Pelita Harapan
MEDIA INDONESIA,  30 November 2013
  


SELALU menjadi perdebatan penegak hukum dengan dunia medis bahwa tidak selalu akibat yang ditimbulkan dalam praktik medik berupa cacat permanen atau bahkan kematian dapat disamakan dengan malapraktik. ‘Kriminalisasi’ praktik kedokteran terjadi kembali di RS Dr Kandau Manado pada April 2010, setelah yang terjadi pada dokter (dr) Setyaningrum di Pati, Jawa Tengah, pada 1979.

Pasien akhirnya meninggal dunia sekitar 20 menit pascaoperasi caesar darurat. Dari hasil autopsi dan diperkuat pernyataan Ketua Umum POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) disebutkan, pada sayatan pertama saat operasi, keluar darah berwarna hitam yang merupakan tanda pasien dalam keadaan kurang oksigen. Dalam dunia kedokteran, gejala itu disebut dengan emboli. Emboli udara (gelembung udara) ditemukan pada bilik kanan jantung pasien sehingga mengganggu peredaran darah. Emboli tidak bisa diprediksi dan dicegah, dan waktu tindakannya pun dalam hitungan menit. Kasus itu kemudian diangkat jaksa untuk diajukan ke pengadilan dengan dugaan kelalaian menjalani profesi medik (malapraktik) dan dituntut dengan ancaman pidana selama 10 bulan penjara. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado, setelah memeriksa saksi dan alat bukti, menyatakan tidak ditemukan unsur tindak pidana pada tim dokter sehingga dinyatakan tidak bersalah dan bebas murni. Namun, jaksa mengajukan kasasi dan dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

Membaca kasus itu membuat penulis secara pribadi dan dunia kedokteran pada umumnya sangat prihatin dan termotivasi untuk mengingatkan kembali kepada penegak hukum bahwa dalam dunia kedokteran juga dikenal dengan prinsip `risiko medis'. Tidak serta-merta apa yang kemudian timbul sebagai akibat dari praktik kedokteran terhadap diri pasien, baik cacat permanen ataupun kematian, kemudian dikatakan sebagai malapraktik.

Hal itu perlu dipahami dan diluruskan kepada semua pihak, khususnya kepada penegak hukum, bahwa profesi kedokteran Indonesia sudah menerapkan apa yang dinamakan dengan standar profesi medis, yaitu batasan kemampuan (knowledge, skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat organisasi profesi, berupa surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktek (SIP).

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, apabila dokter/dokter gigi yang melaksanakan praktik kedokteran/kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasi standar, dokter/dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Upaya perlindungan

Selain harus mematuhi standar profesi medis seperti telah diuraikan, Selain harus mematuhi standar profesi medis seperti telah diuraikan, dokter diharuskan pula memenuhi standar pelayanan medis (SPM) dan prosedur operasi standar (SOP). SPM diatur dalam Pasal 44 UU Praktik Kedokteran, yang menyatakan, ‘ Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi'. SPM itu sebagai pedo man dalam pengawasan praktik dokter, pembinaan, serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia yang efektif dan efisien. Selain itu, dimaksudkan juga untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat luas, serta untuk me lindungi masyarakat dari praktik-praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.

SOP ialah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan kinerja berdasar kan indikator-indikator teknis, administratif, dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja, dan sistem kerja pada unit kerja yang bersang kutan. SOP meliputi anamnesis, yaitu kegiatan tanya ja wab dokter/dokter gigi kepada pasien mengenai penyakit atau keluhan yang dirasakan pasien; physic diagnostic, yaitu berupa yaitu berupa pemeriksa an jasmani pasien, pemeriksaan tambahan bila dipandang perlu berupa pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan sebagainya; dan terakhir adalah tindakan medis.

Dengan terpenuhinya tiga dasar standar profesi medis tersebut, dapat dikatakan dokter mendapatkan perlindungan hukum berupa alasan pembenar menjalankan profesinya. Selain itu, dalam ketentuan pidana di Indonesia, seorang dokter mendapatkan alasan penghapus pidana karena adanya dua dasar peniadaan kesalahan, yaitu alasan pembenar, alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar dan alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat memaafkan sifat perbuatannya meskipun perbuatan tersebut melawan hukum.

Namun dalam hal ini, dokter yang menjalankan profesinya sesuai dengan koridor hukum tersebut akan terlepas dari tuntutan hukum dengan alasan pembenar. Dengan demikian, menjadi tidak sertamerta sebuah akibat yang tidak diinginkan (keadaan tidak diinginkan) pada seorang pasien merupakan kelalaian dokter. Penegak hukum perlu memiliki pemahaman akan profesi medis dengan segala akibatnya. Kriminalisasi kepada dokter akan mematikan karakter, masa depan, dan keluarga dari dokter itu sendiri yang notabene merupakan profesi yang nobel. Hal itu pernah penulis alami ketika sebagai seorang dokter bedah saraf berhadapan dengan proses hukum, yang tentunya menghabiskan waktu, energi, dan konsentrasi untuk itu.

Sikap defensif

Putusan kasasi yang mengabulkan tuntutan jaksa dan menjatuhkan vonis pidana bagi tim dokter di RS Dr Kandau Manado tidak menutup kemungkinan membuat kalangan dokter akan menerapkan apa yang dinamakan dengan defensive medicine. Dalam literatur, dikenal ada dua jenis defensive medicine, yaitu tipe pertama para dokter cenderung memeriksa hal-hal yang tidak diperlukan sebelum melakukan tindakan. 

Misalnya seorang pasien dari Swiss datang kepada penulis dengan saraf terjepit di tangan (carpal tunnel syndrome), dokter harus memeriksa pasien dengan general check up sehingga biaya membengkak 20 kali lipat karena takut bila terjadi sesuatu pada operasi tersebut dokter dapat dituntut.

Tipe dua ialah sebagian dokter cenderung tidak mau melakukan operasi atau terapi dengan risiko dan kesulitan tinggi, dengan alasan stres luar biasa, mudah dituntut, dan imbal jasa yang tidak sepadan dengan risikonya. Akibatnya, dokter tersebut merujuk ke tempat lain atau ke luar negeri.

Tindakan sectio pada kegawatan janin adalah dibenarkan pada kasus yang terjadi di RS Dr Kandau Manado. Sepanjang tim dokter yang melakukan sectio telah memenuhi ketentuan tersebut, kejadian apa pun yang muncul (meninggalnya Saudari Julia Fransiska), dokter akan terlepas dari tuntutan pidana karena telah menjalankan perintah UU. Kejadian tersebut dalam dunia kedokteran diistilahkan sebagai kejadian tidak diinginkan (KTD). 

Semoga penegak hukum dapat memahami prinsip-prinsip yang berlaku pada praktik profesi kedokteran sebelum melakukan tuntutan hukum atas risiko yang terjadi pada praktik profesi kedokteran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar