Tidak dapat
dibantah, saat ini negara kita terjebak dalam karut-marut atau kemelut yang
mencemaskan. Meski pertumbuhan ekonomi kita secara nasional cukup baik,
namun perkembangan index ratio gini
kita sangat mengkhawatirkan karena distribusinya sangat timpang.
Jumlah penduduk miskin mencapai 12,5% dalam
ukuran kita, sementara index ratio
gini melonjak dari 0,20 pada era Orde Baru menjadi 0,41 pada tahun 2013
ini. Menurut teori, jika index ratio
gini 0,50 bisa terjadi huru-hara sosial. Di bidang politik dan
pemerintahan, kita terjebak dalam kolusi-kolusi dan korupsi-korupsi yang
berkepanjangan.
Banyak yang menilai, komando dan dirigen
pemerintahan kita tidak jelas, sehingga berbagai sektor pemerintahan
terkesan dibiarkan berjalan dan mengambil risiko sendiri-sendiri. Sistem
pemerintahan yang ada sekarang dianggap tidak efektif dan justru
mengacaukan ketatanegaraan kita. Muncullah berbagai penilaian bahwa
amendemen atas UUD 1945 merupakan langkah yang salah.
Isi UUD hasil amendemen tidak benar dan
jelek. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan UUD 1945 hasil amendemen karena
pilihan isinya tidak mengikuti teori Trias Politica yang murni. Ada juga
yang bilang karena tidak mengikuti sistem Amerika dengan sistem
presidensial murninya atau Inggris dengan parlementer murninya. Kata
mereka, sistem pemerintahan kita banci, tidak parlementer, dan tidak
presidensial, melainkan presidensial dengan rasa parlementer.
Memang benar, negara kita sekarang karutmarut
karena instrumen-instrumen konstitusional tidak bekerja efektif sebagai
sistem. Tetapi saya tidak setuju pada penilaian bahwa karut-marut itu
disebabkan oleh kesalahan konstitusi hasil amendemen, apalagi jika
dikatakan karena konstitusi kita tidak ikut teori murni. Bagi saya, teori
yang paling murni dalam ilmu konstitusi adalah ”teori bahwa konstitusi suatu negara tidak harus mengikuti teori
apa pun”.
Meminjam ungkapan begawan konstitusi, KC
Wheare, di dalam karyanya, Modern Constitutions,
isi konstitusi adalah resultan atauk esepakatan dari faktor politik,
sosial, ekonomi, dan budaya pada waktu dan tempat tertentu. Konstitusi
dibuat berdasar kebutuhan masing-masing, minimal ada modifikasi-modifikasi
sesuai dengan kebutuhan domestik masing-masing.
Tidak pernah ada yang mengikuti teori murni.
Begitu juga tidak ada keharusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti
konstitusi yang berlaku di negara tertentu. Yang dibuat sendirilah yang
berlaku sebagai konstitusi. Bisa saja yang dibuat sendiri itu merupakan
modifikasi dari teori-teori dan praktik yang berlaku di negara lain yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam pada itu, yang disebut teori murni itu
sebenarnya tidak benar-benar ada. Teori Trias
Politica, misalnya, tidak pernah jelas mana yang disebut murni. Semula
pemisahan kekuasaan ke dalam tiga poros itu diajarkan oleh John Locke
ketika mengatakan bahwa agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan harus
dipisah ke dalam legislatif, eksekutif, dan federatif.
Kemudian diikuti oleh Montesquieu dengan
memodifikasi ke dalam tiga kekuasaan yang agak berbeda yakni legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Immanuel Kant-lah yang kemudian memberi nama Trias Politica. Implementasi
pemisahan kekuasaan itu ke dalam sistem pemerintahan kemudian muncul secara
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara.
Di Amerika Serikat muncul sistem presidensial,
di Inggris berlaku sistem parlementer, di Swiss berlaku sistem badan
pekerja, di Prancis dan Jerman muncul sistem campuran. Yang mana yang murni?
Tidak ada yang murni dalam arti diterima sebagai teori yang berlaku
universal. Semua membuat sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Dengan demikian, tidak ada ketentuan bahwa
konstitusi harus dibuat sesuai dengan teori tertentu, sebab isi konstitusi
itu adalah yang disepakati saja oleh bangsa yang bersangkutan atau oleh
lembaga resmi yang berwenang membuatnya. Untuk Indonesia, dulu UUD 1945
dibuat berdasarkan kesepakatan para pendiri negara yang tergabung dalam
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan (PPK).
Para pendiri negara seperti Soekarno,
Soekiman, Soepomo, Hatta pun mengatakan bahwa kita membuat konstitusi kita
sendiri yang berbeda dari yang ada di negara-negara lain. Konstitusi RIS
1945 dibuat berdasar kebutuhan pada saat itu sesuai dengan hasil Konferensi
Meja Bundar di Den Haag. Begitu pula UUDS 1950 dibuat berdasar kesepakatan
para pemimpin bangsa pada tahun 1950 itu.
Konstituante hasil Pemilu 1955 mencoba membuat
konstitusi sendiri, tetapi gagal merampungkan tugasnya karena keburu keluar
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Adapun MPR
hasil Pemilu 1999 telah mencapai kesepakatan (resultante) memberlakukan UUD
1945 hasil amendemen yang berlaku sekarang ini. Tidak ada konstitusi yang
secara kategoris bisa disebut baik atau jelek, benar atau salah.
Yang ada adalah resultan atau kesepakatan para
pembentuknya. Karena telah disepakati itulah konstitusi mengikat untuk
ditaati. Kalau mau dibuat yang baru dengan amendemen lagi atau kembali ke
UUD 1945 yang asli juga boleh, asal disepakati.
Tetapi pastilah, apa pun hasil kesepakatan
baru itu, nanti ada yang mengkritik lagi. Karut-marut ketatanegaraan di
negara kita ini bukan karena konstitusinya salah atau jelek, tetapi karena
implementasinya oleh para penyelenggara yang korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar