Senin, 02 Desember 2013

Misi Sang Penyelamat Kehidupan

Misi Sang Penyelamat Kehidupan
Firli  ;   Pernah bertugas di lingkungan Polda Jateng, Kini tinggal di Bekasi
SUARA MERDEKA,  30 November 2013

  

“Sejatinya dokter punya banyak cara untuk melakukan manuver guna merealisasikan keinginan secara elegan”

TETANGGA sebelah baru saja pulang kampung menengok cucu yang terbaring sakit di sebuah rumah sakit, dan kabarnya nihil tindakan yang bisa dianggap memadai, apalagi dilakukan segera. Cucunya itu mengeluhkan sakit pada pencernaan yang ditandai seringnya mencret. Biasanya, kata tetangga itu, sekali tindakan dokter bisa menyudahi sakitnya itu, tetapi tidak untuk kali ini.

Sepanjang hari si kecil hanya tergolek lemas di pembaringan tanpa satu pun dokter mendatangi tempat tidur anak tersebut. Hari itu, sebagian besar dokter memang sepakat meninggalkan tugas mulia menolong sesama. Mereka lebih memilih menghimpun diri, pamer kekuatan di jalan raya dalam rupa unjuk rasa.

Semua orang tentu maklum, kejadian eksodus dokter dari tugas kemanusiaan merebak beberapa waktu lalu. Gara-gara bisa berdemonstrasi, semua orang, termasuk dokter menggunakan sarana unjuk rasa guna memanifestasikan tuntutan diri, teman sejawat, atau kelompok. Mereka bahkan rela menanggalkan profesionalisme dan tugas pokok sebagai dokter, melepaskan rasionalitas yang mendasari tindakannya untuk sebuah aksi alias unjuk rasa.

Hari-hari belakangan para dokter sedang memilih jalur demo, mengabaikan hati nurani sekaligus semangat kemanusiaan. Mereka seharusnya selalu ada di samping pasien yang sangat memerlukan pertolongan. Itu adalah panggilan jiwa sesuai manifesto ketika disumpah sebagai dokter.

Jauh berbeda dari buruh, sejatinya dokter punya amat banyak cara elegan melakukan manuver guna mewujudkan keinginannya. Semua itu sekaligus demi memenuhi tuntutan intelektual sebagai insan unggul.

Realitasnya kini semua saluran yang ada ditinggalkan, kendati senyatanya masih ada cara terhormat dan lebih masuk akal. Menyangkut suatu putusan hukum, tentu masih ada pula cara, bahkan upaya hukum setingkat di atasnya yang bisa ditempuh, semisal kasasi dan peninjauan kembali atas sebuah perkara.

Gerakan komunitas dokter saat ini terasa tak jauh berbeda dari manuver aksi buruh. Begitu riuhnya aksi solidaritas para dokter menyikapi putusan hakim Mahkamah Agung (MA). Mereka alpa pada satu hal penting, apalagi kalau bukan rintihan keluarga almarhumah, yang kehilangan selama-lamanya anak tercinta.

Demo Dokter 

Dalam kriminologi ada teori yang bisa memperjelas fenomena unjuk rasa para dokter tersebut, yang dikenal dengan immitation theory dan social learning theory. Dalam immitation theory, orang/kelompok disebutkan suka sekali meniru apa yang dianggapnya berhasil demi mewujudkan tujuan. 

Terlepas dari apa pun tujuannya. Jika gugatan dan tuntutan itu bisa terkabul atau terealisasi lewat aksi unjuk rasa maka orang/kelompok yang menganut teori itu pun tergoda melakukan tindakan serupa, meniru, mengadopi sekaligus menjadikannya sebagai model untuk menggapai tujuan.

Immitation theory berkaitan erat dengan social learning theory, dalam arti banyak menggunakan cara pembelajaran sosial. Mereka belajar dari beragam realitas sosial. Jika dianggap cukup efektif, baru mereka menggunakan pola itu. Sejatinya semua cara itu sah-sah saja sejauh para pihak bisa mengendalikan diri, terutama penghormatan atas hak-hak asasi manusia kelompok masyarakat lainnya. Bukankah prinsip HAM adalah menuntut hak sekaligus juga menghormati hak orang lain, termasuk hak korban?

Kita tak bisa memungkiri bahwa hak korban acap dinomorduakan, termasuk KUHAP pun masih menunjukkan keterbatasannya perihal dan ihwal mengatur hak korban. Justru sebaliknya, hak tersangka dan terdakwa, secara rigid dan limitatif, diatur secara jelas dalam KUHAP.

Adalah tugas dan kewajiban negara melindungi hak para warga negara, termasuk tersangka, korban, atau pencari jasa kesehatan/pasien, yang hak-haknya diberikan dan dilindungi oleh negara. Dalam praktik hak-hak itu dapat diwakili oleh penyidik, penuntut umum, hakim, dan aparat  penegak hukum lainnya.

Salah satu tugas perutusan profesi dokter adalah menolong orang sakit. Secara logika dia pasti paham bahwa hal penting dan mutlak diprioritaskan adalah tidak mengabaikan hak para pasien. Bukankah misi mulia dokter dan paramedis adalah saving human life, menyelamatkan kehidupan manusia? Semoga malapetaka kesalahan tindakan, tidak lagi menelan korban, khususnya menimpa sanak kerabat kita, yang bisa saja dari keluarga dokter. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar