Minggu, 15 Desember 2013

Partai Islam Harus Perluas Inklusivitas

Partai Islam Harus Perluas Inklusivitas
Danis T Saputra W  ;   Manajer Riset Pol-Tracking Institute
KORAN JAKARTA,  14 Desember 2013

  

Dalam sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, partai Islam seharusnya mendapat porsi suara terbesar pada setiap kontestasi politik.
Pemilu sejak tahun 1955 sampai 2009 selalu menempatkan partai Islam pada posisi pinggiran. Suaranya tak pernah menjadi arus utama (mainstream) dalam preferensi dan pilihan-pilihan politik publik. 

Perhitungan hasil suara enam partai Islam (PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, dan PKNU) pada pemilu 2009 secara akumulatif sebenarnya memperoleh 43,7 persen, namun jumlah itu lebih kecil dari akumulasi suara partai-partai nasionalis (51,7 persen). 

Fakta historis ini memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kekuatan koalisi partai Islam tidak akan dapat berdampak secara signifikan terhadap strategi pemenangan elektoral mereka pada Pemilu 2014 mendatang. Koalisi tertutup antarpartai Islam hanya akan mempersempit peluang dan memperluas pemaknaan simbol-simbol politik yang salah oleh publik terhadap partai.

Wacana koalisi partai Islam hanya akan memperlihatkan secara eksplisit kelemahan politis di satu sisi dan kuatnya faksionalisasi partai-partai Islam pada sisi lain. Selain itu, juga tentang stigma negatif kepentingan kekuasaan para elite partai politik Islam.

Pada aspek lain, secara sosiologis, mayoritas masyarakat muslim Indonesia tidak lagi tertarik dengan isu pendirian negara Islam yang kompleks dan menimbulkan banyak gesekan di tengah pluralitas masyarakat kontemporer.

Menguatnya pandangan pragmatis terhadap berbagai dinamika politik kebangsaan juga menjadi faktor lain kelemahan partai Islam. Ideologi tidak lagi dipandang sebagai sebuah tata nilai keyakinan, melainkan tata operasional yang harus berujung pada realisasi kemakmuran ekonomi. Maka, sistem apa pun tidak penting selama senada dan senapas dengan Islam dan mampu menyejahterakan. 

Kuatnya perbedaan pemahaman fikih Islam di kalangan umat Islam Indonesia, yang dimanifestasikan dalam muatan kepentingan-kepentingan partai Islam, menjadikan titik temu (kalimatun sawa) berbagai partai Islam menjadi semakin sulit. Kendatipun koalisi itu terbangun, kekuatannya tidak akan dapat menjadi strategi ampuh memenangi pemilu.

Akan tetapi, tentu saja cukup ampuh bila dijadikan bargaining position untuk "dijual" pada partai pemenang sebagai syarat mendapat posisi-posisi strategis pada struktur pemerintahan. Jika pola ini tetap dipaksakan, partai Islam akan kembali terpuruk dalam jebakan kekuasaan yang mendegradasi nilai perjuangan seperti kini dialami PPP dan PKS.

Bila mengacu pada hasil penelitian Oliver Roy terhadap kegagalan gerakan Islam politik di beberapa negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan dalam bukunya The Failure of Political Islam, kegagalan Partai Islam dalam kontestasi elektoral lebih karena tidak mampu menawarkan gagasan-gagasan alternatif konkret di bidang ekonomi.

Selain itu, mereka cenderung defensif terhadap serbuan ide-ide barat. 
Di samping itu, kuatnya segmentasi etnis, kesukuan, manuver politik, persaingan pribadi, dan korupsi menjadi faktor lain yang mendegradasikan nilai politik partai Islam di hadapan publik muslim itu sendiri. Pola-pola degradatif tersebut tidak hanya terjadi pada konteks negara-negara muslim Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, tetapi juga terlihat jelas dalam fenomena partai-partai Islam di Indonesia. 

Mengoreksi peluang elektoral partai Islam dalam kontestasi politik di Indonesia memang tidak mudah. Akan tetapi, bersandar pada kekuatan koalisi tidak akan mengubah secara signifikan peluang kemenangan partai Islam.
Mereka harus berani mengubah strategi-strategi pemenangan elektoral secara mendasar guna mengobati kekecewaan publik dan meraih kepercayaan seluas-luasnya dengan mengevaluasi serta mereposisi peran Islam kontemporer.

Memperluas Inklusivitas

Stigmatisasi partai Islam sebagai partai eksklusif dari kaum fundamentalis perlu menjadi titik tekan utama dalam "merentas jalan baru". Di tengah derasnya arus moderasi, sentimen sektarian aliran tidak lagi dapat menjadi amunisi partai Islam untuk meraih simpati publik guna menjatuhkan pilihan mereka pada partai-partai Islam. 

Derasnya arus modernisasi dan keterbukaan informasi mengharuskan partai Islam menjadi terbuka dan berorientasi pada program-program pembangunan serta pemberdayaan masyarakat. Mereka secara komprehensif harus antidiskriminasi. Mereka wajib mengedepankan nilai-nilai kebersamaan. 

Ideologisasi yang kaku harus mulai ditanggalkan karena akselerasi teknologi dan informasi menjadikan ideologi publik lebih cair dan dan terbuka dengan berbagai perubahan serta nilai-nilai baru yang lebih rasional. Partai Islam harus berani mengakomodasi kebaikan nilai-nilai Barat dengan tetap mempertahankan norma Islam yang lebih positif. 

Politik benalu dengan menempelkan kepentingan pada lingkaran posisi pemerintahan tidak akan dapat memulihkan kekecewaan publik pada prestasi-prestasi politik partai Islam. Kedekatan elite-elite partai Islam dengan lingkaran kekuasaan hanya akan mempersulit mereka dalam mentransformasi ideologi menjadi nilai-nilai operasional yang dirasakan masyarakat sebab prestasi politik apa pun dari kader-kader partai Islam di dalam pemerintahan akan selalu diidentikkan sebagai manifestasi dan keberhasilan politik partai penguasa. 

Orientasi peran oposisi partai Islam akan memperkuat identitas dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga. Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan keberpihakan mereka dalam memperjuangkan aspirasi dan harapan-harapan. Hal itu, selama ini, tersendat oleh eksplorasi kepentingan elite pemerintahan dan praktik rente partai politik terhadap sektor-sektor publik. 

Peran oposisi pada dasarnya merupakan manifestasi dari politik kesabaran dan amr maruf nahi munkar yang selalu didengungkan para elite partai Islam itu sendiri. Untuk meraih kemenangan elektoral, partai Islam tidak harus selamanya memainkan langkah maju. Sesekali mereka harus melangkah mundur untuk membangun kekuatan dan mengambil simpati publik dalam memecahkan dilema elektoral.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar