Senin, 02 Desember 2013

Merajut Etika Pendidikan

Merajut Etika Pendidikan
William Chang  ;   Dosen Mata Kuliah Etika di STIE Widya Dharma Pontianak, S-3 Universitas Lateran, Roma, Italia
MEDIA INDONESIA,  30 November 2013
  


PERNIAGAAN nilai UTSUAS, skripsi, tesis, dan disertasi selaris kacang goreng. Sejumlah guru di Sulut rela merogoh Rp25 juta hingga Rp30 juta untuk memburu gelar ‘magister’ palsu. Bahkan, sekitar 400 perguruan tinggi (PT) terjerat plagiarisme dalam proses akreditasi dan kenaikan jabatan fungsional dosen.

Wabah diploma disease (1980-an) kembali menyerang dunia PT di Tanah Air. ‘Pelunasan’ kredit perkuliahan termasuk salah satu orientasi pendidikan formal kita. Sejak awal, seorang calon sarjana harus membanting tulang untuk memenuhi tuntutan perkreditan. Penguasaan ilmu pengetahuan merupakan dampak samping pelunasan beban akademik. Tidak mengherankan jika peserta didik acap kali terjebak plagiarisme dan pembelian skripsi, tesis atau disertasi.

Virus demam sertifikat atau ijazah dieram dalam rahim politik, ekonomi, dan budaya yang korup. Martabat dan kapasitas manusia seolah-olah hanya bersandar pada prestasi akademik. Padahal, selembar sertifi kat, ijazah, atau segala gelar akademik sama sekali tidak menjamin kadar keetisan hidup seseorang. Akhir-akhir ini, tidak sedikit doktor atau profesor harus berurusan dengan polisi, KPK, jaksa, dan hakim. Kasus-kasus korupsi, plagiarisme, dan tindak kekerasan melilit tugas dan pelayanan mereka.

Kondisi bangsa saat ini sangat diwarnai pendidikan ala Orba yang mengesampingkan pembatinan nilai. Piagam, ijazah, dan medali termasuk sasaran akhir proses pendidikan formal. Kurikulum pendidikan formal tercemar gerakan politicking penguasa. Segala cara (kekerasan, pemaksaan, dan tindakan biadab) ditempuh untuk mencapai maksud dan tujuan politik penguasa. Catatan sejarah tahun 1965 mencerminkan pendidikan politik yang memilukan. Nilai dasar dalam komunitas moral, seperti kebenaran, kejujuran, tanggung jawab, transparansi, dan kepentingan sosial tenggelam. Setiap jebolan PT akan menjadi pemburu harta, takhta, dan mahkota, karena biaya pendidikan formal selama di PT sangat mahal.

Junjung pendidikan nilai

Harus diakui, pemerintah semakin memperhatikan proses pendidikan formal. Alokasi dana pemerintah dalam bidang itu tidak kecil. Sejumlah PT (atau sekolah) swasta sudah menikmati uluran tangan pemerintah. Dana hibah, rangsangan riset, dan sertifikasi guru/dosen masih berlangsung sampai sekarang. Sambil menyadari bahaya ‘penyimpangan anggaran’, tata kelola dunia pendidikan formal di Tanah Air sudah waktunya ditinjau ulang dengan lebih menyeluruh. Justru itu, penanggung jawab utama dunia pendidikan formal di pusat dan daerah tidak perlu terlibat langsung untuk menangani proyek infrastruktur pendidikan.

Benarkah sistem pendidikan kita sungguh mencerdaskan hidup berbangsa dan bernegara? Sampai sekarang, kecerdasan intelektual masih sangat menonjol kalau dibandingkan dengan kecerdasan spiritual dan emosional. Keetisan tindakan manusia tidak pernah dijamin oleh prestasi akademiknya. Jumlah pemeluk agama terus bertambah, tapi mutu hidup beriman masih menyedihkan. Kadar etis sejumlah pemegang tampuk pemerintahan terasa kian terpuruk.

Pemerintah (cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) bertanggung jawab penuh atas sistem pendidikan nilai bangsa kita yang sangat majemuk. Bagaimanakah nilai-nilai dalam falsafah bangsa dan kebijaksanaan lokal bisa diolah menjadi orientasi hidup berbangsa dan bernegara? Nilai-nilai yang selama ini ditelantarkan itu mencakup kemanusiaan, kebaikan, kejujuran, kerohanian, tanggung jawab, toleransi, dan demokrasi. Kekuatan sebuah bangsa tidak terletak pada banyaknya penduduk dan pesatnya pembangunan fi sik, tapi pada sistem pendidikan formal yang menekankan nilai-nilai penguat bangsa itu.

Kebangkitan nilai dalam dunia pendidikan tampak dalam sikap pendidik yang menghargai sikap dan perilaku setiap peserta didik. Yang dihargai bukan hanya kecerdasan intelektual, melainkan juga tindakan peserta didik di ruang pendidikan. Kebenaran, kejujuran, ketekunan, dan transparansi perilaku seseorang mendapat tempat istimewa. Identitas pendidikan kita tidak hanya melunaskan kredit dan mengejar angka-angka, tapi tertuju pada perilaku setiap peserta didik.

Tegakkan etika pendidikan

Tanpa mengabaikan peran keluarga dan masyarakat, pendidikan formal 
bertujuan membangun etos hidup dan kerja menurut kebutuhan masyarakat. Sarjana yang diharapkan dewasa ini bukan hanya pemegang selembar ijazah, melainkan juga yang terampil dalam keahliannya. Sebuah lembaga pendidikan formal ikut mempersiapkan sarjana-sarjana terampil dan bernilai tambah kalau dibandingkan dengan sarjana dari negara tetangga.

Etika pendidikan itu tidak terlepas dari etika profesi dunia pendidikan formal. Yang seharusnya memenuhi tuntutan etika profesi bukan hanya peserta didik, melainkan terutama pendidik. Di lapangan, pendidik cenderung bertindak menurut kehendak pribadi tanpa memperhatikan kepentingan peserta didik. Etika profesi itu membentuk kode eksplisit untuk menghindari bentuk-bentuk sanksi atas pelanggaran. Pada abad ke-4 SM, muncul Sumpah Hipocrates sebagai kode profesional, tolok ukur profesi.

Etika pendidikan memberikan arah dan pegangan dalam menggerakkan roda pendidikan sehingga nilai-nilai humaniora dapat diwujudkan. Yang didahulukan dalam ajang pendidikan formal ialah mempersiapkan anak-anak didik menjadi insan-insan cerdas secara holistis. Setamat pendidikan formal, peserta didik sanggup mengambil keputusan yang tepat dan mengisi hidup dengan baik. Pendidikan itu tidak hanya menyentuh lapisan akal budi, tapi sungguh menyentuh ranah pembinaan hati nurani hingga akhir hayat.

Sambil menyadari bahaya politisasi pendidikan formal, pendidikan hati nurani yang jujur dan bertanggung jawab sangat penting. Seakan-akan kaum akademisi melupakan peran hati nurani dalam pelaksanaan tugas kenegaraan. Sistem pendidikan kontekstual di Tanah Air perlu segera menjawab kebutuhan konkret pemerintahan, hukum, politik, ekonomi, agama, sosial, dan kebudayaan.

Jika sistem dan kurikulum pendidikan tidak menjawab kebutuhan kontekstual, materi pendidikan dalam ruang sekolah belum membumi, tetapi masih melangit. Salah satu mata pelajaran pokok yang mutlak diolah dalam dunia pendidikan formal ialah pembinaan hati nurani yang baik, jujur, bersih, transparan, dan bertanggung jawab dalam hidup dan pelayanan edukatif.
Biasanya, pendidikan nilai semestinya dimulai sejak dalam rahim seorang ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar