Wacana
Renegosiasi kontrak karya pertambangan menemukan gaungnya sejak pertengahan
tahun 2011 lalu, dimana tenggat waktu mandat UU No.4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara sudah jatuh tempo, yakni satu tahun pasca
diundangkannya UU dimaksud, harus sudah selesai dilakukan Renegosiasi
kontrak-kontrak karya pertambangan batubara di Indonesia.
Tetapi hingga
batas waktu itu terlewati, tidak ada satu pun perkembangan berarti dari
proses renegosiasi tersebut, sehingga IHCS akhirnya berketetapan untuk
mencari celah hukum –khususnya dalam masalah kontrak karya Freeport, dalam
hal ini adalah adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
penandatangan perjanjian Kontrak Karya pada tahun 1991 yakni oleh
Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia, karena didapati bahwa
pembayaran Royalti emas yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebesar
1%, sementara itu, Pemerintah Indonesia pada tahun 2003 mengeluarkan beleid
Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2003 tentang Pemasukan Negara Bukan
Pajak (PNBP) yang berlaku di kementerian ESDM.
Dalam PP
45/2003 tersebut diatur besaran royalti yang harus dibayarkan oleh para
kontraktor pertambangan adalah sebesar 3,75%, lebih tinggi dari kesepakatan
yang diatur dalam Kontrak Karya Freeport yang hanya sebesar 1%. Hal
ini tentu saja bertentangan dengan asas dan syarat sahnya perjanjian itu
sendiri, yakni Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan : 1. Cakap, 2. Sepakat,
3. Hal Tertentu, 4. Sebab yang Halal (tidak bertentangan dengan hukum dan
asas kepatutan).
Angka 4
diatas, jelas sekali mengatur bahwa suatu perjanjian haruslah dilandasi
sebab yang halal, yang tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan
perundangundangan. Menilik pada Kontrak Karya Freeport, yang hanya mengatur
royalkti 1%, sementara PP No.45/2003 menetapkan Royalti emas sebesar 3,75%,
jelas sekali Kontrak Karya tersebur bertentangan dengan hukum dan atau
peraturan perundangundangan. Inilah salah satu dasar gugatan IHCS yang di
ajukan di PN.Jaksel beberapa waktu lalu, dan dalam perkembangannya Hakim
PN.Jaksel telah menjatuhkan Putusan menolak Gugatan IHCS dengan dalih bahwa
Legal standing IHCS tidak masuk dalam kategori organisasi yang dimaksudkan
dalam klausul Hak Gugat Organisasi, Hakim berpendapat, bahwa hak gugat
organisasi hanya diatur dalam UU Lingkungan, UU Konsumen, UU Kontruksi dan
UU Kehutanan, diluar itu belum diatur, sementara IHCS bergerak dalam
wilayah HAM, maka secara hukum tidak mempunyai Legal Standing dalam
mengajukan Gugatan Pembatalan Kontrak Karya Freeport.
Merespon
putusan yang telah dijatuhkan majelis hakim tersebut, IHCS telah
mendaftakan Memori Banding pada tanggal 26 September 2012 lalu, yang hingga
hari ini setahun lebih pasca pendaftaran banding ke Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta tersebut belum ada tanda-tanda akan segera diputus.
Kepres No. 3 Tahun 2012
Derasnya
desakan agar pemerintah segera melakukan renegosiasi kontrak-kontrak karya
pertambangan batubara, memaksa Presiden SBY menerbitkan Kepres No. 3 Tahun
2012 tertanggal 10 Januari 2012 lalu tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk
Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara. Tim dipimpin oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, sementara
Menteri ESDM Jero Wacik bertindak sebagai Ketua Harian merangkap
anggota. Anggota-anggota Tim Evaluasi ini adalah Menkeu Agus
Martowardoyo, Mendagri Gamawan Fauzi, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin,
Menperin MS. Hidayat, Menperdag Gita Wiryawan, Menhut Zulkifli Hasan,
Menteri BUMN Dahlan Iskan, Seskab Dipo Alam, Jaksa Agung Basrief Arief,
Kepala BPKP Mardiasmo, dan Kepala BKPM.
Keppres Nomor 3
tahun 2012 menyebutkan, tugas Tim Evaluasi adalah melakukan evaluasi
terhadap ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal kontrak karya
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan. Tim juga bertugas menetapkan
langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesian penetapan luas wilayah
kerja dan penerimaan negara terkait posisi pemerintah dalam melakukan
renegoisasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara.
Selain itu, tim
juga bertugas menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pelaksanaan
kewajiban pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara terhadap pengelolaan dan/atau pemurnian mineral dan
batubara. Dalam melaksanakan tugas, Tim Evaluasi dapat melibatkan
Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, pemerintah daerah, pemangku
kepentingan, dan pihak lain yang dipandang perlu. Tim Evaluasi juga dapat
membentuk Sekretariat dan Kelompok Kerja, yang tugas dan susunan
keanggotaannya ditetapkan oleh Ketua Tim Evaluasi.
Tim Evaluasi
ini bertugas sejak penandatanganan Keppres No. 3/2012 sampai dengan
Desember 2013. Tim bertanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaan
tugasnya kepada Presiden setiap enam bulan atau sewaktu-waktu apabila
diperlukan.
Hingga saat
ini, Desember 2013 sebagaimana batas waktu Tim Evaluasi sesuai Kepres,
belum nampak adanya perkembangan signifikan dari kerja-kerja serta capaian
apa yang telah dilakukan oleh tim ini, mengingat pentingnya proses
renegosiasi kontrak-kontrak karya tersebut, disamping telah dimandatkan
oleh UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba, hal ini juga akan berakibat pada
akumulasi kerugian negara yang lebih besar lagi, jika proses renegosiasi
tersebut tidak segera dilakukan. Menurut hitungan IHCS saja, sejak tahun
2003 lalu sampai tahun 2010, mengacu pada kewajiban PT. Freeport membayar
royalti emas sebesar 3,75% sesuai PP 45/2003 adalah sebesar US$256,2 Juta.
Hal itu akibat dari kekurangan pembayaran royalti Freeport kerena yang
disepakati dalam Kontrak Karya tahun 1991 hanya sebesar 1%. Itu baru dari
satu korporasi saja, bagaimana dengan yang lainnya? Berapa kerugian yang
diderita negara ini, dan itu tentu saja berakibat pada menurunnya kemampuan
negara dalam menyejahterakan rakyatnya sesuai dengan mandat Konstitusi.
Anehnya, dalam
ketentuan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba itu sendiri terjadi
pertentangan antar pasal-pasalnya, yang mengatur mengenai kewajiban negara
dalam hal penyesuaian kontrak-kontrak karya dan PKP2B, lebih ironis lagi
adalah salah satu pasal dalam UU No. 4 tahun 2009 tersebut juga seakan-akan
melegalkan dan menguatkan posisi para kontraktor/korporasi-korporasi besar
semacam Freeport itu untuk bertahan dengan posisi kontrak karya yang telah
ditandatangi pada tahun 1991 lalu. Semisal dalam ketentuan peralihan Pasal
169 huruf (a) menyatakan : “Kontrak Karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/ perjanjian”.
Pasal inilah
yang menjadi alasan kuat para pemangku kepentingan khususnya korporasi-korporasi
itu bertahan untuk tidak melakukan renegosiasi kontrak karyanya.
Selanjutnya,
Pasal 169 huruf (b) menyatakan, “Ketentuan yang tercantum
dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan
kecuali mengenai penerimaan negara”.
Dalam
penjelasannya disebutkan, “Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan
dengan Undang-Undang”.
Prasa “kecuali
mengenai penerimaan negara”
ini, berarti pengecualian untuk penyesuaian mengenai ketentuan yang
tercantum dalam pasal kontrak karya dan PKP2B dalam soal penerimaan negara
boleh lebih dari 1 tahun, hal ini jelas melegitimasi kerugian negara terus
menerus yang hingga entah sampai kapan hal itu akan berakhir, meski memang
Kepres No.3 tahun 2012 mengamanatkan dan memberikan batas waktu tim
evaluasi sampai Desember 2013, tetapi mandat itu sepertinya akan menguap
begitu saja. Wallahua’lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar