Dalam sebuah negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia, partai Islam seharusnya mendapat porsi suara
terbesar pada setiap kontestasi politik.
Pemilu
sejak tahun 1955 sampai 2009 selalu menempatkan partai Islam pada posisi
pinggiran. Suaranya tak pernah menjadi arus utama (mainstream) dalam
preferensi dan pilihan-pilihan politik publik.
Perhitungan
hasil suara enam partai Islam (PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, dan PKNU) pada
pemilu 2009 secara akumulatif sebenarnya memperoleh 43,7 persen, namun
jumlah itu lebih kecil dari akumulasi suara partai-partai nasionalis (51,7
persen).
Fakta
historis ini memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kekuatan koalisi partai
Islam tidak akan dapat berdampak secara signifikan terhadap strategi
pemenangan elektoral mereka pada Pemilu 2014 mendatang. Koalisi tertutup
antarpartai Islam hanya akan mempersempit peluang dan memperluas pemaknaan
simbol-simbol politik yang salah oleh publik terhadap partai.
Wacana
koalisi partai Islam hanya akan memperlihatkan secara eksplisit kelemahan
politis di satu sisi dan kuatnya faksionalisasi partai-partai Islam pada
sisi lain. Selain itu, juga tentang stigma negatif kepentingan kekuasaan
para elite partai politik Islam.
Pada
aspek lain, secara sosiologis, mayoritas masyarakat muslim Indonesia tidak
lagi tertarik dengan isu pendirian negara Islam yang kompleks dan
menimbulkan banyak gesekan di tengah pluralitas masyarakat kontemporer.
Menguatnya
pandangan pragmatis terhadap berbagai dinamika politik kebangsaan juga
menjadi faktor lain kelemahan partai Islam. Ideologi tidak lagi dipandang
sebagai sebuah tata nilai keyakinan, melainkan tata operasional yang harus
berujung pada realisasi kemakmuran ekonomi. Maka, sistem apa pun tidak
penting selama senada dan senapas dengan Islam dan mampu menyejahterakan.
Kuatnya
perbedaan pemahaman fikih Islam di kalangan umat Islam Indonesia, yang
dimanifestasikan dalam muatan kepentingan-kepentingan partai Islam,
menjadikan titik temu (kalimatun sawa)
berbagai partai Islam menjadi semakin sulit. Kendatipun koalisi itu
terbangun, kekuatannya tidak akan dapat menjadi strategi ampuh memenangi
pemilu.
Akan
tetapi, tentu saja cukup ampuh bila dijadikan bargaining position untuk "dijual" pada partai
pemenang sebagai syarat mendapat posisi-posisi strategis pada struktur
pemerintahan. Jika pola ini tetap dipaksakan, partai Islam akan kembali
terpuruk dalam jebakan kekuasaan yang mendegradasi nilai perjuangan seperti
kini dialami PPP dan PKS.
Bila
mengacu pada hasil penelitian Oliver Roy terhadap kegagalan gerakan Islam
politik di beberapa negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan dalam
bukunya The Failure of Political
Islam, kegagalan Partai Islam dalam kontestasi elektoral lebih karena
tidak mampu menawarkan gagasan-gagasan alternatif konkret di bidang
ekonomi.
Selain
itu, mereka cenderung defensif terhadap serbuan ide-ide barat.
Di samping itu, kuatnya segmentasi etnis, kesukuan, manuver politik, persaingan
pribadi, dan korupsi menjadi faktor lain yang mendegradasikan nilai politik
partai Islam di hadapan publik muslim itu sendiri. Pola-pola degradatif
tersebut tidak hanya terjadi pada konteks negara-negara muslim Timur
Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, tetapi juga terlihat jelas dalam fenomena
partai-partai Islam di Indonesia.
Mengoreksi
peluang elektoral partai Islam dalam kontestasi politik di Indonesia memang
tidak mudah. Akan tetapi, bersandar pada kekuatan koalisi tidak akan
mengubah secara signifikan peluang kemenangan partai Islam.
Mereka
harus berani mengubah strategi-strategi pemenangan elektoral secara
mendasar guna mengobati kekecewaan publik dan meraih kepercayaan
seluas-luasnya dengan mengevaluasi serta mereposisi peran Islam kontemporer.
Memperluas
Inklusivitas
Stigmatisasi partai Islam sebagai partai
eksklusif dari kaum fundamentalis perlu menjadi titik tekan utama dalam
"merentas jalan baru". Di tengah derasnya arus moderasi, sentimen
sektarian aliran tidak lagi dapat menjadi amunisi partai Islam untuk meraih
simpati publik guna menjatuhkan pilihan mereka pada partai-partai Islam.
Derasnya arus modernisasi dan keterbukaan
informasi mengharuskan partai Islam menjadi terbuka dan berorientasi pada
program-program pembangunan serta pemberdayaan masyarakat. Mereka secara
komprehensif harus antidiskriminasi. Mereka wajib mengedepankan nilai-nilai
kebersamaan.
Ideologisasi yang kaku harus mulai
ditanggalkan karena akselerasi teknologi dan informasi menjadikan ideologi
publik lebih cair dan dan terbuka dengan berbagai perubahan serta
nilai-nilai baru yang lebih rasional. Partai Islam harus berani
mengakomodasi kebaikan nilai-nilai Barat dengan tetap mempertahankan norma
Islam yang lebih positif.
Politik benalu dengan menempelkan
kepentingan pada lingkaran posisi pemerintahan tidak akan dapat memulihkan
kekecewaan publik pada prestasi-prestasi politik partai Islam. Kedekatan
elite-elite partai Islam dengan lingkaran kekuasaan hanya akan mempersulit
mereka dalam mentransformasi ideologi menjadi nilai-nilai operasional yang
dirasakan masyarakat sebab prestasi politik apa pun dari kader-kader partai
Islam di dalam pemerintahan akan selalu diidentikkan sebagai manifestasi
dan keberhasilan politik partai penguasa.
Orientasi peran oposisi partai Islam akan
memperkuat identitas dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga.
Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan keberpihakan mereka dalam
memperjuangkan aspirasi dan harapan-harapan. Hal itu, selama ini, tersendat
oleh eksplorasi kepentingan elite pemerintahan dan praktik rente partai
politik terhadap sektor-sektor publik.
Peran oposisi pada dasarnya merupakan
manifestasi dari politik kesabaran dan amr maruf nahi munkar yang selalu
didengungkan para elite partai Islam itu sendiri. Untuk meraih kemenangan
elektoral, partai Islam tidak harus selamanya memainkan langkah maju.
Sesekali mereka harus melangkah mundur untuk membangun kekuatan dan
mengambil simpati publik dalam memecahkan dilema elektoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar